Siapa
dia, gadis dengan payung biru yang berjalan itu, Ya Rabb dia menangis, tak
seorangpun mendengar isaknya dalam hujan. Tapi aku tahu dia sedang menangis,
dia mengusap pipinya beberapa kali, aku yakin bukan air hujan yang membasahi
pipinya. Gerakan nafasnya sesenggukan itulah kenapa aku yakin dia menangis.
Aku menatap gadis berpayung biru yang berjalan menyusuri
trotoar di seberang jalan rumahku sampai dia menghilang. Hujan sore ini cukup
deras, sudah beberapa lama sejak aku di rumah hujan tak pernah membasahi kota
kecil ini kecuali dua hari ini.
Sore ini sangat gelap,
langit tak menunjukkan rasa bersahabat dengan para pekerja. Aku lihat banyak
yang memakai mantel atau bahkan mereka rela berbasah-basah ria tanpa pelindung
apapun. Aku menutup tirai jendela kamarku. Aku gontai melangkah keluar kamar.
“Kamu ini kenapa? Putus
cinta seperti kehilangan istri,” Ibu mulai gusar dengan kelakuanku beberapa
hari ini di rumah.
“Apa kehilangan istri
tidak jauh lebih sakit, Bu?”
“Apa kamu pernah
merasakannya?”
“Tidak, jangan sampai.
Sakitnya menusuk hingga ke tulang belakang, Bu.”
“Ya sudah, pasrahkan
kepada sang Pencipta. Malu dengan tetangga, mosok
anak lelaki Ibu stress goro-goro wong wedok gak jelas, wis golek liyane sing
luwih apik,”1
“Doakan Hanif, Bu.” Aku
pasang wajah memelas di depan Ibu.
“Ibu dan Bapak selalu
mendoakan kamu dan kakakmu, punya anak dua lelaki semua kok tidak ada yang
beres masalah cintanya.” Ibu geleng-geleng kepala lalu beranjak ke dapur.
Selesai makan malam, aku
hanya termangu saja di kamar. Mataku terpejam beberapa saat saja hingga
akhirnya aku terbangun karena merasa sakit di hati, hati ini seperti teriris.
Airmata ini rasanya mengalir sendiri tanpa aku minta.
Selesai mengambil wudhu
dan tahajjud, aku kembali duduk, satu juzz selesai tak membuat mataku kembali
mengantuk. Hingga pagi menjelang mataku tak terpejam.
1 masa anak lelaki Ibu stress gara-gara anak
perempuan tidak jelas, sudah cari yang lainnya yang lebih baik.
Aku duduk di bingkai
jendela, melihat lalu lalang anak sekolah dan para pekerja kantoran. Ayah juga
mulai bersiap berangkat kantor, dia tentara, dia yang mengajarkan kami kuat, tapi
kakakku yang Angkatan Laut walau dia kuat dia tetap menangis ketika kekasihnya
pergi dengan lelaki lain. Dia kini dinas di Surabaya.
“Sarapan dulu Hanif,”
“Iya, Bu.”
“Ibu berangkat dengan
Bapak, jaga rumah, Bi Nur nanti ke rumah jam 8.”
“Iya,”
Aku melihat Ibu dan
Bapak pergi bersama, Ibu seorang guru SMA. Dia sangat bangga dengan
pekerjaannya, tapi aku tahu cita-cita Ibu adalah menjadi pramugari. Dia punya
keinginan keliling dunia. Tapi karena menikah dengan Bapak yang tentara dia
jadi berubah arah. Tapi dia tetap bisa keliling Indonesia mengikuti jejak Bapak
yang seorang tentara.
Sebelum aku beranjak
dari jendela kamarku, aku melihat gadis itu, dia berjalan ringan. Seragam kerja
warna krem membuatnya ceria tak seperti sore kemarin. Mataku menangkap sesuatu
yang tak mengenakkan, kakiku cepat melangkah keluar rumah.
“Kamu... kamu tidak
apa-apa?”
Gadis itu diam sesaat lalu
tertawa ringan menutup mulutnya. Entah apa yang dia tertawakan tapi aku baru
tahu ketika dia memandang dari ujung rambutku hingga kakiku.
“Astaghfirullah...,”
aku tak bisa menyembunyikan rasa maluku tapi akhirnya aku tersenyum getir.
“Tadi buru-buru dari kamar,” aku senyum memaksakan diri.
“Yang luka Ibu itu,”
matanya menunjuk ke arah salah seorang korban srempetan motor. “Aku tidak
apa-apa.”
“Syukurlah, aku tidak
mau kamu kenapa-kenapa.”
Tawa gadis berambut
hitam panjang itu hilang, dia langsung diam dan menatapku. Baru aku sadar
matanya bening, warnanya coklat, bulu matanya lentik tanpa maskara, pipinya
kemerahan karena perona pipi. Dia menawan sama ketika dia mencuri pandanganku
hari-hari sebelumnya walau kulihat dari kejauhan.
Gadis itu lalu pergi, tak
dia hiraukan sekelilingnya bahkan aku yang di depannya. Dia juga tak menunggu penjelasan piyamaku dan
sandal tazmania berbulu yang aku pakai. Di hari itu dia juga tak memberiku
kesempatan untuk tahu namanya.
--¥--
“Jadi
kamu patah hati ceritanya?”
“Dicampakkan lebih
tepatnya, heh sudahlah,”
“Kamu mau apa kesini?”
“Main saja lihat kamu,
minggu depan aku sudah tidak disini, sudah lama bolos kuliah,”
“Baguslah, tidak ada
yang meneror aku lagi,”
“Yakin tidak kangen?”
“Tidak, InsyaAllah.”
Gadis itu Hanin namanya, artinya yang penuh kasih sayang kalau tidak salah. Aku
mengenalnya ketika aku sudah tidak tahan hanya melihatnya dari jendela kamar,
akhirnya aku membuntutinya hingga kantor. Akhirnya aku bisa berteman dengannya.
“Apa aku salah jika
masih 20 tahun? Apa cinta butuh umur untuk menakar dalamnya dan tulusnya cinta
itu sendiri?”
“Dana, ini kantor
jangan main-main disini!” dia menatap garang tapi tetap lembut. Profesinya
sebagai seorang Customer Service yang
membuatnya memanggilku Dana. Dia tidak tahu kalau panggilanku Hanif, dia baru
tahu ketika dia main ke rumah. Tapi dia tetap memanggilku Dana dari Pradana Al
Hanif Shafiq. Dan baru dia gadis yang baru aku kenal dan langsung aku ajak ke
rumah. Ibu langsung suka, mungkin karena sama-sama dari Jawa Tengah yang
merantau ke kota kecil di sudut Jawa Timur. Kota yang kata artikel di sebuah
situs adalah kota paling panas di bumi, kota penghasil minyak.
“Aku tahu kamu baru
putus, mungkin ini hanya keisenganmu saja, kamu butuh seseorang yang
memperhatikan kamu,”
“Apa karena 20 dan 23?”
“Tidak, bukan masalah
umur, aku tahu kamu jauh lebih dewasa daripada aku,”
“Lalu?”
“Ada banyak nasabah,
lain waktu kita lanjutkan.”
Aku menyingkir dari
mejanya, sudah banyak yang antri di belakangku dan dia sudah mengusirku dengan
halus. Aku menurut saja pada Hanin.
“Disini sepi, ya? Malam
minggu saja ada jamnya, jam sembilan sudah bubar, kalau di Jogja sampai pagi
tidak akan sepi.”
“Di Malang juga, ow ya
aku bawa ini,” aku mengeluarkan buku sketch dari tasku.
“Buat apa? Mau gambar
alun-alun Bojonegoro?”
“Mau gambar kamu dan
malam Bojonegoro lalu aku bawa ke Malang,”
“Kamu sama seperti
dia,” Hanin mulai bercerita tentang kekasih hatinya yang pergi beberapa waktu
lalu. Aku tercekat sesaat lalu aku berusaha tidak peduli pada ‘dia’ si kekasih
hati Hanin.
“Kamu masih
mengharapnya?” aku iseng bertanya.
“Tidak lagi, ketika
Ayah dan Ibu tak pernah memberinya senyum,” Hanin menunduk, aku menatapnya dari
samping dan tetap memainkan tanganku melukisnya. “Saat bersama dia terkadang
aku bahagia dan terkadang dia membuat aku menangis. Dia seperti malaikat yang
lupa bawa sayapnya,”
Aku berhenti melukis
Hanin tepat ketika dia bilang kalau lelaki itu adalah malaikat yang lupa bawa
sayapnya, tepat detik itu pula mata pensilku patah. Seperti ada yang menusuk di
dada tembus hingga belakang, sakitnya seperti saat aku ditinggalkan Sarah dan
ini jauh lebih sakit.
“Sebaik itukah dia?”
aku ragu bertanya padanya.
“Apa tidak terlihat
dari caraku kehilangan dia?”
Aku diam ketika dia
melihatku dan ada telaga bening di matanya, hampir tumpah lalu dia menunduk.
“Kamu tahu sejak
melihat senyummu tempo hari saat kita bertemu pertama kali, jantungku berdegub
kencang, ada desiran aneh mengalir hangat di hati dan dadaku. Aku yakin kamu
yang aku cari. Sejak mengenalmu aku mulai suka kata seandainya, seandainya aku
lebih dulu mengenalnya bukan lelaki itu, seandainya aku tak terjebak cinta
dangkal dengan Sarah. Seandainya aku 23 tahun sama denganmu atau 25 tahun, lebih
tua dari kamu, seandainya aku bisa buat kamu tahu kenapa aku menyukaimu,
seandainya kamu tahu kalau aku ingin memilikimu. Aku juga mulai menyukai hujan
karena ketika itu kamu akan berteriak ‘hujan... aku suka itu, wanginya enak’.
Aku yang mulai terjebak dalam situasi cinta rumit,” aku menunduk tetap melukis
setelah aku ambil pensil cadangan, sesekali aku melihat reaksi Hanin.
“Maaf,” air di matanya
tak lagi bisa dibendung, mengalir deras menatapku. Aku tidak tega.
“Yaahh, hujaaaannn,
aduuuh, kenapa setiap kali kamu menangis pasti turun hujan, jangan-jangan kamu
ya malaikat cantik yang sayapnya ketinggalan di surga?”
“Kamu, masih saja
bercanda,”
Aku memasukkan buku dan
pensil lukis, untung tasnya kulit jadi kena air juga tidak akan basah.
Alun-alun Bojonegoro mulai sepi semua tunggang langgang menyelamatkan dagangan dan
tubuh mereka.
“Kita hujan-hujanan
saja, lama kan tidak main hujan?” aku menawarkan hal yang mungkin dia tidak
terima.
“Pulang? Oke siapa
takut.” Ya siapa sangka dia terima tawaran hujan-hujanan.
Aku memacu motorku
pelan, di beberapa tempat sudah terjadi genangan. Kota kecil ini memang sering
banjir ringan gara-gara sistem gorong-gorong yang buruk.
“Oalah Le, le, koyo cah cilik ae, nek masuk angin nembe ngerti rasane.
Mau balik Malang kok gawe perkara, yo wis mandi sana!”2
Aku hanya tersenyum
saja, Ibu selalu cerewet dengan logat semi Jawa Tengah dan Jawa Timur, tapi
jarang Ibu memakai bahasa Jawa Timurnya, lebih pantas memakai Bahasa Indonesia.
Jadi aku dan mas Hilmi lebih sering memakai Bahasa Indonesia.
“Aku ke Malang sore ya,
Bu.”
“Mau ketemu Hanin?”
“Iyaaahh kan sampai
minggu depan tidak lihat dia,”
“Terserah kamu saja,
Le. Tadi kamu bawa dia hujan-hujanan juga?”
“Iyalah, Bu.” Aku
nyengir memamerkan deretan gigi putihku.
“Kamu kalau dia sakit
bagaimana? Dia kan harus kerja, anak orang kamu aniaya.”
“Hemm daripada buat
anak orang menanggung sakit sembilan bulan?”
“Husshhh, awas kalau
kamu berani, Ibu dan Bapak tidak akan memaafkan kamu,”
“Naudzubillah, Bu.
Hanif tahu tindakan yang benar dan salah.”
“Yo wis 3, ini teh panasnya dihabiskan terus tidur, besok
siap-siap ke Malang.”
--¥--
“Kangen dengan Hanif?”
2 Oalah Nak, nak, sperti anak kecil saja
kalau masuk angin baru tau rasa, mau kembali ke Malang kok buat masalah, ya
sudah sana mandi
3 Ya sudah
“Tidak, hanya lewat dan
mampir saja,”
“Masuklah ke kamarnya,
kamu akan tahu seperti apa adikku itu menyukaimu.”
“Apa? Boleh aku masuk?”
“Iya tidak apa, Nin.”
Ibu lembut bertutur, Mas Hilmi masih terus menghidupkan telfonnya hingga aku
bisa mendengar semua. Aku tidak tahu apa yang Hanin lakukan di kamarku. Ahh Mas
Hilmi benar-benar iseng.
“Hanin, ada yang mau
bicara,”
“Apa? Siapa?” kudengar
nada bicaranya penuh tanya heran. “Hallo...,”
“Hai, apa yang kamu
lakukan di kamarku?”
“Dana? Mas Hilmi telfon
kamu?”
“Bukan, aku yang telfon
Mas Hilmi,”
“Kapan pulang
Bojonegoro?”
“Nah sudah mulai
kangen, ya?”
“Tidak, jangan-jangan
kamu tidak pulang karena terpikat Sarah lagi, ya?”
“Hemm cemburu? Aku
sudah bawa kembangnya Bojonegoro ke Malang mana mungkin bisa pindah ke lain
hati,”
“Hemm bukan kembang
Bojonegoro, aku asli Jogja, loh.”
“Tapi kan sekarang
dinas di Bojonegoro,”
“Aku lihat lukisan kamu
di kamar, jadi kamu penguntit, ya? Sejak kapan?”
“Sejak aku pulang
Bojonegoro saat patah hati,”
“Hemm kamar kamu juga
bau cemara, ya aku tahu sih itu seperti aroma kopi campur apa gitu, kamu
sendiri suka kopi, kan?”
“Kamu tahu saja, minggu
depan aku pulang, tugas kuliah bisa aku bawa pulang karena personal bukan
kelompok, tapi setelah itu aku akan sibuk persiapan lomba Robot tingkat
nasional.”
“Owh... ya terserah
kamu,”
“Aku mau ngomong sama
Mas Hilmi,”
“Ada apa?”
“Hemm jangan
macam-macam dengan Hanin, awas ya!”
“Kalau kamu tidak
pulang, aku macem-macemin dia,”
“Husshhh, pengen peluk
dia, Mas.”
“Aku wakilkan,”
“Husshhh, Mas Hilmi
jangan macam-macam.”
“Kamu juga, belum
muhrim jangan macam-macam, Sarah sudah cukup jadi korbanmu terakhir.”
“Huuuuuu, korban apa?
Aku yang jadi korban,”
“Sudah, aku mau ngobrol
dengan Hanin, tutup telfonnya.”
Ada rasa sakit menjalar
di hati, ketika tahu Mas Hilmi bisa dekat dengan Hanin sementara aku jauh dari
pandangannya.
--¥--
“Hai,” aku menelfon
memakai telfon rumah.
“Dana, kamu di rumah?”
di seberang kaget mendengar suaraku.
“Iyaaaa, tidak main ke
rumah? Besok liburan, yuk!”
“Kemana?”
“Kemana, ya? Pantai? Ke Tuban dengan Bapak Ibu.”
“Hemm tidak repot
mengajak aku?”
“Tidak, besok pagi jam
6 aku jemput,”
Aku siapkan kamera dan
buku sketch, beberapa pensil juga aku bawa. Ibu bingung dan repot menyiapkan
makanan dan baju untuk Bapak. Ibu senang ketika aku punya ide mengajak Hanin,
aku tahu Ibu mungkin rindu punya anak perempuan, jadi siapapun perempuan yang
diajak Mas Hilmi dan aku, Ibu pasti menerima dengan tangan terbuka.
“Aku di depan kos
kamu,”
“Iya, aku ke depan,”
Aku tutup telfon dan
menunggunya, aku berdiri di depan gerbang kosnya yang tinggi menjulang, tidak
jauh dari rumahku dan dari kantornya.
“Mau di depan atau di
belakang dengan Ibu?” Bapak bertanya menggoda.
“Belakang saja, Om. Mau
cerita-cerita dengan Ibu,”
Aku mulai memutar mobil
dan berangkat ke Tuban, rencananya ke pantai Sowan lalu ke rumah teman Bapak di
sekitar Tuban baru keliling ke kotanya.
Mobil melaju tenang,
CRV-Honda warna hitam klasik yang dibeli Bapak dengan perjuangan membawa kami
keluar kota Bojonegoro, melewati RS Asiyah dan menuju perbatasan Bojonegoro-Tuban.
Jalan yang memang tidak terlalu bagus membuat kami lebih asyik bicara banyak
hal, ngalor-ngidul kalau Bahasa
Jawanya.
“Kamu ini panggil
Ibunya Hanif Ibu, kok panggil Bapaknya bukan Bapak malah Om? Panggil Hanif juga
Dana, kamu ini?”
“Kalau panggil Bapak
nanti jadi ingat Ayah di rumah, kalau panggilan Dana biar lain saja,”
“Kapan kamu pulang
Jogja?”
“Hemm kurang tahu, Om.
Mungkin nanti kalau ada libur panjangnya,”
“Kapan kamu libur
panjang? Kamu daftar PNS saja, lebih teratur jadwalnya. Hanif juga mau masuk
PNS nanti, iya kan?”
“Bapak, Hanif mau jadi
arsitek saja,”
“Arsitek, buat kandang
ayam saja roboh, buat robot juga tidak pernah menang, karya kamu yang paling
bagus ya cuma lukisan Hanin itupun karena objeknya bagus.”
Aku memanyunkan mulut
dan melihat Hanin dan Ibu tertawa di kursi belakang lewat kaca spion.
Kurang lebih satu
setengah jam kami semua sampai di pantai Sowan, pantai dipinggiran kota Tuban.
Pantai ini jarang pengunjung karena tempatnya yang jauh dan kurang ada
pemberdayaan dari pemerintah atau dinas pariwisata setempat, tapi tempat ini
bersih.
Bapak jadi suka foto,
beliau jadi fotografer dadakan dan siapa lagi korbannya kalau bukan Ibu dan
Hanin. Aku melukis dengan senjata utamaku pensil, senang melihat keakraban
Bapak dan Ibu. Hal seperti ini tidak aku temukan dengan Sarah. Dia makhluk kota
yang akrab dengan Mall, dia adalah pecinta mode, walaupun dia berjilbab tapi
mode manapun dia akan ikuti.
“Heh Hanif, sini foto
bersama.”
“Iyaaaa,” aku
menyingkirkan buku dan pensil di tikar dekat mobil, tripod dimanfaatkan, kami
berempat pasang gaya di depan bibir pantai. Lalu aku dan Hanin seperti
melakukan sesi pemotretan untuk prewedding,
kami kompak pasang gaya di depan Bapak.
Kami ke rumah teman
Bapak sekitar daerah Bulu lalu kami jalan-jalan ke Klenteng Kwan Sin Bio di
pantura tepi laut Tuban. Sudah beberapa kali ke klenteng ini tapi kali ini
bedanya karena ada Hanin. Lalu kami ke masjid Agung di alun-alun, disana kami
ziarah dan sholat di masjid.
“Sssttt.. sini, berdiri
disini lalu berdoa,”
“Kenapa?”
“Sudah,” aku angkat
tangan dan memejamkan mata. Sesekali aku lirik Hanin. Di depan Masjid Agung aku
berdoa semoga diberikan jodoh terbaik, sebaik Hanin.
“Doa apa?”
“Ada,”
“Aku amini deh,”
“Aku juga amini doamu,”
Aku senyum lalu kami
jalan-jalan sekitar alun-alun, dia membeli beberapa aksesoris yang berjejer
cantik yang ditawarkan para penjual di dekat Masjid.
Wajahnya tidak pernah
memancarkan rasa lelah, matanya tetap bersinar dan senyumnya tetap tulus. Aku
tahu sekarang bagaimana rasanya penasaran, dulu ada seorang kawan yang bilang ‘cinta sejati itu akan membuat tinggal lebih
lama di hatimu itu karena kamu merasa penasaran terhadapnya hingga ujung
perjalananmu berakhir’. Aku tidak mau bilang dia adalah cinta sejati, kami
baru mengenal, perasaan kami masih tumbuh seiring waktu, ada luka yang menganga
dan ada rasa senasib.
“Bapak dan Ibu kemana,
ya? Mereka asik pacaran,”
“Husshh mereka orangtua
kamu, tidak apalah mereka kan jarang pergi berdua,”
“Hemm tiap pagi mereka
pergi berdua ke kantor. Mereka juga suka jalan berdua kalau pulang ke Jogja.”
Aku bercerita kisah romantis orangtuaku.
“Ayo makan es dawet,”
Hanin sudah duduk anteng di depan tukang dawet, matanya
masih menyala terang melihat aksi tukang becak atau tukang parkir di depan
masjid yang kualahan mengatur pelancong dan tukang becak, mereka juga harus
bergerilya diantara banyaknya sepeda motor yang lalu lalang.
“Di kamar kamu aku
lihat buku Habibie dan Ainun, kamu baca itu juga?”
“Iya, kamu tahu buku
itu? Pernah baca?”
“Iya, dan sampai di
akhir halaman aku suka menangis, baca beberapa kali tetap saja menangis, menemukan
kekasih hati, tulang rusuk yang pas, belahan jiwa, itu sangat sulit,”
“Pak Habibie selalu
bilang senyuman yang memukau hati dan pandangan mata yang selalu saya
rindukan,” aku melihat Hanin masih tetap tenang.
“Atau Pak Habibie
berjanji ‘untuk tetap berada dalam satu atap’,”
“Lalu maukah kamu tetap
berada dalam satu atap denganku dengan cinta yang menjadikan kita manunggal?”
Hanin dengan cepat menatap wajahku, matanya tajam menatap mencari pembenaran
kalimatku.
Hanin diam lalu
menunduk dalam, dia terlihat sesenggukan. Aku diam sesaat.
“Jangan menangis nanti
hujan turun, kasihan Bapak dan Ibu yang sedang menikmati malam berdua,”
Hanin menahan sedikit
senyum di wajahnya “Apa arti 20 dan 23 tidak penting?” dia memamerkan muka
seriusnya sejurus kemudian.
“Kamu lebih muda dari
Mas Hilmi jadi tidak masalah, Bapak dan Ibu juga tak pernah mempermasalahkannya,
aku yakin dengan ini, setelah lulus aku janji cari pekerjaan, janji jadi
arsitek hebat seperti keinginan kamu, janji buat rumah sederhana dengan banyak
bunga di halaman, aku janji eemmm,” aku mungkin terlihat bodoh di depannya,
gaya bicaraku berapi-api walau aku sendiri tidak yakin apa yang baru saja aku
ucapkan.
“Apa? Kamu janji
terlalu banyak, apa bisa kamu tepati semua?”
“Kalau begitu yang
utama aku janji jadi imam di depanmu dalam agama, tapi berjalan beriringan mengarungi
hidup. Aku yang akan menggenggam tanganmu ketika kamu menangis dalam hujan, hai
perempuan hujan aku ingin bersamamu,”
Kulihat Hanin mulai
tersenyum, dia mendorong bahuku dan mengusap airmatanya.
“Hai Mr. Rainbow, kalau
aku perempuan hujan maka kamu adalah Rainbow, pelangi yang datang bawa warna
warni ceria setelah hujan turun,”
“Ahh, apa aku semenarik
itu?” aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Haha,” Hanin tertawa
keras, dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, kakinya menggantung
dan berayun. Dia indah di hati, perempuan hujan, dan persamaan kami adalah kami
punya logat ‘wayang’ 4 yang
lucu bagi kebanyakan orang di Jawa Timur karena kami dari Jogja. Ups mungkin
ini adalah satu tanda kami mulai jadi manunggal seperti Habibie Ainun.
4 Logat wayang adalah
cara bicara dengan Bahasa Indonesia campur Bahasa Jawa yang khas alias medok.
(istilah dari teman-teman penulis)
23 April 2012
Senang... finally selesai juga Perempuan
Hujan, hari senin deadline sih tapi mundur karena gak ada kata yang pas buat
endingnya.
Kali ini juga penulis pertama kali sebut
nama kota dan tempat asli hehe...
Gak sedang jatuh cinta sih but same feeling
i have before, i like him still but i start to dislike him hehe... so kalo
cintanya gak “pas kena hatimu” maklum aja deehhh hehe but i’m still trying...
for showing in love ^_^
Eh ya tokoh utamanya cowok loh, Pradana,
sifatnya 11-12 ma penulis suka baca buku berat, gak suka kata seandainya tapi
begitu ketemu ‘malaikat yang lupa bawa sayapnya’ jadi mulai suka kata
seandainya. Lagi patah hati sama kayak Dana, bedanya Dana bisa nge-yakinin
hatinya buat diisi sama orang lain dan “me” was here nunggu ada yang ngeyakinin
hati buat “He’s that me, yang kehilangan tulang rusuknya, yang Allah ciptain
buat kamu sejak 40 hari kamu dalam kandungan Ibu” haha ngarep apa doa yeaakk?
Hyuuh Rabb jodohin dia buat aku nangis gulung-gulung but Allah lebih tahu apa
yang Dek Nda butuhin ^_^ senyum semangat dengan mata berkaca-kaca...
Ups perlu diingat ini kisah fiksi bukan
based on true story... selamat menikmati daripada aku kepanjangan, hihi... muga
gak bosen ^_^...
0 comments:
Posting Komentar