Minggu, 13 Juni 2010

Cerpen : BECKHAM di bawah Langit Jakarta

Beckham Di Bawah Langit Jakarta
“Jelek banget permainannya”
“Heh ngomong apa??”
“Nggak ada!!”
“Heh sopan sedikit, ya??”
“Jadi cowok kok galak?!”
“Apa lihat-lihat???”
“Siapa?? Eh rugi lihat permainan kamu, nggak ada bagus-bagusnya!” aku memalingkan muka “Untung idola aku Beckham, bukan kamu”
“Dan untung juga Beckham nggak kenal kamu”
“Kok nyolot???”
“Siapa???”
“Heh ngapain disini??”
“Nggak lihat dari tadi??!! Main bola masak jualan bakso”
“Lebih baik kayaknya”
“Eh kamu tuh cewek bukan, sich?? Kalau ngomong dijaga! Kalau bukan cewek aja sudah aku...”
“Apa mau ngajak berantem?? Ayo kalau berani, aku bisa taekwondo” aku mengajaknya berantem.
“Haah gila mimpi apa semalam??”
“Heh mending buruan pergi darisini!!!”
“Ya...pasti!! Daripada lihat muka kamu yang jutek abis!!”
“Aku juga nggak suka lihat tampang kamu yang galak!!”
Biasanya saat olahraga tidak pernah lihat cowok itu, baru hari itu saja. Dan aku harap tidak akan ketemu dia lagi.
“Hahh kamu lagi?? Ngapain??”
“Heh aku sering olahraga disini, kamu saja yang nggak pernah kesini tiba-tiba jadi nampang disini”
“Heh ini tempat umum tiap orang berhak kesini”
“Ya sudah berarti aku nggak salah donk disini??”
“Hhhhiiiiihhhh jutek!!!”
“Galak!!!!!” habis lari muter lapangan dua kali sudah tidak kuat, perutku sering sakit. Bahkan aku rasakan sakitnya bertambah.
“Heh kenapa??”
“Nggak!!!!”
“Cewek aneh!?? Ini minum”
“Thanks”
“Your’re welcome”
“Kamu pasti bukan pemain inti, ya? Jelek banget. Pasti nggak bisa kayak Beckham masukin bola dari garis tengah lapangan. Boro-boro jarak 1 meter dari gawang saja belum tentu gol, kan??”
“Heh menghina banget!! Beckam bisa masukin dari jarak jauh itu hanya kebetulan”
“Iiihhh siapa bilang??? Memangnya kamu bisa ngumpan ke teman-teman biar ciptain gol emas??? Nggak bisa, kan?? Pemain kacangan saja sombong”
“Heh jutek jangan sombong, ya??? Aku juga bisa kayak Beckham”
“Sudah ah aku pulang dulu, thanks minumnya”

Hari ini pertandingan basket antar sekolah, kebetulan diadakan di sekolahku jadi tidak perlu jalan jauh. Timku menang, tidak heran juga karena banyak senior yang ikut dari anak kelas satu cuma 2 yang masuk tim inti.
“Hai jutek...ternyata kamu anak 40, ya?? Kelas berapa?? Selamat ya kemarin menang”
“Nonton juga??”
“Diajak teman-teman, tahunya lihat kamu. Jago juga!!??”
“Kamu anak 70??”
“Yup betul, kelas satu jadi masih imut”
“Iiihhh nnggaku imut?? Namaku Kalila, biasanya teman-teman panggil aku Ila. Aku juga kelas satu tim inti basket SMU 40”
“Sombong...Eh sudah lari???”
“Sudah...”
“Wah telat, donk??” dia melihatku, aku cuekin saja karena perutku masih sangat sakit.
“Sana latihan!!! Katanya mau jadi Beckham??”
“Kamu?? Nggak apa-apa??”
“Nggak...sudah sana!!” aku meringis saja menahan sakit. Aku duduk di tangga penonton melihatnya latihan bola.
“Heh jangan pingsan, ya??”
“Nggak, lah!!??”
“Besok final, ya?? Gimana kalau kamu kalah??”
“Nggak mungkin, aku juara basket terus dari SMP”
“Siapa tahu???”
“Kalau aku kalah aku rela nglakuin apa saja buat kamu”
“Wah yang benar?? Seru, tuh??”
“Kalau aku menang, gimana??”
“Aku juga rela nglakuin apa saja demi kamu”
“Deal...” kita buat kesepakatan hari itu juga.
Pulang ke rumah, Ibu marah-marah karena kakiku biru-biru lebam. Kecapekan ditambah lagi sakit di perut ini. Ibu tahu sakit ini dan kalau di bujuk ke dokter pasti tidak mau. Ibu dan Ayah hanya bisa cerewet saja dengan melarang aku untuk tidak terlalu capek.

Pertandingan final ini menentukan dan aku merasa kurang fit...perutku sangat sakit.
“Ila...semoga sukses, ya??” cowok yang belum aku ketahui namanya itu menemuiku di dekat lapangan.
“Thanks...benar-benar doain, kan??”
“Iyalah...kamu kenapa??” dia melihatku menahan sakit dan memegang perutku.
“Nggak apa-apa”
“Oke...hati-hati, ya?!! Good luck!!” cowok itu menghilang berbaur dengan penonton di lapangan.
Menang...timku menang dan juara satu. Tapi aku harus istirahat total samapi rumah sakitnya sudah tidak tertahan. Dua hari tidak masuk sekolah.
Rabu ini mulai masuk sekolah dan aku bisa ke lapangan lagi. Eh ada cowok itu lagi sedang main bola sama teman-temannya.
“Ila...”
“Hai...”
“La, ini teman-teman aku, kenalin” aku kenalan denagn teman satu timnya cowok itu.
“Oke, Tu. Kita balik, ya?? Kamu dah ada yang nemenin” teman-temannya pergi semua dan tadi teman-temannya bilang Tu siapa ya nama cowok ini.
“Dua hari nggak kelihatan kemana saja?? Hari ini juga sepertinya tidak olahraga”
“Sakit...”
“Oooohhh si jutek ini bisa juga sakit??!!”
“Galak...aku mau nagih janji. Katanya kamu rela nglakuin apa saja kalau aku menang”
“Iya...sekarang, nih?? Mau apa, jutek??”
“Lari 3 kali keliling lapangan!!!”
“Haahhh nggak salah??!! Dalam rangka apa??”
“Mau, nggak?? Katanya mau kayak Beckham?? Mulai sekarang aku pelatih kamu”
“Haaahh kamu kan cewek??”
“Jangan salah, selain bisa basket dan taekwondo, aku juga bisa main bola dikit. Itupun dari kakak”
“Oohh kakak kamu cowok??” aku hanya mengangguk dan dia sudah mulai lari tanpa banyak bicara.
“Kalau mau ngoper bola, jangan jadikan lawan kamu musuh anggap teman. Teman yang akan bantu kamu ngoper bola ke teman satu timmu. Jangan hanya pakai otak, untuk berfikir saat dapat bola tapi dengan hati dan harus fokus. Coba saja!!” aku melatihnya sedikit dan dia mulai mempraktekkannya. Aku hanya melihat saja.
“Canggih juga kamu??”
“Iya, donk”
“Kalau aku masuk tim inti aku rela nglakuin apa saja buat kamu??”
“Jangan hanya janji, ngomong, doank!! Buktiin??!!! Hari ini pelajarannya”
“Jutek...besok latihan lagi, ya??” kulihat dia istirahat dan setelah beberapa saat kami pulang.
“Ila...sudah Ibu bilang jangan olahraga dulu!!!” sampai rumah Ibu langsung marah-marah.
“Tadi Ila cuma jalan-jalan, Bu”
“Kamu masih sakit, diajak ke dokter tidak mau. Nanti kalau kumat lagi Ibu nggak mau tahu”
“Iya...jangan marah, Bu! Ila cuma jalan-jalan, Ila janji nggak akan olahraga dulu”

Kamis sore ini aku ke lapangan lagi dan Si Galak itu sudah menunggu. Satu jam kami latihan dan kutangkap ada rasa lelah di wajahnya.
“Sudah, ya?? Lebih baik pulang istirahat”
“Eh...Jutek..malam minggu besok ada acara, nggak??”
“Kenapa??”
“Aahh cuma mau ngajak nonton”
“Nggak kencan, kan??”
“Justru ngajak kamu kencan nggak apa-apa, kan?? Kenapa?? Belum pernah?? Hehehe sama...aku juga belum pernah. Ini pertama kalinya aku ngajak cewek nonton. Beneran, nggak bohong”
“Nanti aku bilang sama Ibu dulu, ya??”
“Oke, masih da waktu 2 hari. Sabtu nanti aku tanding persahabatan sekaligus penentuan tim inti. Kamu nonton, nggak??”
“Insya Allah...oya besok nggak usah latihan. Kalau mau tanding usahain nggak usah stress dan capek”
“Yach...gitu, ya??” dia melihatku dan aku menahan sakit perut ini.
“Pokoknya harus rileks jadi benar-benar fit saat tanding”
“La, kamu nggak apa-apa?? kamu pucat banget?? Nanti aku antar pulang, ya??”
“Nggak usah, nggak apa-apa”
Pulang rumah sangat menyesakkan dada, sakit ini sangat teramat tak bisa ditahan dan akhirnya aku nangis di kamar. Ibu merawatku.

“Ila...ngapain?? olahraga, ya?? Katanya masih sakit??”
“Nggak cuma lihat-lihat orang olahraga”
“Aneh...”
“Aku takut nggak bisa olahraga lagi...”
“Kamu ngomong apa?? Kamu masih pucat?? Nanti aku antar pulang, ya??”
“Makasih, nggak usah! Ngrepotin kamu saja”
“Aku tahu rumah kamu, kok?”
“Haah!!! Selain rumah tahu apa lagi??”
“Nomer telfon, kakak kamu, hobi kamu, banyak lagi...”
“Kamu mata-matai aku??”
“Hehhehe...ternyata kamu bisa juga nggak jutek”
“Kamu juga bisa nggak galak” sakitku sudah tak tertahan dan aku sudah tidak jelas melihat sekelilingku...
Saat aku bangun semua sekelilingku serba putih. Sudah ada jarum infus di tanganku. Sakit di perutku masih tersisa.
“Ila...kamu di Rumah Sakit”
“Ada apa, Bu??”
“Nggak cuma sakit ringan nggak bahaya. Tadi Restu yang mengantar kamu ke sini, katanya teman kamu”
“Restu...” aku berfikir sejenak dan ternyata namanya Restu.
“Malam, Ila?? Masih sakit??” aku hanya mengangguk ketika seorang lelaki usia paruh baya dengan baju kebesarannya dan aku tahu pasti dia seorang dokter.
“Kalau tidak tertahan operasi dilakukan malam ini, tapi kalau masih bisa tahan besok pagi karena harus puasa dulu”
“Haahhh operasi!!” aku kaget tapi dengan nada masih lemah “Nggak mau...” aku merengek pada Ibu di sampingku.
“Ini operasi usus buntu, La” ibuku mengelus rambutku dengan kasihnya dan Ayah masih tetap mendampinginya.
“Iya...operasi ringan, jadi santai saja!!” dokter di depanku masih membujukku.
“Masih bisa main basket?? Masih bisa lari?? Main bola?? Taekwondo??” aku merengek dan menangis pada dokter itu.
“Masih...ini tidak terlalu membahayakan. Kamu santai saja. Setelah operasi kamu bisa lari, main bola, basket, berantem juga bisa” dokter itu menenangkanku.

Pagi itu hari yang buruk, aku masuk kamar operasi. Padahal sabtu ini kalau aku sehat aku bisa nonton Si Galak bertanding.
“Bu...aku mau minum...” aku sangat lemah dan kulihat Si Galak itu ada di kamarku. Sudah sore kulihat dari kaca jendela kamarku.
“Hai...La...”
“Hai...bagaimana pertandingannya, maaf tidak bisa nonton”
“Nggak apa-apa, kesehatan kamu lebih penting”
“Menang atau kalah??”
“Aku masuk tim inti...ini berkat kamu”
“Oya...seneng, donk?? Ini karena kamu sendiri yang mau berusaha bukan karena aku”
“Tapi kamu ngajari aku dasar-dasar main bola. Hari Senin aku tanding, aku harap kamu bisa nonton. Aku akan tunjukkan aku bisa seperti Beckham bahkan lebih baik” aku melihat ke arah Ayah dan Ibu dan mereka menganggukkan kepala.
“Berarti bisa menepati janji, donk?? Rela nglakuin apa saja buat aku??”
“Iya... dan untuk yang pertama aku rela menemani kamu malam minggu ini di Rumah Sakit sebagai ganti kencan kita yang gagal” lirih dia ucapkan karena takut Ayah dan Ibuku akan marah. Aku hanya tertawa saja melihat kelakuannya.
Setelah aku keluar dari Rumah Sakit aku bisa nonton Restu bertanding di Senayan. Hhhuuuhhh sama teman-teman, ramai sekali dari seluruh SMU-SMU nongkrong disini. Dan aku menantikan Restu keluar dan berlaga di lapangan hijau ini.
SMU 70 dan Putra Bangsa yang bertanding kali ini. Saat tim Restu keluar semua teman-temanku menjerit, aku sudah beritahu kalau aku kenal Restu dan teman-temannya.
Semua memegang bendera tim masing-masing. Restu banyak peningkatan dibandingkan saat aku pertama kali ketemu dia. Permainannya lumayan tidak seburuk waktu itu. Dan dia mencetak gol pertama untuk timnya sore itu. Sore itu aku lihat di bawah langit Jakarta ini ada sosok Beckham baru. Aku tersenyum melihatnya dari tribun penonton dan aku tahu pasti dia sadar akan keberadaanku disini untuknya.

4 January 2007

~ M ~
Ada cinta dengan bentuk lain
Bukan sekedar rasa
Tapi desah hati dan galau jiwa
Jika cinta tak ada yang bisa menyembunyikannya
Tidak juga sikap dan tutur
~ M ~