MELODY CICAK
“Yeahhh..., asli gila, bisa mati berdiri Bapakku kalau sampai
ketangkap polisi-polisi itu,” aku tertawa bersama teman-teman kembali mengatur
nafas yang tersengal-sengal setelah berlari menghindari kejaran polisi.
“Tawuran yang dahsyat,”
“Iyo, Mas.” Aku memandang kawan sepermainanku sekaligus
senior di sekolahku.
“Ayo balik ora usah
difikir,”1
Semua pulang, jantungku masih berdegub keras, aku berfikir
bagaimana kalau benar-benar tertangkap polisi. Membayangkan wajah Bapak yang
akan memaki aku dan pasti langsung menghapusku dari daftar keluarganya bahkan
dari daftar warisannya. Deuhhh bisa apa aku tanpa warisan Bapak walaupun aku
tahu Bapak tidak punya harta yang melimpah. Dan wajah Ibu, deuuhh perempuan
paling lembut yang pernah berada di sisiku ya hanya Ibu. Walaupun ada Asti yang
cantik, putih dan ramah. Ada Gusti yang punya mata indah karena dia dari Bali.
Ada banyak perempuan yang mengisi hariku tapi Ibu adalah yang paling lembut dan
memaklumi segala tingkah polahku.
“Assalamualaikum,”
“Wa’alaikumsalam,”
“Bu, kok sepi?”
“Apa ndak kayak
biasanya, Le?”2
“Iyo yo, Bu.” Aku
nyengir kuda di depan wajah Ibu.
“Ganti baju sana! Bau, jangan lupa cuci kaki dan tangannya
lalu makan, Ibu masak makanan kesukaanmu,”
“Iya, Bu? Wah semangat aku,”
Aku bersiul-siul di kamar mengganti seragam sekolahku dan
berlari kecil ke kamar mandi yang letaknya cuma sejengkal dari kamarku.
“Oalah wis joko kok
kelakuane isih koyo cah cilik,”3
“Deuh Ibu, aku Furqon bukan Joko.” Dengan cuek aku membalas
kalimat Ibu.
“Ya wis cepet keburu dingin makananmu,”
“Inggih Ibu,”4
1 Ayo pulang tidak perlu difikir
2 Apa tidak seperti biasanya, Nak?
3 Oalah sudah perjaka kelakuannya masih seperti anak kecil
4 Iya, Bu
Aku melepas semua baju karena aku merasa gerah setelah proses
lari-lari dan perang ala anak sekolah yang lebih dikenal dengan tawuran,
kuputuskan mandi saja sebelum menyantap masakan Ibu.
“Furqon, ada yang cari,”
“Siapa, Bu?” aku asyik menata rambutku yang basah, ingin hati
berniat mencukur rambutku tapi bingung memilih model rambut. Sebelum
benar-benar kandas rambutku maka aku ingin mencari model terbaik. Di depan kaca
kamar mandi aku menata gaya rambut dengan bermacam versi. Belum ada yang cocok
atau mungkin karena wajahku terlalu manis sehingga terlalu susah mencari model
rambut.
“Le, keburu pergi ini tamunya!”
“Iya, sabar, orang sabar disayang pacar,” aku menyahut nakal.
Aku langsung keluar dan memandang tamuku, siapa gerangan
bertamu di siang hari nan menyengat.
“Astaghfirullah, Le!” Ibu langsung teriak begitu aku keluar
dari kamar mandi. Bingung apa yang terjadi, aku hanya bertampang polos tidak
tahu menahu tapi tamu perempuan di samping Ibu langsung menunduk tak menatapku.
“Hyaa...,” aku tercengang begitu memandang tubuhku dari dada
ke bawah. “Maaf, tidak sengaja, ini di luar kekuasaan, ini pengaruh alam,”
“Maaf, Nak.” Ibu berusaha menenangkan tamu untukku.
“Tidak apa, Bu. Mungkin Mas Furqon tidak sadar,” kudengar
kata-kata maklum dari tamuku yang tidak lain adalah Aisyah, anak Pak RT dan
juga teman mengaji di Mushola. Tapi sungguh kata-kata tidak apanya itu tidak
akan pernah menghapus rasa maluku seumur hidup. Berdiri dengan tampang polos
tanpa memakai celana untung saja aku tidak lupa memakai celana dalam kalau
tidak bisa dipaksa kawin dengan Aisyah. Tapi kalaupun dipaksa ya mau saja, justru tidak terpaksa tapi dengan
senang dan ikhlas hati. Siapa tidak kenal Aisyah, sudah cantik, pintar,
qiro’ah, apalagi yang kurang untuk jadi mantu ideal Bapak dan Ibu.
Aku keluar dengan menahan rasa malu, “Ada apa kok siang-siang
kesini?”
“Anu Mas, nanti sore di minta mengajar anak di Langgar Pak
Haji Said,”
“Kok aku? Tidak ada pilihan yang lebih baik?”
“Sudah tidak ada personil lagi, Mas. Mas juga baik ngajinya,
tajwid dan hafalannya baik jadi menurut Haji Said Mas Furqon cocok mengajar di
tempatnya,”
“Wah, bagaimana, ya?”
“Terima saja, hari ini saja tapi kalau cocok bisa
diteruskan,”
“Ya sudah nanti aku yang mengisi,”
“Terimakasih, Mas. Aisyah pulang dulu, maaf mengganggu,”
“Deuuhh aku yang minta maaf sudah kasih Dek Aisyah tontonan
porno di siang hari,” aku menggaruk kepala sambil senyum menahan malu menunduk
dalam.
Ya sejak itu, setiap bertemu dengan Aisyah aku merasa sangat
malu. Dan hari itu pula aku ingat Bapak teriak-teriak karena tahu aku ikut
tawuran sekolah.
Tapi Alhamdulillah rencana dan bayangan dihapus dari daftar
keluarga dan warisan tidak terjadi. Aku masih bisa bermimpi mendapat sepeda
kumbang dan motor BMW alias bebek merah warnanya tahun 70an milik Bapak.
Aku kini berdiri di depan ruang UGD sebuah rumah sakit di
salah satu propinsi di Jawa Timur. Jantungku berdegub sama seperti hari itu,
bedanya adalah penyebabnya.
Tidak ada suster atau dokter keluar dari ruang itu untuk
memberikan kabar atau paling tidak bisa donk kirim pesan singkat,
sesingkat-singkatnya agar sedikit berkurang rasa tak karuan di dada.
Aku duduk di kursi tunggu depan pintu besar dan lebar
bertuliskan UGD 24 Jam. Lemas seluruh sendiku, mukaku pucat dan tubuh gemetar
tapi ini mungkin juga agak berlebihan karena memang dari pagi belum terisi
sebutir nasipun perut ini.
Sebelum sekarang berdiri disini, akhir kisahku adalah di
pesantren, ketika bapak dan Ibu benar-benar mengirimku ke pesantren bukan ke
SMA anak-anak normal. Cita-cita yang aku rajut tiap malam pupus sudah begitu
jejak langkahku menapaki dunia pesantren.
Di kampung setiap kali libur, semua jadi sedikit hormat dan
membanggakan aku yang anak pesantren.
“Deuh ini dia anak kebanggaan, calon ustadz masa depan,”
Aku hanya tersipu diam, tak tahu bagaimana menanggapi omongan
para tetangga. Mereka tidak tahu betapa hidup di pesantren adalah lebih kejam
dari di penjara bagi anak-anak yang suka dunia kebebasan.
Berhubung orangtua tidak terlalu kaya tapi miskin juga tidak
jadi hanya mampu memasukkan aku ke pesantren yang biasa saja.
Hari pertama di pesantren, harus bangun jam 3 kurang, aduh
padahal baru tidur jam 12 malam. Ini Pak Kyai memang agak ekstrim, tidak
memahami anak yang baru bermetamorfosis dari kurang baik jadi ke arah sedikit
baik. Akhirnya hari itu jadi korban penyiraman air satu ember akibat sehabis
subuh tidur lagi. Terpaksa menjemur kasur dan merapikan kamar serta buku yang
sebagian total basah.
Atau kisah lainku yang ikut-ikutan mengintip para santri
perempuan yang sedang mengaji, alhasil tidak hanya disuruh upacara tiap pagi
tapi membersihkan seluruh pesantren tiap hari selama sebulan.
Asli di pesantren tidak ada enaknya, apalagi makanan ala
penjara cuma tempe goreng dan sayur ala kadarnya, tukang masak di pesantren
suka asal kasih bumbu. Kadang tempe goreng manis, sayurnya kelewat pedas.
Totalnya berapa kali pingsan karena menahan lapar, tidak sanggup makan dengan
rasa yang beraneka ragam. Jadi ketika ada libur dan pulang menikmati masakan
Ibu, betapa aku terharu di depan makanan yang dimasak Ibu. Ibu sendiri heran
melihat tingkahku tapi kelamaan beliau paham. Ketika pulang dari masa liburan
aku rela membawa berkarung-karung makanan yang bisa awet berapa lama daripada
harus makan makanan tukang sayur.
Walaupun di pesantren aku tak kehilangan akal memakai jurus
mautku merayu gadis-gadis apalagi di pesantren gadisnya cantik-cantik. Satu hal
yang tidak membuatku menyesal masuk pesantren.
Neina adalah satu dari ribuan santriwati yang mampu membuatku
luluh. Bibirnya tipis dan warnanya merah muda selaras dengan kulitnya yang
putih bersih. Seni grafiti arabnya sangat luar biasa indah, maklum darah
seniman didapat dari sang ayah yang pelukis di Bali.
Santri perempuan dan lelaki dipisah dan kami jarang
berinteraksi, kalau ada acara besar kita baru bisa bertemu. Dan pertemuan
pertama memang berkesan maka siang malam, pagi sore hanya bisa membayangkan
wajahnya. Terkadang bisa senyum dan tertawa sendiri sampai semua teman-teman
menertawakanku dan memanggilku si gila. Mereka tidak tahu apa yang aku rasakan,
jantungku berdegup dan wajahku merah tomat kalau aku mengingatnya.
Akhirnya aku beranikan diri menulis surat kepadanya, surat
cinta bahasa mudahnya.
Aku berusaha menulis seromantis mungkin agar dia terkesan.
Aku tulis di sela-sela kegiatan pesantren. Aku tahu akan bertemu dia lagi dan
tidak lama lagi dari waktu aku menulis surat. Akan ada kegiatan pengajian besar
mengundang ustadz ternama, itu kesempatanku meyampaikan surat yang berisi semua
hal di hatiku dan fikirku.
Akhirnya hari yang ditunggu tiba, aku rela tobat kalau dia
jadi milikku. Surat cinta di tangan telah rapi dan aku menyimpannya di saku
celana belakang bersama saputangan yang wangi, berharap surat itu wangi
walaupun ada di saku pantat tapi kuharap tak mengurangi jampi-jampi dalam surat
itu.
Begitu tegang aku ketika acara mau di mulai, aku mencari
tempat duduk yang strategis dan aku mengucap bismillah ribuan kali demi
melancarkan aksiku.
Kami para santri mendengar tausiah seorang ustadz, ada ribuan
kalimat indah ditwarkan sang ustdaz. Tiba-tiba sang ustdz memanggil sebuah nama
yang tak asing di telingaku.
Seorang gadis maju ke depan dan tertunduk, jilbab panjangnya
dan roknya membuatnya lebih anggun. Neina Al Hakim. Jantungku serasa mau copot.
“Ini, sepertinya ada seseorang yang mau menyampaikan banyak
hal kepada Nak Neina,” sang ustadz menapaki jalan mencari celah mengungkap
suatu hal.
“Neina kurang paham maksud Pak Ustadz,”
“Lihatlah,”
“Surat itu…, Duh Gusti…, kenapa bisa
sampai ke tangan ustadz itu,” dalam hati aku cemas.
Aku merogoh saku di pantat dan nihil, tak kutemukan surat
cintaku, hanya ada saputangan saja. Aku memutar otak, jumpalitan, mencari
alasan dan mencari cara lari dari tempat itu. Tapi tidak bisa begitu suara
keras seperti suara malaikat yang hendak mencabut nyawa.
“Saudara Furqon silahkan ke depan,”
Tiba-tiba aku merasa semua mata tertuju padaku, seperti
senjata revolver yang hendak membunuhku. Kenapa hanya satu Furqon di pesantren
itu kenapa tidak 100 Furqon seperti 150 Agus yang terdaftar di pesantren itu.
Aku menyesal mencantumkan nama di atas lembar surat itu.
Dengan lemas dan menahan malu aku maju, berlahan aku
mengayunkan langkahku, panggung itu serasa jauh dan aku harus lebih lama
menahan mataku untuk tetap tertunduk. Kali ini jagoan kalah di depan cinta.
Dan puncaknya ketika aku harus membacakan surat yang aku
tulis langsung kepada sang gadis. Semua santri tertawa dan sang ustadz hanya
geleng-geleng, guru-guru sudah geram menahan amarah sekaligus menertawakanku.
Aku mengutuk diriku sendiri dalam hati.
Gadis itu hanya diam
menahan malu dan berhasil membuat kata penolakan yang tertancap jelas di
jidatku. Ternyata seorang ustadz sudah lebih dulu melamarnya. Duh Gusti malang
benar nasibku sudah malu ditolak pula, patah hati jadi remuk dan luluh lantak.
Akhirnya Si Gila dengan Surat Cinta melekat di panggilanku.
Tapi bukan tidak ada prestasi, kisah robotik penari menjadi juara mewakili
sekolahku di kancah nasional lomba robotik. Aku yang merangkainya dan kelak aku
ingin jadi seperti Habibie yang bisa menerbangkan pesawat dengan ilmunya.
* * *
“Pak Furqon, silahkan masuk,”
“Saya boleh masuk?”
“Iya, silahkan sudah ditunggu istrinya di dalam,”
Aku menurut saja mengikuti seorang suster cantik dengan tahi
lalat kecil di atas bibirnya.
“Hai, bagaimana?”
“Sakitnya bukan main,”
“Sabar, ya.”
Aku tak berhenti mencium punggung tangan istriku. Genggaman erat
tangannya menjadikan aku tahu satu hal, sakit yang dia rasakan tak hanya sakit
biasa tapi memang benar-benar sakit. Zikir dan doa dari mulutku tak pernah
hentinya.
Aku memandang wajah bidadariku dan menatap matanya tajam,
ribuan doa tercurah untuknya. Aku tak lagi sanggup berfikir bagaimana kalau aku
tak memilikinya.
Aku ingat bagaimana aku menemukannya di saat aku memang
menginginkannya.
“Ssttt ikut kuliah anak FISIP, yuk!”
Ajak seorang kawan kos yang dulu memang mengincar gadis
jurusan FISIP. Aku tidak menolak dan tidak pula mengiyakan, justru karena itu
akhirnya aku mengamininya.
Duduk di kelas anak HUMAS dengan mata kuliah yang sangat
asing dan kawan kelas yang asing pula.
“Hei mana kawan kamu?”
“Belum datang, otw katanya,”
Aku mulai tidak tenang karena tidak ada seorangpun yang aku
kenal, tapi mataku tertuju pada satu titik cahaya, mukanya paling bening dan
sorot matanya mirip lampu mercusuar di lautan.
Aku pasang aksi dan cari perhatian, kursinya tak jauh dari
tempat aku duduk. Rusli masih menuggu kawannya dan Adi sudah asyik ngobrol
dengan seorang gadis.
Keluar kelas dan dengan aksi singkat ku dapat alamat rumah
dan no telfon seorang gadis bening bernama Wita.
“Mbak Shopi,”
“Iya, ini buku kemarin, terimakasih,” Aqila menyodorkan buku
tebal ke arah seorang gadis dengan selendang menutup kepala.
Aku memandang gadis itu lekat, jantungku berdegub hebat.
“Teman-teman ini Mbak Shopia, anak BEM dan seniorku,”
Tangan itu sampai juga di depanku dan ahh ada tato di
punggung tangannya. Tato itu membuatku menekuk muka. Aku leleh lemes patah hati
sebelum hati itu nyambung kenceng rapet. Yang membuat tambah lemes badan adalah
tato salibnya bukan hanya tato biasa, jadi kerudung yang menghias cantik
menutup rambut hampir setengahnya bukan menunjukkan dia adalah muslim. Kalau
jantungnya bisa berhenti saat itu mungkin langsung berhenti. Tato
salib itu menggantung di sebuah untaian manik-manik,
mungkin Rosario kalau dalam agamanya.
Aku berusaha melupakannya sejak pertemuan pertama dengan gadis bertato
itu. Tapi kenapa jadi lebih penasaran dengan gadis manis itu.
Aku tersenyum pada istriku yang mencoba mengejan atas instruksi dokter di
depan kami. Tangannya kuat menggenggam tanganku.
* * *
Aku memberanikan
diri untuk menemui gadis manis
itu, gedung FISIP, kali ini aku datang sendiri tanpa kawan-kawanku. Entah kenapa aku jadi
serius tidak menunjukkan penampilanku yang slengekan kata orang Jawa.
“Tidak merasa aneh jalan denganku?”
“Kenapa? Tidak ada yang aneh,”
“Agamaku, Tuhanmu dan Tuhanku berbeda,”
“Tuhan kita satu, kita yang beda,” aku mencoba bijak, lebih tepatnya sok
bijak. Entah kenapa selalu ingin merasa jadi dewasa di depan dia.
“Isa dalam agamamu Nabi dan dalam agamaku…,”
“Itu persoalan lama, bukankah kita hidup di negeri yang membesarkan ajaran
toleransi?”
“Muhammad Nabi akhir jaman, dia yang membawa kebaikan di muka bumi ini,”
bijak kata keluar dari mulut tipis Shopia.
Hatiku semakin luluh, betapa dia gadis yang
mampu benar-benar menggerakkan hatiku.
Sayang agamanya tak sama denganku.
Hatiku harus menjauh walaupun aku sadar aku sedang jatuh cinta sejatuh-jatuhnya.
Tak enak makan dan tak enak tidur. Tiba-tiba ada cicak jatuh dari langit-langit
kamar setelah cicak itu bergulat
dengan rekannya sesama cicak. Aku
kaget dan langsung teriak, satu kosnya langsung berduyun-duyun masuk kamar bergerombol di pintu sampai pintu penuh ingin tahu ada apa gerangan dan aku hanya senyum kecut sambil menunjuk
cicak yang sudah lari dan hanya meninggalkan ekornya yang kecil.
* * *
“Aaaaaaahhhhhhhhhhhhh… huh huh huh…,”
“Ayo terus,” aku mendadak sadar masih
menunggui istriku melahirkan,
istri yang paling kusayang sedang mengejan memberi ruang
hidup untuk anak kami.
Airmataku berlinang melihat istriku,
fikirku melayang ketika haru biru pinanganku
diterima gadis yang kini menjadi istriku
dan kami harus berjuang bersama ketika itu.
“Ayahku non muslim, Ibuku muslim, Ibu mengenal muslim dari
sahabatnya. Akhirnya mereka berpisah dengan cara yang baik karena tidak
sepaham, aku ikut keyakinan Ayahku walaupun dari kecil aku mengenal dua agama
itu. bukankah dalam agamamu suami atau ayah adalah Imam? Maka Ayahkupun telah
menjadi Imamku, sementara kerudungku adalah baktiku kepada Ibuku. Tato inipun
bukan apa yang ada dalam fikirmu tapi ini adalah 33 buah tasbih, salib ini
milik Ayahku. Namaku adalah Shopia Annisa, dari surat An-Nisa, Yaa
Ayyuhannasuttaqurabbakummulladzi kholaqokumminnafsiwwakhidat….”
“Subhanallah,” dalam hati Furqon berucap, di hatinya mungkin
tidak ada Allah tapi dalam tuturnya dan sikapnya ada jiwa dan hati muslimah
sejati. Hafalan dan tajwidnya
cantik dan indah.
Airmataku mengalir double ingat masa
lalunya yang nakal dan masa sulit menahan hatinya dan sekarang berdiri
disamping istriku yang sedang dalam hidup dan mati. Masih indah terngiang suara merdu lantunan surat An-Nisa.
* * *
Aku mantap meminang gadis yang sudah 2 bulan membuat hatiku kusut dan rambutku kusut, dan saat
menikah semua mantan aku undang dan mengenalkan pada istriku, aku ingin dia tahu kalau dia adalah yang terbaik.
Aku juga menyanyi satu lagu dan
yang lebih haru biru dia membaca surat Al Anbiya 89, akhirnya aku menikah juga dengan dia kekasih belahan
jiwa, yang rela menjadi satu dalam kisahku dan mewarnai setengah dienku.
“Oek oek…”
“Selamat anak anda laki-laki,”
“Alhamdulillah, saya yang akan adzan di telinganya, Dok.”
“Silahkan,”
Aku bergetar, kini aku menjadi sosok dewasa untuk anakku, tak lagi nakal.
Dia gagah sekali dan kelak harus lebih baik dari aku. Amin.
Aku haru melihat
bayi merah di tanganku, tangis membuncah dan aku mendengar
suara cicak dari dinding di belakang dokter lalu cicak itu melotot kepadaku dan
hilang semua, gelap jadinya.
Dirasa ringan tangannya tanpa kehadiran sang bayi. Dan lalu semua putih,
ada seorang perempuan dua di depanku mereka tersenyum.
“Bapak tidak apa-apa?”
“Iya, dimana ini? Anak saya, Dok?”
“Di ruang perawatan dengan istri anda. Tadi anda pingsan saat mendengar
suara cicak.”
“Deuuh saya phobia sama cicak, Dok.”
“Owh…disamping itu, anda juga kelelahan dan sepertinya belum makan.”
“Iya, Dok.” Aku nyengir dan garuk-garuk kepala.
Setelah beberapa saat aku dirawat, aku menemui istri dan anakku. Betapa
bahagia aku menatap kedua anugerahku di bumi Allah ini. Kucium tangan perempuan
yang lemah terbaring tepat di punggung tangannya dengan tato salib kecil
menjuntai butir tasbih 33 buah.
Tak lagi sepi hidupku, tak lagi bernoda hidupku. Bahkan dia yang rela memberi
mahar terindah dengan keIslamannya.
1-30 Okt 2011, Bojonegoro
0 comments:
Posting Komentar