Say
Hello For Me
“Ibuuuu, bangun, aku dan Ayah sangat rindu padamu.”
“Tenang anak manis, Ibu akan bangun, kamu jangan nakal
dan tetap berdoa untuk Ibu.”
“Ayah, kenapa Ibu hanya
tidur terus setiap hari? Apa dia akan mati?”
“Emma, kamu tidak boleh
bicara seperti itu, ayo kita pulang, kamu harus mandi dan ganti baju lalu buat
PR di rumah.” Aku tidak tahu dia dapat darimana kata-kata itu.
“Apa Ibu akan ikut
kita?”
“Tidak, Ibu akan tetap
disini, kalau dia ikut kita nanti bisa terjadi sesuatu,”
“Iyaahh, aku tidak mau
menangis karena Ibu mati, aku tidak mau itu terjadi seperti di tv yang pernah
aku lihat.” Sekarang aku tahu dia dapat kata-kata itu dari tayangan tv.
Aku lalu melihatnya,
dia Arsya, perempuan yang beberapa hari lalu masih bersamaku dan tersenyum ceria.
Kami duduk berdua di sebuah rumah makan kecil, kami membicarakan perkembangan
anak kami. Dia adalah Caca, teman sekampusku dulu dan Ibu dari anakku Emma.
Karena kesalahanku membuatnya berada di rumah sakit ini, dia hanya diam tak
lagi ada makanan yang masuk ke mulutnya. Semua yang diperlukannya berasal dari
selang-selang kecil yang menggantung di atas dekat tempat tidurnya.
Kecelakaan yang terjadi
seusai kami makan siang di hari naas itu. Aku yang salah menyalip mobil depan
tapi tiba-tiba mobil belakangku datang mencoba mendahului. Caca tidak memakai
sabuk pengaman, aku melihatnya berlumuran darah ketika aku sadar. Rasa nyeri di
tubuhku tak kuhiraukan, aku berteriak meminta pertolongan untuknya. Dia selamat
tapi tak sadarkan diri hingga kini, hari ke 5. Dokter bilang dia koma, ada
pendarahan kecil di otak depan, dokter sudah mencoba menolong. Ini kuasa Allah,
tapi aku selalu disuruh berbicara apa saja dengannya, aku sering membacakan
buku-buku kesukaannya dan mengaji untuknya. Ayah dan Mama selalu menangis
melihat keadaan putri mereka, aku tak tega melihatnya.
“Mana sisir kamu?” aku
mencoba memanjakan Emma seperti cara Ibunya memanjakannya.
“Di kamar Ibu,”
“Ayo kesana,”
“Ayah, nanti aku
bacakan dongeng lagi, ya!”
“Iya, kamu kerjakan PR
dulu, nanti Ayah temani tidur. Eyang Kung dan Eyang Uti biar istirahat, ya.”
“Kakek mau nunggu Ibu
kamu di rumah sakit, biar Eyang Uti istirahat, besok bisa gantian lagi. Ayah
bersiap ke rumah sakit, Mama membawakannya bekal makanan dan selimut tebal.
Aku memasuki kamar
Caca, wangi yang sama tidak pernah berubah, aku mencari sisir di meja rias
untuk putri kecilku.
“Nanti kita tidur
disini saja, jangan di kamar Emma, Emma kangen Ibu.”
“Kalau begitu Ayah
ganti seprei dulu,”
“Emma bantu?”
“Yups anak pintar,”
Aku menemukan buku agenda
tebal, terjatuh ketika aku menarik seprei untuk menggantinya dengan yang baru.
Aku penasaran dengan
isi buku itu, gambarnya sudah memudar tapi sangat begitu tebal. Aku buka
halaman pertama, ada nama Caca di depan dan foto dia ketika masih berseragam putih
abu-abu. Aku menutupnya dan meletakkannya di meja kerja dia. Aku mengganti seprei
dan menemani Emma belajar. Masih sangat jelas bentuk buku itu, entah dorongan
darimana yang pasti itu sangat kuat untuk membuka buku agenda itu.
Emma tertidur dan aku
mulai menepi ke meja kerja Caca. Aku pandangi buku tebal itu dan aku buka tepat
di halaman pertama sama ketika aku menemukannya pertama kali. Aku buka halaman
berikutnya, dan aku sudah menduga kalau itu buku harian Caca.
Masa ketika di SMA, dia
coretkan begitu lugas khas penulis cerita teenlit. Dia sangat ceria dan mampu
berteman dengan siapa saja, tidak heran ketika dulu kuliah dia juga banyak
teman dari semua jurusan ada, senior junior kenal dengan dirinya, dari beberapa
kampus berbeda juga menjadi temannya.
Halaman lainnya, ada
robekan kertas kusam tertulis ‘Kamu sudah
pacaran berapa kali?’, Caca menempelkannya di satu halaman dan ada komentar
dari dia, ‘Sekali dan itu indah, aku
harap denganmu lebih indah lagi’. Aku tertawa kecil, kubuka halaman
berikutnya, ada uang 1000 rupiah koin tertempel, di bawah koin itu ada tulisan ‘Ini dari kamu, siapa tahu bisa jadi mas
kawin’. Aku juga tersenyum, entah sudah halaman ke berapa, aku tidak bosan
membacanya. Hingga di satu halaman aku membaca ‘Aku jatuh cinta sejatuh-jatuhnya padamu pemilik hati malaikat. Sungguh
aku meyukaimu karena Allah’. Dan di halaman-halaman berikutnya tertempel
karikatur-karikatur dari sang lelaki itu dengan tersenyum, pusing berfikir
rumus fisika, marah, lapar, menangis, Caca rapi menempelkannya. Aku fikir ini
lelaki yang berbeda yang memberinya koin 1000 rupiah. Jam 1 malam, aku masih
kehilangan rasa kantukku.
‘Mama
aku jatuh cinta dengannya, teman satu kelasku. Dia pintar fisika, dia jago
kimia, dia jago mengaji, dia suka menghafal Alquran di depanku, dia rajin ke
mushola sekolah. Dia selalu mengajakku ke toko buku, dia juga pernah memberiku
tumpangan ketika hujan deras ke sekolah. Dia yang berambut ikal ketika
rambutnya agak gondrong.’
‘Mama
dia yang suka mengajakku ke rental VCD dan kami nonton bersama, bioskop mini
dekat alun-alun kota itu adalah tempat favorit kita. Kita punya film favorit,
Waiting for Forever. Kita sudah menonton itu hampir 10 kali, dan akhirnya kita
punya VCD itu dan ada lagu pengiringnya di handphone kita.’
Aku semakin teriris membaca kisah di bangku SMA Caca. Aku putuskan untuk tidur,
jam dinding di kamar Caca sudah ada di angka 3.
Ketika melihat Emma
sangat ceria pergi ke sekolah aku mengingat Caca yang sangat ceria, wajahnya
sangat mirip dengan Caca.
Siang itu di kantor
tidak banyak pekerjaan, aku membuka tas dan mengambil buku agenda Caca. Aku
berharap ada namaku tertulis di lembar-lembar berikutnya.
‘Mama,
aku kehilangan dia, dia kini ada di perguruan tinggi lain, tapi aku senang dia
jadi anak teknik. Dia akan sangat gagah dengan titel sarjana tekniknya.’
Caca begitu detil
menulis tiap hal yang terjadi di hatinya. Dan rasa penasaran siapa lelaki yang
lama menghuni hati dan buku harian Caca terjawab ketika di satu halaman dia
menulis, ‘Kamu, datang dengan dia yang
kamu kenalkan sebagai sahabatmu, Faiz sahabat di bangku kuliahmu, kamu datang
di kos dan dia membawa gadisnya. Kita pergi bersama ke pinggiran pantai di kota
Semarang. Saat itu kamu teriakkan satu kalimat tapi Will aku tak mendengarnya,
deru suara pesawat terbang tak membuat perkataanmu jelas’ airmataku
menetes, Will, sahabatku, jadi dia adalah cinta terindahmu Ca, lirih aku
berkata.
Pulang kerja aku
mencari VCD Waiting For Forever, aku putar di kamar rumah sakit agar kamu
sadar. Aku tak melihat ada tanda-tanda kamu akan bangun. Bahkan ribuan kali
Emma memanggilmu kamu tak juga bangun.
“Ca, kamu tahu tidak?
Will teriak apa ketika kita ada di pantai hari itu?” aku menyeka airmata mencoba tegar, “Dia bilang,
bagaimana kalau aku jadi pantaimu, tempatmu menepi setelah kamu lelah
mengarungi laut biru.” Aku sesenggukan di tepi tempat tidurnya, monitor detak
jantungnya meningkat, aku berteriak memanggil dokter jaga.
“Ca, kata dokter
jantungmu normal dan otakmu mulai merespon di sekitarmu. Apa karena Will, apa
karena aku bercerita tentang Will?” Aku duduk di depan tempat tidurmu, aku
kembali membaca buku harianmu. Ayah dan Mama di rumah menjaga Emma.
Halaman berikutnya akan
menyakitkan untukku, aku tahu tapi aku lebih ingin tahu yang terjadi denganmu.
‘Will
aku sudah terima surat cinta itu dan aku sudah selesai menulis balasannya tapi
aku ragu memberikannya untukmu, aku sulit berkata apa ketika memberikannya
padamu.’ Ada surat terlipat manis dari Will, aku ragu
membacanya dan di halaman berikutnya ada surat yang kamu tulis, Ca. Aku tak
membaca kedua surat itu, aku takut aku akan mati berdiri membacanya.
‘Aku
menangis lama ketika aku tahu kamu terbang ke Jepang, studi teknik mesin dan
belajar kerja disana. Aku belum memberikan balasan suratmu.’
Aku tahu Will ke
Jepang, tapi aku tak pernah tahu ada kisah cinta terindah yang kalian rangkai
sebelum ini. Aku menemukan satu halaman yang dia tulis tentangku.
‘Aku
menemukannya, dia lelaki yang baik, sungguh aku tak bisa mencintainya seperti
caraku mencintaimu. Tapi kini dia adalah imamku dan kelak akan jadi Ayah
anak-anakku. Kurelakan cinta pergi, dan kini aku rajut kembali cinta baru. Dia
Faiz, yang datang dengan mimpi baru merajut kebahagiaan denganku. Dia lelaki
dengan jenggot tipisnya dan mampu
membawa tawa di hari-hariku.’
Aku lega ada namaku
juga di buku harianmu, ada cerita tentangku walau kini aku tahu cinta yang kamu
beri sungguh berbeda. Ada halaman yang membuatku terkejut, ketika kamu
melahirkan putri pertama kita, kita bertengkar karena nama, kamu nekat dan
keukeuh memberinya nama Emma dan lewat buku harianmu ini aku tahu nama Emma
adalah dari film favorit kamu dan Will. Kenapa dari dulu aku tidak sadar kalau
ada cinta yang sangat kuat di hati kalian. Nama Eka yang kamu rubah dengan Will
bukan karena Eka seorang pujangga layaknya William Shakespeare seperti sangkaan
teman-teman kampus tapi dari kata Willy di film favorit kalian dan kamu
mengartikannya ‘ingin’ dan harapan. Dan kami para sahabatnya jadi ikut
memanggilnya Will. Nama anak kita itu juga nama kalian Emma Arsyaka, Arsya dan
Eka.
Ya
Rabb cinta macam apa ini, aku salah memilihnya untuk diriku dan aku lebih salah
membuatnya tak berdaya diatas tempat tidur kehilangan kesadarannya.
Bisikku lirih dalam hati.
Aku mencari semua
informasi tentang Eka, aku kirim e-mail ke dia, aku berharap dia datang, dia
masih di Jepang seperti foto yang tersimpan di buku harian Caca, ada sakura
cantik menjadi latar belakang lelaki yang masih nampak muda.
“Hai Will, apa kabar
kamu?” aku menjemput Eka di bandara, dia datang setelah aku jelaskan semua
keadaan Caca.
“Baik Alhamdulillah,
kamu? Apa kabar Caca?”
“Baik dari luar entah
ada bara apa yang dia simpan hingga dia tak mau bangun, dia kangen denganmu
mungkin, karenanya dia nunggu kamu datang.
“Kamu ada-ada saja,”
“Tengoklah dia kawan,
mungkin berbeda keadaan jika kamu yang menungguinya di rumah sakit.”
Aku mempersilahkan Eka
mendekati tempat Caca terbaring, Caca sudah bebas jadi aku tak bisa melarang
Will ada di dekatnya.
“Ayah, siapa Om ganteng
itu?”
“Dia dokter hebat buat
Ibu, ayo kita keluar.”
Aku melihat Eka
membacakan buku-buku humor dan dia juga membaca Alquran untukmu Ca. Ku dengar
dia belum menikah, dia masih lajang atau mungkin dia menunggumu. Dia tahu benar
apa kesukaanmu, dia bawa bunga lily putih dan cerita tentang hujan dan pelangi.
Tiap pagi dia membisikkan sesuatu di telingamu, aku tak tahu apa itu. Tapi aku
tahu itu pasti akan membuatmu sadar.
“Om ganteng, kalau aku besar nanti maukah kau
menikah denganku? Atau kau lebih suka Ibuku?”
“Yah aku lebih suka
dengan Ibumu, kamu mau apa?”
“Apa aku tidak lebih
lucu dari Ibuku?”
“Tidak, kamu lucu tapi
Ibumu lebih lucu, dia suka makan kentang rebus dengan kecap, dia suka
hujan-hujanan.”
“Kau tahu Ibuku? Apa
kau malaikat yang akan menolong Ibuku?”
“Iya mungkin, sini...”
Will kulihat memangku Emma “Nama kamu adalah nama favoritku dan Ibumu, lihatlah
dia, sekalipun dia tidur seperti itu dia tetap cantik.”
“Ibuku memang cantik
sama sepertiku,”
“Ahh yang benarrrrrr,”
Will mulai akrab dengan Emma, mereka bercanda.
Hari-hari berlalu,
sudah hampir 3 minggu Caca masih tidak sadarkan diri, apa aku yang terlalu
egois memintanya untuk sadar dan menyelesaikan semua urusannya. Kembali aku
berani membuka buku harian Caca, tepat di halaman terakhir, tertulis besar dan
rapi ‘Say Hello For Me Mr.Will’. aku
lalu kembali ke surat yang ditulis Eka untuk Caca. Aku menyiapkan hatiku untuk
tahu kisah yang mereka pendam di hati.
Aku lunglai, Eka
benar-benar inginkan Caca ketika itu dan aku hadir ketika cinta mereka harusnya
bersemi.
“Kamu
bodoh kawan, harusnya kamu katakan padaku hingga aku bisa menjaga cintamu itu,”
aku melipat surat yang masih sangat rapi itu dan meletakkan ke tempat asalnya.
Aku bergetar mengambil
surat balasan Caca, aku berfikir ada ribuan kata cinta yang akan dia baca dari
Caca untuk Eka.
Surat
Caca
Aku menangis membaca
surat Caca, dia menulis dengan sepenuh hatinya, goresan dan kata-katanya sangat
dalam.
Di rumah sakit melihat
Eka begitu telaten menemani Caca, aku sangat ikhlas jika mereka bersama. Eka
hanya mengajak bicara Caca dan sesekali dia mengontrol infus atau
monitor-monitor di samping tempat tidur Caca.
“Apa ada perkembangan
baik?” aku mendekat ke arah Eka, ke sisi lain tempat tidur Caca.
“Tadi waktu Tahajjud,
jari Caca bergerak, setelah subuh dia seperti merintih,”
“Oya? Lalu?”
“Kata dokter itu baik
untuk perkembangannya, asal dari diri dia ada semangat untuk hidup, hasil scan
kepala menunjukkan pendarahannya berhenti dan gumpalan darahnya juga sedikit
demi sedikit menghilang.”
“Benar yang aku bilang,
dia itu menunggu kamu datang,”
“Kamu ini, dia berjuang
demi anaknya juga,”
“Kamu bodoh Sob, dia
itu benar-benar menunggu kamu, apa kamu mau kehilangan dia lagi?”
“Aku ikhlas apapun yang
terjadi dengannya, aku tidak bisa memaksa dia untuk tetap di dunia ini dan
menyelesaikan urusannya denganku, aku terlalu egois jika menginginkan itu. Jika
dia harus pergi sekalipun aku merasa jadi seseorang yang beruntung ada di dekat
dia,”
“Apa kamu tidak mau dia
sembuh?”
“Apa aku bisa memaksa
dia untuk sembuh?”
“Kamu bisa membuatnya
berjuang untuk hidup,”
“Aku hanya seseorang
yang pernah memilikinya,”
“Tiap pagi kata yang
aku bisikkan pada Caca adalah Hello, aku disini menunggumu selamanya, kau tahu
suamimu itu sangat baik tapi kenapa kamu masih saja cinta kepadaku? Aku butuh
penjelasan so kamu harus bangun kasih penjelasan itu ke aku atau aku akan pergi
lagi,”
“Ya, jika dia tidak
bangun maka sebaiknya kamu pergi,”
Eka tercengang menoleh
ke arahku. Aku harus mengatakan itu untuk membuat Caca berjuang.
“Di hari perceraian
kita, dia menulis di sebuah buku kalau dia beruntung pernah memilikiku,”
“Dia seseorang yang
hebat, dia beruntung memilikimu dulu dan kini,”
“Hanya dulu itupun dulu
dia tidak benar-benar memilikiku,”
“Kamu tahu apa tentang
hatinya?”
“Hanya dia yang tahu,
dia kini juga membawa rahasianya itu,” aku mengambil secarik kertas terlipat
rapi dari saku celana, surat dari Caca. “Ini, kamu bisa tahu isi hatinya dan
seluruh dunianya ada padamu,”
“Apa ini?”
“Ingatkah dulu kamu
kirim surat ke dia? Dia belum membalasnya, dia takut pada dirinya sendiri, pada
hatinya,”
“Apa?” Eka mulai
membuka kertas itu dan merangkai tiap huruf dan kalimat di dalamnya.
Aku melihat ada senyum
kelegaan di wajahnya, seperti ada beban yang lepas dari kepalanya.
Aku melihat airmata
jatuh di sisi mata Caca.
“Will, lihat!”
“Ca, Caca kamu disini?”
“Aku panggil dokter,”
“Dok, tolong Caca,”
“Ya, saya periksa
dulu,”
“Ca,” aku lihat Eka
membelai lembut kepala Caca dan membisikkan sesuatu, entah apa itu aku tidak
tahu.
“Will,”
“Hello Ca, aku disini,
tenanglah... semua akan baik-baik saja,”
Caca hanya mengangguk
pelan, aku telfon Ayah dan Mama. Mereka seperti melepas rasa rindu yang teramat
sangat membuncah di dada mereka. Aku biarkan saja, aku menepi dari mereka.
17-23 Juni 2012, D’Oren
Room Bjn
0 comments:
Posting Komentar