Selasa, 22 September 2015

>> Say Hello For Me



Say Hello For Me
“Ibuuuu, bangun, aku dan Ayah sangat rindu padamu.”
“Tenang anak manis, Ibu akan bangun, kamu jangan nakal dan tetap berdoa untuk Ibu.”
“Ayah, kenapa Ibu hanya tidur terus setiap hari? Apa dia akan mati?”
“Emma, kamu tidak boleh bicara seperti itu, ayo kita pulang, kamu harus mandi dan ganti baju lalu buat PR di rumah.” Aku tidak tahu dia dapat darimana kata-kata itu.
“Apa Ibu akan ikut kita?”
“Tidak, Ibu akan tetap disini, kalau dia ikut kita nanti bisa terjadi sesuatu,”
“Iyaahh, aku tidak mau menangis karena Ibu mati, aku tidak mau itu terjadi seperti di tv yang pernah aku lihat.” Sekarang aku tahu dia dapat kata-kata itu dari tayangan tv.
Aku lalu melihatnya, dia Arsya, perempuan yang beberapa hari lalu masih bersamaku dan tersenyum ceria. Kami duduk berdua di sebuah rumah makan kecil, kami membicarakan perkembangan anak kami. Dia adalah Caca, teman sekampusku dulu dan Ibu dari anakku Emma. Karena kesalahanku membuatnya berada di rumah sakit ini, dia hanya diam tak lagi ada makanan yang masuk ke mulutnya. Semua yang diperlukannya berasal dari selang-selang kecil yang menggantung di atas dekat tempat tidurnya.
Kecelakaan yang terjadi seusai kami makan siang di hari naas itu. Aku yang salah menyalip mobil depan tapi tiba-tiba mobil belakangku datang mencoba mendahului. Caca tidak memakai sabuk pengaman, aku melihatnya berlumuran darah ketika aku sadar. Rasa nyeri di tubuhku tak kuhiraukan, aku berteriak meminta pertolongan untuknya. Dia selamat tapi tak sadarkan diri hingga kini, hari ke 5. Dokter bilang dia koma, ada pendarahan kecil di otak depan, dokter sudah mencoba menolong. Ini kuasa Allah, tapi aku selalu disuruh berbicara apa saja dengannya, aku sering membacakan buku-buku kesukaannya dan mengaji untuknya. Ayah dan Mama selalu menangis melihat keadaan putri mereka, aku tak tega melihatnya.
“Mana sisir kamu?” aku mencoba memanjakan Emma seperti cara Ibunya memanjakannya.
“Di kamar Ibu,”
“Ayo kesana,”
“Ayah, nanti aku bacakan dongeng lagi, ya!”
“Iya, kamu kerjakan PR dulu, nanti Ayah temani tidur. Eyang Kung dan Eyang Uti biar istirahat, ya.”
“Kakek mau nunggu Ibu kamu di rumah sakit, biar Eyang Uti istirahat, besok bisa gantian lagi. Ayah bersiap ke rumah sakit, Mama membawakannya bekal makanan dan selimut tebal.
Aku memasuki kamar Caca, wangi yang sama tidak pernah berubah, aku mencari sisir di meja rias untuk putri kecilku.
“Nanti kita tidur disini saja, jangan di kamar Emma, Emma kangen Ibu.”
“Kalau begitu Ayah ganti seprei dulu,”
“Emma bantu?”
“Yups anak pintar,”
Aku menemukan buku agenda tebal, terjatuh ketika aku menarik seprei untuk menggantinya dengan yang baru.
Aku penasaran dengan isi buku itu, gambarnya sudah memudar tapi sangat begitu tebal. Aku buka halaman pertama, ada nama Caca di depan dan foto dia ketika masih berseragam putih abu-abu. Aku menutupnya dan meletakkannya di meja kerja dia. Aku mengganti seprei dan menemani Emma belajar. Masih sangat jelas bentuk buku itu, entah dorongan darimana yang pasti itu sangat kuat untuk membuka buku agenda itu.
Emma tertidur dan aku mulai menepi ke meja kerja Caca. Aku pandangi buku tebal itu dan aku buka tepat di halaman pertama sama ketika aku menemukannya pertama kali. Aku buka halaman berikutnya, dan aku sudah menduga kalau itu buku harian Caca.
Masa ketika di SMA, dia coretkan begitu lugas khas penulis cerita teenlit. Dia sangat ceria dan mampu berteman dengan siapa saja, tidak heran ketika dulu kuliah dia juga banyak teman dari semua jurusan ada, senior junior kenal dengan dirinya, dari beberapa kampus berbeda juga menjadi temannya.
Halaman lainnya, ada robekan kertas kusam tertulis ‘Kamu sudah pacaran berapa kali?’, Caca menempelkannya di satu halaman dan ada komentar dari dia, ‘Sekali dan itu indah, aku harap denganmu lebih indah lagi’. Aku tertawa kecil, kubuka halaman berikutnya, ada uang 1000 rupiah koin tertempel, di bawah koin itu ada tulisan ‘Ini dari kamu, siapa tahu bisa jadi mas kawin’. Aku juga tersenyum, entah sudah halaman ke berapa, aku tidak bosan membacanya. Hingga di satu halaman aku membaca ‘Aku jatuh cinta sejatuh-jatuhnya padamu pemilik hati malaikat. Sungguh aku meyukaimu karena Allah’. Dan di halaman-halaman berikutnya tertempel karikatur-karikatur dari sang lelaki itu dengan tersenyum, pusing berfikir rumus fisika, marah, lapar, menangis, Caca rapi menempelkannya. Aku fikir ini lelaki yang berbeda yang memberinya koin 1000 rupiah. Jam 1 malam, aku masih kehilangan rasa kantukku.
‘Mama aku jatuh cinta dengannya, teman satu kelasku. Dia pintar fisika, dia jago kimia, dia jago mengaji, dia suka menghafal Alquran di depanku, dia rajin ke mushola sekolah. Dia selalu mengajakku ke toko buku, dia juga pernah memberiku tumpangan ketika hujan deras ke sekolah. Dia yang berambut ikal ketika rambutnya agak gondrong.’
‘Mama dia yang suka mengajakku ke rental VCD dan kami nonton bersama, bioskop mini dekat alun-alun kota itu adalah tempat favorit kita. Kita punya film favorit, Waiting for Forever. Kita sudah menonton itu hampir 10 kali, dan akhirnya kita punya VCD itu dan ada lagu pengiringnya di handphone kita.’ Aku semakin teriris membaca kisah di bangku SMA Caca. Aku putuskan untuk tidur, jam dinding di kamar Caca sudah ada di angka 3.
Ketika melihat Emma sangat ceria pergi ke sekolah aku mengingat Caca yang sangat ceria, wajahnya sangat mirip dengan Caca.
Siang itu di kantor tidak banyak pekerjaan, aku membuka tas dan mengambil buku agenda Caca. Aku berharap ada namaku tertulis di lembar-lembar berikutnya.
‘Mama, aku kehilangan dia, dia kini ada di perguruan tinggi lain, tapi aku senang dia jadi anak teknik. Dia akan sangat gagah dengan titel sarjana tekniknya.’
Caca begitu detil menulis tiap hal yang terjadi di hatinya. Dan rasa penasaran siapa lelaki yang lama menghuni hati dan buku harian Caca terjawab ketika di satu halaman dia menulis, ‘Kamu, datang dengan dia yang kamu kenalkan sebagai sahabatmu, Faiz sahabat di bangku kuliahmu, kamu datang di kos dan dia membawa gadisnya. Kita pergi bersama ke pinggiran pantai di kota Semarang. Saat itu kamu teriakkan satu kalimat tapi Will aku tak mendengarnya, deru suara pesawat terbang tak membuat perkataanmu jelas’ airmataku menetes, Will, sahabatku, jadi dia adalah cinta terindahmu Ca, lirih aku berkata.
Pulang kerja aku mencari VCD Waiting For Forever, aku putar di kamar rumah sakit agar kamu sadar. Aku tak melihat ada tanda-tanda kamu akan bangun. Bahkan ribuan kali Emma memanggilmu kamu tak juga bangun.
“Ca, kamu tahu tidak? Will teriak apa ketika kita ada di pantai hari itu?” aku  menyeka airmata mencoba tegar, “Dia bilang, bagaimana kalau aku jadi pantaimu, tempatmu menepi setelah kamu lelah mengarungi laut biru.” Aku sesenggukan di tepi tempat tidurnya, monitor detak jantungnya meningkat, aku berteriak memanggil dokter jaga.
“Ca, kata dokter jantungmu normal dan otakmu mulai merespon di sekitarmu. Apa karena Will, apa karena aku bercerita tentang Will?” Aku duduk di depan tempat tidurmu, aku kembali membaca buku harianmu. Ayah dan Mama di rumah menjaga Emma.
Halaman berikutnya akan menyakitkan untukku, aku tahu tapi aku lebih ingin tahu yang terjadi denganmu.
‘Will aku sudah terima surat cinta itu dan aku sudah selesai menulis balasannya tapi aku ragu memberikannya untukmu, aku sulit berkata apa ketika memberikannya padamu.’ Ada surat terlipat manis dari Will, aku ragu membacanya dan di halaman berikutnya ada surat yang kamu tulis, Ca. Aku tak membaca kedua surat itu, aku takut aku akan mati berdiri membacanya.
‘Aku menangis lama ketika aku tahu kamu terbang ke Jepang, studi teknik mesin dan belajar kerja disana. Aku belum memberikan balasan suratmu.’
Aku tahu Will ke Jepang, tapi aku tak pernah tahu ada kisah cinta terindah yang kalian rangkai sebelum ini. Aku menemukan satu halaman yang dia tulis tentangku.
‘Aku menemukannya, dia lelaki yang baik, sungguh aku tak bisa mencintainya seperti caraku mencintaimu. Tapi kini dia adalah imamku dan kelak akan jadi Ayah anak-anakku. Kurelakan cinta pergi, dan kini aku rajut kembali cinta baru. Dia Faiz, yang datang dengan mimpi baru merajut kebahagiaan denganku. Dia lelaki dengan jenggot tipisnya dan  mampu membawa tawa di hari-hariku.’
Aku lega ada namaku juga di buku harianmu, ada cerita tentangku walau kini aku tahu cinta yang kamu beri sungguh berbeda. Ada halaman yang membuatku terkejut, ketika kamu melahirkan putri pertama kita, kita bertengkar karena nama, kamu nekat dan keukeuh memberinya nama Emma dan lewat buku harianmu ini aku tahu nama Emma adalah dari film favorit kamu dan Will. Kenapa dari dulu aku tidak sadar kalau ada cinta yang sangat kuat di hati kalian. Nama Eka yang kamu rubah dengan Will bukan karena Eka seorang pujangga layaknya William Shakespeare seperti sangkaan teman-teman kampus tapi dari kata Willy di film favorit kalian dan kamu mengartikannya ‘ingin’ dan harapan. Dan kami para sahabatnya jadi ikut memanggilnya Will. Nama anak kita itu juga nama kalian Emma Arsyaka, Arsya dan Eka.
Ya Rabb cinta macam apa ini, aku salah memilihnya untuk diriku dan aku lebih salah membuatnya tak berdaya diatas tempat tidur kehilangan kesadarannya. Bisikku lirih dalam hati.
Aku mencari semua informasi tentang Eka, aku kirim e-mail ke dia, aku berharap dia datang, dia masih di Jepang seperti foto yang tersimpan di buku harian Caca, ada sakura cantik menjadi latar belakang lelaki yang masih nampak muda.
“Hai Will, apa kabar kamu?” aku menjemput Eka di bandara, dia datang setelah aku jelaskan semua keadaan Caca.
“Baik Alhamdulillah, kamu? Apa kabar Caca?”
“Baik dari luar entah ada bara apa yang dia simpan hingga dia tak mau bangun, dia kangen denganmu mungkin, karenanya dia nunggu kamu datang.
“Kamu ada-ada saja,”
“Tengoklah dia kawan, mungkin berbeda keadaan jika kamu yang menungguinya di rumah sakit.”
Aku mempersilahkan Eka mendekati tempat Caca terbaring, Caca sudah bebas jadi aku tak bisa melarang Will ada di dekatnya.
“Ayah, siapa Om ganteng itu?”
“Dia dokter hebat buat Ibu, ayo kita keluar.”
Aku melihat Eka membacakan buku-buku humor dan dia juga membaca Alquran untukmu Ca. Ku dengar dia belum menikah, dia masih lajang atau mungkin dia menunggumu. Dia tahu benar apa kesukaanmu, dia bawa bunga lily putih dan cerita tentang hujan dan pelangi. Tiap pagi dia membisikkan sesuatu di telingamu, aku tak tahu apa itu. Tapi aku tahu itu pasti akan membuatmu sadar.
“Om  ganteng, kalau aku besar nanti maukah kau menikah denganku? Atau kau lebih suka Ibuku?”
“Yah aku lebih suka dengan Ibumu, kamu mau apa?”
“Apa aku tidak lebih lucu dari Ibuku?”
“Tidak, kamu lucu tapi Ibumu lebih lucu, dia suka makan kentang rebus dengan kecap, dia suka hujan-hujanan.”
“Kau tahu Ibuku? Apa kau malaikat yang akan menolong Ibuku?”
“Iya mungkin, sini...” Will kulihat memangku Emma “Nama kamu adalah nama favoritku dan Ibumu, lihatlah dia, sekalipun dia tidur seperti itu dia tetap cantik.”
“Ibuku memang cantik sama sepertiku,”
“Ahh yang benarrrrrr,” Will mulai akrab dengan Emma, mereka bercanda.
Hari-hari berlalu, sudah hampir 3 minggu Caca masih tidak sadarkan diri, apa aku yang terlalu egois memintanya untuk sadar dan menyelesaikan semua urusannya. Kembali aku berani membuka buku harian Caca, tepat di halaman terakhir, tertulis besar dan rapi ‘Say Hello For Me Mr.Will’. aku lalu kembali ke surat yang ditulis Eka untuk Caca. Aku menyiapkan hatiku untuk tahu kisah yang mereka pendam di hati.
Aku lunglai, Eka benar-benar inginkan Caca ketika itu dan aku hadir ketika cinta mereka harusnya bersemi.
“Kamu bodoh kawan, harusnya kamu katakan padaku hingga aku bisa menjaga cintamu itu,” aku melipat surat yang masih sangat rapi itu dan meletakkan ke tempat asalnya.
Aku bergetar mengambil surat balasan Caca, aku berfikir ada ribuan kata cinta yang akan dia baca dari Caca untuk Eka.
Surat Caca
Aku menangis membaca surat Caca, dia menulis dengan sepenuh hatinya, goresan dan kata-katanya sangat dalam.
Di rumah sakit melihat Eka begitu telaten menemani Caca, aku sangat ikhlas jika mereka bersama. Eka hanya mengajak bicara Caca dan sesekali dia mengontrol infus atau monitor-monitor di samping tempat tidur Caca.
“Apa ada perkembangan baik?” aku mendekat ke arah Eka, ke sisi lain tempat tidur Caca.
“Tadi waktu Tahajjud, jari Caca bergerak, setelah subuh dia seperti merintih,”
“Oya? Lalu?”
“Kata dokter itu baik untuk perkembangannya, asal dari diri dia ada semangat untuk hidup, hasil scan kepala menunjukkan pendarahannya berhenti dan gumpalan darahnya juga sedikit demi sedikit menghilang.”
“Benar yang aku bilang, dia itu menunggu kamu datang,”
“Kamu ini, dia berjuang demi anaknya juga,”
“Kamu bodoh Sob, dia itu benar-benar menunggu kamu, apa kamu mau kehilangan dia lagi?”
“Aku ikhlas apapun yang terjadi dengannya, aku tidak bisa memaksa dia untuk tetap di dunia ini dan menyelesaikan urusannya denganku, aku terlalu egois jika menginginkan itu. Jika dia harus pergi sekalipun aku merasa jadi seseorang yang beruntung ada di dekat dia,”
“Apa kamu tidak mau dia sembuh?”
“Apa aku bisa memaksa dia untuk sembuh?”
“Kamu bisa membuatnya berjuang untuk hidup,”
“Aku hanya seseorang yang pernah memilikinya,”
“Tiap pagi kata yang aku bisikkan pada Caca adalah Hello, aku disini menunggumu selamanya, kau tahu suamimu itu sangat baik tapi kenapa kamu masih saja cinta kepadaku? Aku butuh penjelasan so kamu harus bangun kasih penjelasan itu ke aku atau aku akan pergi lagi,”
“Ya, jika dia tidak bangun maka sebaiknya kamu pergi,”
Eka tercengang menoleh ke arahku. Aku harus mengatakan itu untuk membuat Caca berjuang.
“Di hari perceraian kita, dia menulis di sebuah buku kalau dia beruntung pernah memilikiku,”
“Dia seseorang yang hebat, dia beruntung memilikimu dulu dan kini,”
“Hanya dulu itupun dulu dia tidak benar-benar memilikiku,”
“Kamu tahu apa tentang hatinya?”
“Hanya dia yang tahu, dia kini juga membawa rahasianya itu,” aku mengambil secarik kertas terlipat rapi dari saku celana, surat dari Caca. “Ini, kamu bisa tahu isi hatinya dan seluruh dunianya ada padamu,”
“Apa ini?”
“Ingatkah dulu kamu kirim surat ke dia? Dia belum membalasnya, dia takut pada dirinya sendiri, pada hatinya,”
“Apa?” Eka mulai membuka kertas itu dan merangkai tiap huruf dan kalimat di dalamnya.
Aku melihat ada senyum kelegaan di wajahnya, seperti ada beban yang lepas dari kepalanya.
Aku melihat airmata jatuh di sisi mata Caca.
“Will, lihat!”
“Ca, Caca kamu disini?”
“Aku panggil dokter,”
“Dok, tolong Caca,”
“Ya, saya periksa dulu,”
“Ca,” aku lihat Eka membelai lembut kepala Caca dan membisikkan sesuatu, entah apa itu aku tidak tahu.
“Will,”
“Hello Ca, aku disini, tenanglah... semua akan baik-baik saja,”
Caca hanya mengangguk pelan, aku telfon Ayah dan Mama. Mereka seperti melepas rasa rindu yang teramat sangat membuncah di dada mereka. Aku biarkan saja, aku menepi dari mereka.

17-23 Juni 2012, D’Oren Room Bjn


0 comments:

Posting Komentar