Senin, 18 Oktober 2010

--Di siSA HATI--

Di Sisa Hati



Dia ada dalam mimpiku, pun karena ingin atau tak inginku

1
Dia Memasuki Hidupku


“Saya nikahkan...” suara itu menggema di telingaku. Hari paling sakral dalam hidupku. Aku menikah dengan seorang gadis hanya karena aku telah mencuri pandang terhadapnya. Bukan karena itu saja mungkin, tetapi karena kedua orangtua kami ternyata saling mengenal. Di sebuah kereta, mereka ternyata teman lama. Teman semasa kuliah dulu.
Aahhh hidup terkadang membuat pelakonnya menjadi gila, susah untuk mengerti dan selalu bisa membuat ucap tak berarti.
Aku tak melihatnya, gadis manis tempo hari yang kulihat di salah satu gerbong kereta api menuju Yogyakarta.
Dadaku membuncah, gadis seperti apa dia. Apakah hanya manis wajahnya? Apakah tutur dan lakunya juga manis. Dadaku membuncah saat harus melafaz ijab. Seperti Fahri dalam Ayat-Ayat Cinta yang menikah dengan Aisyah. Gemuruh senandung “maafkan jika kutak sempurna, cinta ini tak dapat kucegah... Ayat-Ayat Cinta bercerita cintaku padamu...” senandung dari Rossa mengiring langkah Fahri menikahi Aisyah. Kali ini aku yang harus mengalaminya, film yang aku tonton 2 minggu yang lalu dan hampir 5 kali aku tonton tetapi masih saja ada getar hangat yang tersisa.
Dua jam...
Ya dua jam kemudian aku melihatnya, wajah santun dan manis serta lembutnya aku lihat jelas tanpa sekat apapun. Sungguh jika bidadari ada di bumi, mungkin dia salah satunya. Tapi mungkin saja itu semua kamuflase. Mungkin dia punya kekurangan, ya satu atau bahkan seribu kekurangan. Tapi aku belum mengenalnya lebih dalam, nanti pasti aku akan lebih mengenalnya.
Ya Allah... apa ini anugerah atau cobaan yang berat. Memiliki istri saat usiaku belum genap 20 tahun. Saat aku masih ingin bermain dengan segala kenakalan masa remajaku.
Apa dia akan bermanja dan mengharap lebih dariku, pelakon hidup tanpa sepeser uang di akhir bulan. Yang harus bekerja paruh waktu saat akhir bulan demi uang praktik mingguan. Membeli banyak peralatan praktikum. Harus membeli kertas dan lembur membuat tugas pemprograman.
Apa dia mengharap aku selalu ada 24 jam untuknya. Harus menemaninya nonton film di bioskop atau sekedar jalan-jalan di mall. Aku rasa tidak, dari gaya gadis itu dia sangatlah jauh dari kesan gadis hura-hura.
Semoga...
Dia seperti bidadari, tak banyak menyusahkanku kelak. Amin. Kini dia akan mengisi dan masuk dalam hidupku selamanya.




2
Cinta tak Berpihak pada Kami

“Jadi kita sama-sama anak Politek??”
Aku terkejut bukan kepalang, gadis yang baru beberapa jam lalu aku nikahi ternyata teman satu kampusku. Bahkan lebih gila lagi atau karena dunia sempit bukan main. Dia adalah salah satu anggota UKM PP, kita satu organisasi walaupun beda bidang.
“Kamu tidak memberitahu siapa-siapa??” gadis yang berstatus istriku duduk di depanku dan bertanya lugu.
“Tidak...” aku lunglai menjawab gadis di depanku, lututku masih gemetar mengetahui fakta yang terjadi baru saja.
“Ooohh... aku panggil apa?? Mas, Abang, Aa’ atau...”
“Mas saja... Mas Rozaq, kita Orang Jawa jadi panggil mas saja”
“Ya... panggil saja aku Quinsa...”
“Oh ya” hampir saja aku lupa nama istri baruku, padahal saat ijab tadi aku begitu lafal menyebutnya.
“Jadi Mas Rozaq teman satu kelas Opit?? Dia dulu teman SMA saya”
“Oh ya... dia anak yang pintar, dia teman satu kos saya”
“Oya?? Dia tidak pernah cerita tentang Mas Rozaq??”
“Ohh jadi kalian sering berbincang??”
“Iya... terkadang bertemu di Forum”
“Ohh...”
“Nanti apa kita tinggal satu rumah??”
“Iya... pasti, Ayah sama Ibu sudah mempersiapkan rumah. Walaupun kecil tapi karena kita baru memulai, itu lebih baik”
“Ya... boleh saya keluar??”
“Ya... silahkan”
Ya Allah, dia manis, gayanya lincah dan sosialisasinya baik. Dia sangat terlihat cerdas, sosok Ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak. Aaahhh... anak-anaknya?? Yang pasti anak-anakku juga. Hehehehe... tapi itu akan lama dinanti.
“Rozaq, kok di kamar terus, temani tamu-tamu di luar”
“Iya... Bu” Ibu membuyarkan lamunanku agar tak terlalu jauh dan melewati batas alam fikirku.
Pernikahan Cinderella ini berakhir, aku akan bertanggungjawab sepenuhnya atas diriku dan keluarga kecilku.
“Apa karena Mas Rozaq mencintai Quinsa hingga mau menikahi Quinsa??”
“Tidak... aku mencintai Allah dan aku mencintai Ibu dan Ayahku”
“Apa tidak akan menyesal jika nanti ternyata aku tidak sesuai harapan??”
“Itu lebih pada rasa tulus yang mau menerima seseorang dengan segala kurangnya. Aku juga mungkin banyak kurang di mata Quinsa”
“Aku rasa Mas Rozaq banyak lebihnya”
“Iya... kata teman-teman lebih ganteng dan manis...”
“Apa?? Itu kata Mas sendiri...” aku mendengar tawanya yang lembut tapi tak berani untuk menatap wajahnya.
Quinsa ada di sampingku, tidur satu tempat dan kelak akan berbagi hati dan duka.
“Apa nanti akan mengumumkan kepada teman-teman kalau kita sudah menikah??”
“Jika mau Quinsa begitu, ya tidak apa?? Nanti kita adakan syukuran saja di rumah baru kita”
“Itu terserah Mas Rozaq saja”
“Tapi nanti kalau aku punya uang lebih”
“Lalu kapan aku diajak ke Solo??”
“Memangnya mau lihat apa?? Tidak ada yang menarik disana. Sudah banyak modernisasi yang masuk ke alam fikiran rakyat disana”
“Bukankah itu baik??”
“Tapi jika tak sesuai akan sedikit terlihat dipaksakan. Yang melihat pasti tak nyaman”
“Banyak batik dan tempat-tempat sejarah disana”
“Memangnya hanya mau lihat batik?? Di Pasar Johar juga banyak”
“Itu kelebihan Mas Rozaq”
“Apa?”
“Suka berargumen dan banyak alasan”
“Ohh... itu bawaan lahir, cerewet untuk ukuran lelaki. Kelebihan Quinsa juga, cerewet, banyak tanya”
“Jadi kapan??”
“Apa?? Ke Solo?? Nanti... jika ada libur panjang. Aku ajak keliling Solo. Tapi jangan ke Mall atau pusat belanja”
“Ke Pasar Klewer??”
“Ya boleh... perempuan memang selalu suka belanja”
“Lelaki juga...”
“Apa?? Kecuali Mas”
“Jadi kenapa mau menikahi Quinsa?? Jika bukan karena cinta, lalu apa??”
“Karena Allah”
“Allah menjadi yang terbaik di hatimu??”
“Iya...” aku menatapnya, mencoba meyakinkannya. “Lebih dari apapun” aku langsung berpaling takut nanti kenapa-kenapa.
“Kalau begitu aku percaya”
“Ya... tidurlah besok harus memindahkan seluruh dunia kita dalam rumah kecil kita”
“Tapi dekat.... santai saja”
“Tapi banyak yang harus kita benahi”
“Iya... selamat tidur... Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam...” aku jawab sambil mengangkat selimut menutup seluruh tubuhku.
Tak ada cinta antara kami, ada banyak hal yang akan terjadi. Entah akan menjadi indah atau menyakitkan. Semua fikirku berputar di kepala dan dikegelapan di bawah selimut.
Akan ada banyak hari yang menyenangkan bersamanya. Amin.

3
Rumah Kecil tanpa Cinta

“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam...”
“Akhirnya... sampai juga di rumah sendiri... apa barangmu tidak ada yang tertinggal??”
“InsyaAllah tidak, Ibu sudah mengambilnya dari kemarin”
“Ooh syukur, aku hanya bawa baju-baju dan komputer jinjingku ini. Dan hanya bawa Allah di hatiku”
“Amin...”
“Aku juga tidak banyak bawa barang... Mas Rozaq kita atur perabotnya sekalian hari ini”
“Iya terserah kamu saja”
“Apa film yang terakhir Mas tonton??”
“Hhhmmm kalau nonton di bioskop tidak pernah sejak SMA. Terakhir saat SMP mungkin, film apa?? Aku lupa...”
“Kalau yang paling baru??”
“Sebelum menikah aku menonton film Ayat-Ayat Cinta lalu aku nonton Night at the Museum 2 dan Transformer”
“Oohh... tidak suka olahraga??”
“Hmmm...” aku menggelengkan kepalaku.
“Aku menonton film Garuda di Dadaku dan King”
“Ohh... katanya bagus, menyentuh para orangtua”
“Iya... wajib, terkadang orang dewasa seperti kita juga perlu belajar dari anak-anak”
“Orang dewasa?? Apa Quinsa sudah dewasa??”
“Sudah... buktinya sudah menikah dengan Mas Rozaq” kudengar tawanya.
“Nanti langsung ingin kerja atau kuliah lagi...”
“Kalau ada biaya ya maunya sekolah lagi... kalau tidak belajar di rumah, mengurus suami dan anak itu juga pekerjaan mulia... memanfaatkan ilmu juga...”
“Iya... InsyaAllah nanti kalau ada rizki lebih kita lanjutkan kuliah kita”
“Amin...” kulihat Quinsa mengamininya dengan tulus.
“Ini ditaruh dimana??”
“Di ruang tengah saja...” sambil menunjuk ke arah ruang tengah. “Eiitt Mas Rozaq menonton film dimana??”
“Bukan di kos pastinya... bercanda... di kos, kalau filmnya bukan yang aneh-aneh masih bisa menonton. Butuh keseimbangan”
“Ohh... apa suka memasak??”
“Iya terkadang suka bantu Ibu...”
“Berarti nanti bisa buat makanan untuk Quinsa”
“InsyaAllah...” aku tersenyum pada istriku.
“Jangan menatapku seperti itu...”
“Takut nanti suka sama Mas, ya??”
“Mas Rozaq terlalu mempesona nanti aku jatuh cinta bagaimana?”
“Biar saja... banyak yang suka sama Mas Rozaq”
“Wahh percaya...”
“Jangan percaya sama Mas Rozaq nanti musyrik, percaya sama Allah SWT”
“Mas Rozaq bercanda saja...”
“Nanti aku bantu kamu bersih-bersih setiap hari”
“Iya... mohon bantuannya...”
Aku melihatnya begitu lembut, seperti kapas yang diterbangkan angin. Dia bidadari di rumah ini, sifat negatifnya belum kulihat kecuali cerewetnya yang suka banyak bertanya. Gaya tidurnya juga luar biasa bebas, hampir tak menyisakan tempat untuk orang di sampingnya.


4
Cinta tak Tertasbihkan

Hari ini adalah untuk pertama kalinya ke kampus setelah pernikahanku. Lebih teratur, pagi ini aku yang masak nasi goreng untuk sarapan keluarga kecil kami.
Dia bangun pagi sekali sebelum subuh dan sudah membersihkan seisi rumah. Waktu aku tinggal untuk menyiapkan tugas-tugasku ternyata ku lihat dia tertidur di ruang tengah, tepat di meja komputernya.
Aku tak tega membangunkan wajah tanpa noda itu. Setelah aku merasa semua sudah siap, aku baru membangunkannya.
Hari ini mengiringi langkahnya, aku ke kampus satu jalan. Rumah kami di Perumda dan kami lewat gerbang utama Jl. Prof Sudharto, kami rasa itu lebih dekat dengan kelas kami.
“Kita berpisah disini... selamat kuliah Quinsa”
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam”
Aku sampai ke gedung kuliahku dulu, dia masih harus berjalan menuju gedung perkuliahannya. Rasanya tidak tega, tapi itu sudah biasa. Tak ada yang dimanjakan dengan naik motor diantara kami sebelum kami menikah.
“Hai... bukankah itu Quinsa??”
“Iya... teman SMA kamu, bukan??”
“Iya... kenal dimana??”
“Di lorong Langit...” aku jawab sekenanya.
“Bercanda...”
“Dia anak dari teman kuliah Ayahku”
“Ooohh, bisa dijodohkan suatu saat nanti...” aku hanya tersenyum, pemikiran Opit benar. Maaf aku belum berani bilang hilangnya aku dari acara Up Grading karena aku menikah. Ya menikah dengan Quinsa anak dari teman kuliah Ayah dan Ibuku. Nanti akan aku ceritakan, Sob. Aku janji fikirku dalam hati.
“Ayo masuk... ada tugas apa hari ini??”
“Dia cantik dan baik...” Opit mengalihkan perhatianku lagi kepada Quinsa. Ini cobaan pertama punya istri cantik batinku dalam.
“Apa dia galak juga??”
“Iya... kalau sudah tersakiti wajahnya yang lembut akan terlihat galak tapi tenang saja dia tetap cantik. Tidak ada makian hanya pujian yang keluar dari mulutnya. Kalaupun dia marah pasti hanya mengomel... biasa perempuan”
“Istighfar Pit... ngomongin orang pagi-pagi seperti ini!”
“Astaghfirullah... ini gara-gara Quinsa dan kamu Zaq”
“Kok saya??”
“Ya... kalian berjalan bersama dan saling menyapa”
“Karena perempuan... karena kecantikan duniawi saja. Berhati-hatilah...”
“Bukankah rasa cinta itu fitrah??”
“Sudahlah sejak kapan kita berdebat tentang cinta seperti tidak tahu ilmu saja”
Aku menyudahi percakapan yang membuatku semakin terpojok pagi itu.
Mata kuliah yang menyusahkan, terkenal ini sampai senior-senior dulu. Jadi pusing dengan tugas-tugas yang diberikan.
“Quinsa di posko juga??”
“Iya... Mas Rozaq sudah selesai kuliahnya??”
“Iya...” aku lemas melangkahkan kaki ke posko UKM PP yang terlihat bersih dan lebih teratur. “Kemana semuanya kok sepi, ini jarang terjadi”
“Ada yang sholat dan ada yang makan di kantin”
“Ohhh...” aku membaringkan tubuhku di lantai kebetulan ada karpet tergelar rapi untuk persiapan rapat nanti. Memejamkan mata sejenak dan menarik nafas panjang. Saat aku buka mata betapa terkejutnya aku, ada Quinsa yang sudah memandangiku tanpa ragu.
“Lelah, ya??”
“Kenapa?? Ada yang aneh dengan wajahku?? Nanti ada yang lihat bisa jadi skandal dan pergunjingan”
“Maaf...” terlihat sedikit kecewa.
Aku memalingkan tubuhku dan membelakangi Quinsa. Tiba-tiba ada yang masuk dan aku sigap ke posisi duduk. Quinsa sudah di depan komputer.
“Maaf... mengganggu...”
“Ohh... tidak... tidak ada orang jadi aku melepas lelah tadi. Kami tidak ada apa-apa. Dia hanya teman, kami berteman baik”
“Oh saling mengenal rupanya?? Saya fikir kalian beda bidang dan tidak saling kenal”
Aku melihat sejenak ke arah Quinsa, terlihat raut wajahnya berubah, berbeda saat pertama tadi dia melihatku.
Pulang bersama dan Quinsa hanya diam saja tanpa bicara. Wajahnya muram. Aaiiiihhh... apa itu yang dibilang Opit, wajahnya tetap cantik tapi dengan raut yang berbeda. Seperti singa yang ingin mengobrak-abrik kandang calon mangsanya.
Apa yang salah, aku fikir aku tak menyakiti hatinya. Atau... ah apa karena tadi aku bilang kami hanya teman, bukan menganggap dia istriku.
Aduuuhhh kalau itu masalahnya, bisa perang dunia ini. Maaf Ya Allah, aku menyakiti istriku untuk pertama kalinya.


5
Riak Berarak

“Oya... mulai minggu ini peraturan harus ditegakkan. Mencuci pakaian giliran Mas Rozaq tiap hari Kamis, dan saya tiap hari minggu. Setiap pagi ada piket menyapu dan mengepel lantai dari depan sampai belakang rumah, nanti jadwalnya saya pasang. Kalau urusan dapur itu urusan bersama jadi harus saling membantu. Tiap bulan ada piket bayar rekening air, listrik dan telepon. Dan yang utama dilarang ngutak-atik komputer di meja itu”
Quinsa menunjukkan kekuasaan penuh saat itu, aku hanya diam tanpa kalimat. Pagiku langsung dibangunkan bidadari yang membawa garpu.
“Aku memasang modem internet, kalau Mas Rozaq butuh sewaktu-waktu bisa pakai juga”
Aku tersenyum lega ternyata masih ada kebaikan sedikit di hati Quinsa.
“Tapi jangan lupa bayar, buat bayar tagihan, ada kotak uang di dekat printer. Dan kalau mau memakai printer bayar juga, satu lembar 200, internet 5000 per satu jam. Ada pertanyaan??”
“Hmmm... kenapa tiba-tiba ada aturan seperti ini?”
“Biar rumahnya teratur dan biar ada rasa saling menghargai”
“Ya sudah... terserah Quinsa saja”
Aduuhhh, mungkin itu salah banyak kejelekannya yang baru aku tahu. Suka mengatur dan sedikit galak. Hidup kedepan sejak hari ini akan benar-benar teratur.
Aku menunduk lemah... aku yang salah, pagi ini ke kampus dengan muka kusut seperti kain pel yang baru diperas.
“Sob, kenapa??” Opit menatapku di bangku kelas.
“Tidak apa??”
“Wajah kamu menunjukkan kalau kamu kenapa-kenapa”
“Apa setiap perempuan akan benar-benar suka mengatur saat hatinya tersakiti??”
“Wah... kenapa?? Kamu sedang memikirkan perempuan mana??”
“Tidak ada”
“Ayolah...”
“Jawab dulu pertanyaanku...”
“Mungkin, tergantung dari sifatnya. Terkadang ada yang sampai memaki. Tapi itu sedikit kan? Hati seorang perempuan adalah selembut salju”
“Quinsa?? Bagaimana dengan dia??”
“Quinsa??”
“Iya Quinsa??”
“Apa hubungannya?? Tunggu dulu, kamu bertanya tentang Quinsa jangan-jangan kamu ada apa-apa??”
“Jangan ngarang, aku hanya ingin tahu saja”
“Setiap lelaki boleh jatuh hati padanya, dia toh bebas sekarang belum terikat siapapun. Dan wajar kalau kamu suka dengan Quinsa. Dari dulu banyak yang suka tapi dia adalah perempuan yang teguh pada agama dan akhlaknya baik. Ada banyak perempuan kenapa kamu tanyakan tentangnya??”
“Tidak... pagi ini ada yang marah-marah sama aku”
“Siapa?? Apa Quinsa??”
“Bukan siapa-siapa...”
Aku tak tenang pagi ini, takut nanti ada apa-apa terjadi pada pernikahanku. Aku jadi hilang konsentrasi, kuliah hari ini tak masuk di otakku... akalku tak lagi di tempat.
“Zaq, kamu pindah kemana?? Kok tidak ajak kami main ke tempat baru kamu??” aku tergagap saat ditanya Opit tiba-tiba.
“Belum waktunya... nanti saja lagipula masih berantakan...”
“Benar, ya??”
“Iya...”
“Ya sudah jangan pasang muka kusut lagi, tidak baik nanti kalau ada perempuan manis lewat yang tadinya mau suka eh tidak jadi gara-gara wajah kusut kamu itu” Opit tertawa diikuti yang lainnya.
Hwaahhh aku sudah ada yang punya, mana mungkin ada yang suka. Kalaupun ada, aku lebih memilih untuk memiliki Quinsa sepenuhnya karena dia yang Allah titipkan jadi pendampingku. Semuga selama hidupku mampu kujaga rasa untuknya, bidadariku.



6
Ada Semat Pujian

“Jangan terlalu banyak baca buku fiksi!!”
“Biar saja kan kata Mas Rozaq butuh keseimbangan...”
“Ya tapi jangan terlalu sering, apa tidak ada tugas kampus??”
“Tidak... kalau ada juga aku pasti sudah mengerjakannya...Mas Rozaq sendiri apa tidak ada tugas??”
“Ada, banyak... memangnya Quinsa mau bantu Mas Rozaq??”
“Ya apa Quinsa bisa??”
Suasana hening sejenak, hanya suara siaran berita dari televisi dan jalanan sekitar kos yang ramai. Mungkin anak-anak kos yang keluar mencari makan atau apel ke tempat pacar.
Aku bingung dengan tugasku yang menumpuk, walaupun bukan untuk esok pagi tapi kalau tidak dimulai sekarang akan menumpuk lagi. Apalagi Politeknik terkenal kalau mau ujian tengah semester atau ujian akhir semester pasti banyak tugas.
“Kerjaan Mas Rozaq salah...”
“Apa??”
“Iya... Quinsa melihat dari tadi” ternyata istriku ini tidak sepenuhnya mengacuhkanku.
“Mas Rozaq kurang paham yang bagian mana? Kalau tidak paham dari awal akan salah hingga akhir”
Aku pasrah menunjuk bagian-bagian yang kurang aku pahami. Memang aku sering tidak memperhatikan akhir-akhir ini, gara-gara Quinsa yang mengacuhkanku.
Ternyata istriku sangat baik dan pintar. Ya Rabb aku akan sangat tersiksa jika kehilangan dia.
“Mas Rozaq mulai buat disini...”
“Iya... Mas paham, Quinsa belajar darimana??”
“Apa mas Rozaq perlu tahu??”
“Kalau boleh tahu??”
“Dari adik, Erlangga sering ikut kursus dan mengajari saya, jadi beberapa program saya bisa...”
“Ohh kamu pintar...”
“Terimakasih... dapat traktiran??”
“Iya... besok pagi aku yang masak buat kamu....bagaimana??”
“Yach bilang saja tidak mau traktir...”
“Iya... nanti, Mas sedang banyak tugas, ngomong-ngomong Quinsa tadi menyentuh Laptop Mas, bagaimana??”
“Oh tidak boleh, ya?? Maaf...”
“Tidak Mas hanya bercanda, Mas juga tidak boleh menyentuh komputer kamu, hanya bisa pakai printer dan internet saja”
“Iya boleh pakai tapi jangan sampai buka file yang tidak-tidak”
“Memangnya ada ya file yang tidak-tidak??”
“Mas Rozaq juga banyak tanya ternyata!!!”
“Kok tidak dijawab tadi pertanyaan dari Mas??”
“Perlu, ya??”
“Ya sudah kalau tidak mau jawab...”
“Tidak ada file yang tidak-tidak. Quinsa hanya ingin ada hal pribadi yang hanya milik Quinsa sendiri”
“Mas Rozaq juga tahu itu... Quinsa tidak perlu khawatir. Apa Quinsa masih marah sama, Mas??”
“Marah kenapa?”
“Hanya Quinsa yang tahu kenapa Quinsa marah sama Mas Rozaq”
“Soal aturan di rumah kita ini, ya??”
Aku hanya mengangguk, menatap Quinsa yang sedari tadi tak tenang duduknya.
“Aturan itu... Quinsa hanya ingin Mas Rozaq menghargai Quinsa sebagai seseorang di rumah ini. Seorang istri bukan seperti baju yang jika bosan bisa diganti. Seorang istri adalah wanita yang diciptakan dari tulang yang dekat dengan tangan untuk dilindungi dan dekat dengan hati untuk dicintai”
Kata itu menusukku, ternyata selama ini dia hanya ingin pengakuan yang jelas atas dirinya. Dan aku terlalu jadi pengecut untuk mengakui dirinya.
“Quinsa merasa Mas Rozaq menyakiti hati kamu??”
“Iya...”
Satu kata tapi menusuk jantungku yang tak lagi berdetak dengan tenang. “Mas Rozaq minta maaf pada Quinsa”
“Quinsa sudah memaafkan sebelum Mas Rozaq minta maaf”
“Ikhlas??”
“Jangan tanya ikhlas... hanya Allah yang tahu. Buktinya Quinsa masih di rumah ini menemani Mas Rozaq”
“Kita disini karena Allah, InsyaAllah Mas Rozaq akan jaga Quinsa semampunya Mas”
“Quinsa juga akan jaga Mas semampunya Quinsa. Biar Mas Rozaq cinta sama Quinsa”
“Allah Maha Kuasa membolak-balikkan hati”
“Amin... Quinsa mau mengamini doa Quinsa sendiri” kulihat Quinsa tersenyum dan menatapku lembut. Aku juga mengamini doa kamu, apapun doamu, istriku, ratuku. Amin. Aku lihat dia berjalan ke dapur dan aku selesaikan tugas-tugas kampus lagi. Ternyata inilah rizki setelah menikah, ada yang membantu saat susah membuat tugas dan saat hati sedang gundah. Ada yang memberi kenyamanan dan rasa hangat di hati.


7
Tawa pada Kisah Lalu

“Nanti, jangan macam-macam!! Acara seperti ini biasanya dijadikan acara bebas”
“Harusnya Quinsa yang mengatakan jangan macam-macam!!”
“Ya sudah nanti aku akan menjagamu...”
“Itu kewajiban Mas Rozaq”
“Kamu berangkat dengan siapa ke Posko??”
“Nanti jalan saja... dekat”
“Nanti aku bersama Opit”
“Ya sudah kalian duluan saja”
“Kita sama-sama”
Aku tegas mengatakan, sekalipun nantinya Opit akan berfikir macam-macam.
“Zaq, eh Quinsa?? Berangkat bersama juga??” Opit dari jauh sudah melambaikan tangan menyapa kami.
“Iya...” Quinsa membalas dengan senyum.
“Naik truk apa tidak apa-apa??”
“Tidak apa, biar bisa melihat pemandangan di jalan”
“Wah kamu ini jiwa petualangnya masih sama seperti saat SMA dulu”
Aku hanya tersenyum sesekali mendengar cerita-cerita mereka berdua semasa SMA. Aku melihat keakraban mereka yang tidak dibuat-buat. Quinsa sepertinya merasa nyaman berbincang dengan Opit.
“Naik truknya jangan berebut!!” ketua panitia LKMM kali ini memberi instruksi.
Hati-hati kita bertemu di tempat yang dituju
Aku kirim sms untuk Quinsa, acara pertama kami pergi bersama. Apa yang bisa aku lakukan, semua tidak tahu kalau kami sudah menikah.
Sesampai di tempat pelaksanaan LKMM, kami semua tidur dalam satu barak. Tentu saja lelaki dan perempuan dipisahkan ruangannya dan kamar mandinya.
“Kalian mendaftar disini sama-sama??”
“Tidak, baru tahu saat bertemu di Ospek dulu. Anak buangan SPMB” Opit menimpali pertanyaanku.
“Kenapa harus ke Polteknik?? Tidak Undip?? Yang lebih punya nama?”
“Ya, Allah bilangnya di Politeknik...” Opit menambahkan.
“Itu bicara takdir, Pit!! Apa kalian tidak punya keinginan lain”
“Quinsa anaknya pintar dan hampir dipastikan tidak pernah masuk rangking 10 besar alias selalu masuk 5 besar. Dia tidak memilih UGM atau Undip itu karena Allah sudah memilihkan yang terbaik”
“Soal keinginan, yang terpenting adalah ingin yang terbaik buat kami, dan ini InsyAllah yang terbaik dari keinginan kami dan jalan dari Allah. Di Politeknik juga banyak yang bisa kami dapat, belum tentu di tempat lain kami dapat”
“Betul, Zaq! Misalnya kamu bisa kenal Quinsa, aku juga bisa kenal kamu”
Aku tertegun saat Opit mengatakan bahwa aku bisa mengenal Quinsa. Pit, andai saja kamu tahu Quinsa itu istriku yang aku kenal di kereta jurusan Jogja.
“Kalian panitia kenapa tidak konsentrasi berjaga di pos??” satu panitia inti inspeksi.
“Kami konsentrasi...” Opit berkeras tidak merasa salah.
Selesai kelompok terakhir menuju pos kami, akhirnya kami ke pos berikutnya untuk sampai di pos akhir.
“Quinsa mana??”
“Tadi dibelakang...” Opit menengok ke belakang tapi tidak ada sosok Quinsa.
“Aku akan cari”
“Wah kamu sepertinya mulai memperhatikan Quinsa dengan lebih, Zaq?!”
“Kamu ini kalau bercanda jangan kelewat batas”
“Maaf... ya sudah kamu cari Quinsa dan jangan macam-macam!!”
“Tidak akan!!” aku bisa saja macam-macam, tidak ada yang melarang, itu hak untukku. Dia istriku yang sah.
“Kenapa menyusul?? Aku sedang melihat bapak ini membuat gulali”
“Quinsa... kamu ini ada-ada saja” aku melihatnya jongkok di depan penjual gulali dekat sebuah sekolah dasar.
“Ini bagus, sudah jarang ada penjual gulali seperti waktu kita kecil dulu”
“Ayo jalan...”
“Nanti dulu, tadi aku mau lihat bapaknya buat kura-kura”
“Kenapa tidak beli??”
“Aku tidak punya uang...” Quinsa tersenyum miris melihatku di udara yang panas.
“Ya sudah pesanlah, biar nanti aku yang bayar”
“Benar?? Kalau begitu aku pesan 2, aku mau bentuk gitar. Kamu mau bentuk apa, Mas??”
“Apa saja... nanti juga masuk perut...”
“Huuhhh...” Quinsa sedikit mendorongku, dia mungkin ingin menjaga perasaan bapak yang berjualan. Tidak semua orang bisa membuat gulali dengan bermacam bentuk.
“Maaf...”
“Buatkan dia hati yang terpanah...”
Setelah pesanan jadi, kulihat betapa bahagianya raut wajah itu. Quinsa juga tersenyum girang seperti mengolok-ngolokku.
“Bentuk hati ini biar kamu merasa cinta itu manis jadi kamu bisa jatuh cinta...”
“Bercanda...”
“Hoho...” satu kata keluar dari mulutnya yang tak mewakili apapun yang terjadi diantara kami.






8
Riak Semakin Besar

“Bercanda... nenek sakit apa?? Nenek tidak pernah sakit selama ini, beliau selalu menjaga kesehatannya”
“Rozaq, adakalanya manusia hanya manusia. Nenek mungkin kangen tidak melihatmu sekian lama, ya setelah kamu menikah. Kamu pulang kapan??”
“Segera, mungkin habis jum’atan nanti”
“Ya sudah hati-hati, ya!!”
“Iya, Bu”
Kuliah tinggal satu kelas lagi, tapi sudah tidak konsentrasi. Nenek... terbayang wajah beliau yang cerah dan tiba-tiba saja sakit. Aku menyayanginya lebih dari yang orang tahu.
“Assalamu’alaikum... Quinsa, kamu dimana??”
“Wa’alaikumsalam. Di kos teman, Mas. Ada apa??”
“Anu... Quinsa... Halo... halo... kok mati??”
Aku tak tenang, sudah jam 3 sore dan Quinsa belum pulang. Hujan dari ba’da sholat jum’at menambah sejuk suasana. Tapi nenek, hatiku tak tenang dan Quinsa menambah rasa tak tenang itu karena ketidakhadirannya hingga sore. Tak ada kabar juga darinya.
Mas,Quinsa menginap dit4 tmn. Hjn g reda2, mas jaga diri ya! Maaf lowbath&g da charger bwt tipe HP Quinsa.
Baru aku terima SMS dari Quinsa, aku ingin marah tapi rasa lapar diperut tak tertahan. Dari siang belum makan karena menunggu Quinsa. Kulihat lagi jam pengiriman SMS, jam 15.47. mungkin pending dari tadi sore, memang operator hari ini sedang bermasalah.
Bwt Quinsa, hati-hati ya
Kutahan amarah yang sudah meradang ingin membuncah. Aku keluar dengan sedikit berhujan-hujan menuju warung nasi kucing di ujung gank.
Sambil makan aku selalu memantau perkembangan nenek. Tak lupa aku memberi kabar tidak bisa pulang hari jum’at itu.
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam...”
“Mas...”
“Darimana saja!!? Kamu itu seorang istri tidak baik kalau menginap tempat orang. Mas mau ke Solo”
“Kok mendadak??”
“Tidak mendadak, kamu dari kemarin kemana?? Nenek sakit, harusnya kemarin aku bisa sampai Solo dan menjaga nenek”
“Nenek?? Sakit apa, Mas??”
“Mas tidak tahu...”
“Quinsa ikut...”
“Cepatlah...” amarahku tak rela jika kutumpahkan pada gadis cantik di depanku itu.
“Maafkan Quinsa, Mas” Quinsa meraih tanganku. “Quinsa tidak tahu... maafkan Quinsa”
“Sudahlah...”
“Apa Mas Rozaq menangis semalaman??”
“Aku menyayangi nenekku karena dia banyak mengajarkan segala hal padaku”
“Quinsa salah, Mas”
“Jika aku boleh memilih, aku akan sangat mencintai beliau dibanding aku harus mencintai dirimu”
Sepanjang perjalanan ke Solo, Quinsa hanya terdiam dan aku menikmati diamku dan mengantar beribu doa untuk nenek tersayang.
“Mas, makan roti ini. Dari pagi Mas Rozaq belum sarapan”
“Hhmmm... kamu juga, makanlah!!” aku membagi roti basah menjadi 2 bagian.
“Quinsa lega, Mas mau bicara dengan Quinsa”
“Nenek pasti senang melihatmu nanti, kamu cucu menantu yang nenek pilih langsung”
“Nenek pasti tidak apa-apa, beliau kuat seperti cucunya ini”
“Aku tidak terlalu kuat... beliau lebih sangat kuat”
“Minumlah... pasti lega... sudah ada banyak doa untuk beliau”
“Hhhmmm...”
Ini satu lagi rizki menikah, ada yang bisa diajak berbagi. Ada yang menghibur dan memberi perhatian disaat paling rapuh sekalipun hingga terasa kuat untuk tetap berdiri.
Bus AC Taruna jurusan Semarang-Solo masuk terminal Boyolali. Sudah semakin dekat. Semoga lancar menuju ke rumah. Amin. Doaku dalam hati.


9
Solo, Dia adalah Istriku

“Kita turun Kerten saja”
“Iya...”
“Nanti naik bus kota”
“Terserah Mas Rozaq”
Masih pagi, bus kota penuh dengan orang yang pulang dari pasar ataupun menuju pasar. Tak ada tempat untuk duduk, terpaksa berdiri. Aku memberi celah Quinsa agar tak tersentuh oleh desakan orang-orang yang bau pasar. Ini mungkin kali pertamanya naik bus kota yang penuh sesak.
Dorong mendorong saat ada yang turun dari bus, tak elak aku harus berdekatan dengan Quinsa. Dia hanya tersenyum garing atau justru mengejek.
Senang melihat gapura Lojiwetan, rumah sudah di depan mata. Nenek pasti sehat melihatku ada di depan pintu rumah.
“Om, nenek mana?? Sudah sehat??”
“Sabar, Le” Om Adi lembut mengusap rambutku saat aku mencium tangannya.
“Dimana, Om??”
“Nenek masuk rumah sakit, semalam langsung dilarikan ke Yarsis setelah tidak sadar”
Aku langsung lari mengambil sepeda motor dan menuju Rumah Sakit Yarsis. Aku bahkan lupa kalau aku membawa istriku serta ke Solo.
Aku lari ke ruang gawat darurat, mencari nenek yang selama ini telah merawat dan memberi cerita berbeda pada hidupku.
“Bu, nenek bagaimana??” aku mencium tangan Ibu sambil mencari ada gerangan apa pada nenek.
“Sudah stabil”
“Bu...” Quinsa kulihat mencium tangan Ibu, haru Ibu melihat menantu di depannya.
“Sebenarnya ada apa??”
“Belum ada penjelasan, Ibu ke ruang dokter dulu. Ayah sedang di kantor, nanti Om-Om kamu dan Bulik-bulik kamu juga kesini. Tadi mereka pulang sebentar, ambil baju nenek dan mandi”
“Rozaq boleh masuk??” aku seperti anak kecil yang merengek minta sesuatu dan Ibu membenamkan kepalaku di bahunya, memelukku paham perasaanku.
“Belum, nak. Sabar, doakan nenek”
Aku terduduk di kursi depan ruang gawat darurat. Menangis sejadi-jadinya, kali ini ada tangan lembut milik Quinsa memberiku kesempatan membenamkan kepalaku di bahunya. Menangis seperti anak kecil dan dia tak ada suara, hanya usapan lembut di kepalaku.
Letihku, menahanku untuk berada pada posisi tiduran di kursi panjang. Dan sudah ku beri label sewa karena lelahku. Aku berusaha memejamkan mata dan Quinsa terus mengusap lembut rambutku.
Aku berdiri bergegas ketika ada dokter dan beberapa perawat masuk ruangan nenek. Disusul Ibu dan Ayah dari belakang.
“Bu, ada apa dengan nenek??”
“Tidak apa, nenek mau dipindahkan ke ruang perawatan”
“Alhamdulillah...” aku tersenyum pada Quinsa.
“Nenek kemarin jatuh di kamar mandi, sore itu tidak apa-apa, jum’at pagi mengeluh pusing dan malamnya nenek pingsan lama. Kata dokter trauma ringan karena nenek sudah tua”
Ibu bercerita tentang keadaan nenek sambil menunggu nenek dipindahkan ke ruang perawatan.
“Rozaq menunggu Quinsa kemarin, dia ada acara”
“Tidak apa, kalian pasti sibuk di kampus”
“Maafkan Quinsa, Bu”
“Eit, jangan begitu... memang Rozaq sayang sekali sama neneknya, dari kecil yang merawat Rozaq ya neneknya. Kami sibuk kerja waktu itu. Kakak-kakaknya juga yang merawat neneknya”
“Iya, Yah. Quinsa paham...”
Setelah memastikan nenek baik-baik saja, aku mengajak Quinsa keluar ruangan. Kasihan nenek, ruangannya penuh sesak dengan anak menantunya dan cucu-cucunya.
“Mas Rozaq, sudah lega melihat nenek tidak apa-apa??”
“Iya... terimakasih kamu mau menemani Mas Rozaq”
“Apa... hhhmmm... Mas Rozaq tidak merasa lapar?? Quinsa lapar sekali” Quinsa meringis dan memegangi perutnya, meronta.
“Astaghfirullahal’ adzim... Quinsa maafkan Mas Rozaq” Quinsa hanya tersenyum lemah.
“Maaf...”
“Mas juga lapar... kalau begitu kita cari kantin saja lalu pulang dan istirahat”
“Setuju...” wajah Quinsa langsung cerah.
“Maafkan Mas Rozaq sudah membuat Quinsa lapar”
“Quinsa juga minta maaf sudah membuat Mas Rozaq cemas”
Memesan beberapa makanan di kantin dan tak lupa pamit Ibu dan Ayah dulu, takut dicari nantinya.
“Ini Solo, kota kecil kaya budaya dan suatu saat akan menjadi kota besar dengan budaya leluhur dan moyang yang tak ternilai. Kamu pasti bosan, disini juga lebih panas dari Semarang”
“Kata siapa Quinsa bosan, Quinsa akan sangat senang. Sama seperti Jogja kota budaya dan wisata. Kalau di Semarang sudah bosan, dari kecil disana dan tahu budaya apapun disana”
“Ya semoga Quinsa senang”
“Amin. Terimakasih, mohon bantuannya untuk memandu wisata di Solo, ini pertama kalinya Quinsa di Solo” Quinsa senyum menang.
“Eit... siapa bilang kita wisata?? Kita menengok nenek di Solo”
“Yach apa tidak bisa mengajak Quinsa jalan-jalan beberapa jam??”
“Tidak...”
“Beberapa menit??”
“Tidak...”
“Hhhuuuuhhhh jahat!!! Suami macam apa itu??”
“Macam Rozaq yang baik dan ganteng” aku ucapkan tanpa memandang sejengkalpun wajah istriku.
Solo, aku datang bawa makhluk dari Semarang yang aku temukan di Kereta jurusan Jogja Semarang. Ku bawa dia dengan senyum karena dia adalah istriku, kekasihku yang kelak menjadi sahabatku hingga senjaku.




10
Kisah Panjang Kota Batik

“Hhhuuuuhhhh jahat!!! Suami macam apa itu??”
“Dari kemarin bicaranya suami macam apa?? Tidak ada kata yang lain”
“Tidak... Mas Rozaq tega... ini hari terakhir ayolah jalan-jalan sebentar... Solo dan Semarang tak jauh jaraknya”
“Rozaq... kasihan Quinsa, ajak dia jalan-jalan menikmati kota Solo. Quinsa belum pernah ke Solo” Ibu ikut memberi kesempatan padanya.
“Panas, Bu. Lain kali saja kalau liburan panjang...”
“Jangan begitu, tadi pagi waktu Ibu ajak ke Luwes, dia senang sekali katanya kalau di Semarang jaringan supermarket besar ADA swalayan”
“Nanti buang-buang uang...”
“Ibu yang kasih uang, kalian masih tanggungan Ayah sama Ibu. Nenek juga pasti senang kalian bisa jalan-jalan berdua. Nenek bisa istirahat, kalian berdua cerewet jadi nenek mau istirahat telinganya”
“Iya... kemarin nenek juga bilang begitu sama Ayah. Itu Rozaq dan Quinsa cerewet sekali. Nenek mau tidur sedikit pasti ada saja cerita yang mengalir...” Ayah memihak Ibu dan Quinsa
“Nenek sudah lama tidak bertemu Rozaq, sejak Rozaq menikah jadi nenek tidak mungkin bosan”
“Sudah sana!! Mumpung masih jam ½ 11”
“Ayolah... manja...” aku mengejek Quinsa yang tersenyum bahagia.
“Rozaq!!! Jangan begitu!!! Ambil motor di Rumah Om Adi dulu”
“Iya, Bu. Pamit dulu, Assalamualaikum...”
“Wa’alaikumsalam...” kompak suara Ayah dan Ibu menyahut dari dalam rumah. Kakak-kakakku sedang menjaga nenek di rumah sakit.
“Jalan kaki apa tidak lelah??”
“Kalau lelah apa Mas Rozaq mau gendong??”
“Hhaaahhhh... tidak!! Salah Quinsa mau jalan-jalan”
“Belum Ikhlas??”
“Sudah... demi Quinsa”
“Mana Senyumnya??”
“Apa??” aku kaget dia menodong senyum dariku. Aku nyengir saja sekenanya.
“Belum Ikhlas??!!!”
“Sudahlah...”
“Rozaq.... betul, kan??”
“Iya... apa kabar Fitri??”
“Baik... kamu sendiri??”
“Alhamdulillah baik...”
“Oya... ini Quinsa istri saya”
“Oh jadi benar kata Nova kamu sudah menikah. Cantik...”
“Terimakasih...” dengan polosnya Quinsa menjawab.
“Mau kemana siang-siang begini??”
“Mau jalan-jalan sebentar” aku jawab dengan sopan.
“Oh ya sudah kalau begitu, Fitri mau pulang dulu sudah ditunggu Mas Aryo”
“Silahkan...”
“Assalamualaikum...”
“Wa’alaikumsalam...” serempak aku dan Quinsa membalas salam Fitri. Sejurus kemudian aku dan Quinsa saling menatap.
“Hayooo siapa?? Mantan pacar??”
“Kamu...” aku menatap Quinsa tidak suka. “Dulu dia teman akrab Mas Rozaq”
“Suka??”
“Maksud Quinsa??”
“Mas Rozaq suka??”
“Hanya suka...”
“Anggun, beda sama Quinsa, ya?? Lalu kenapa tidak bersama?”
“Apa kalau suka harus bersama??”
“Dalam beberapa keadaan iya”
“Dia bilang sama Mas Rozaq kalau lebih baik berteman, sudah nyaman jadi teman dan mas sudah seperti kakak sendiri. Mungkin sudah merasa tidak akan berjodoh panjang”
“Atau mungkin Mas Rozaq takut untuk menarik kesimpulan bahwa itu cinta dan harus diperjuangkan dan sayangnya Mas Rozaq tidak melakukan hal itu”
“Kamu menarik kesimpulan sendiri...”
“Mas Rozaq masih punya rasa itu??”
“Sejak dia memilih untuk mengabdi pada Mas Aryo dan Mas Rozaq menemukan kamu sudah tidak ada lagi rasa itu...”
“Hahhhh!!! Apa?? Yang terakhir tadi Mas Rozaq bilang apa??”
“Bilang apa?? Mas Rozaq sudah lupa”
“Yach... tadi... sejak Mas Rozaq menemukan Quinsa sudah tak ada rasa lagi”
“Apa?? Sudah ayo cepat nanti kesiangan”
Aku menyembunyikan rasa itu, walaupun ingin aku ulangi lagi kalimat itu tapi rasanya aku tercekik sendiri. Mungkin ini karena kebersamaan kami, cinta itu memang ajaib. Ini fitrah kami.
Kulihat wajahnya berseri mengagumi suasana dan lingkungan Keraton. Wajahnya semakin cerah saat melewati beberapa penjual batik di Pasar Klewer dan mencicipi makanan khas Solo.
“Barangnya hampir sama seperti di Malioboro Jogja”
“Iya... persis”
“Quinsa senang dengan suasananya”
“Kita Sholat Dhuhur di Masjid Alun-alun”
“Yang tadi itu??”
“Iya...”
Kami berlalu pergi meninggalkan suasana Pasar Klewer yang tak pernah sepi dan Masjid Agung yang memberi suasana berbeda pada 3 lingkungan yang berbeda pula. Kami menuju Musium Pers, kulihat tidak ada rasa lelah yang tersirat dari wajahnya yang bersih. Hanya sedikit merah karena panas. Dari musium kuajak dia ke Pasar Gede, minum es dawet khas Pasar Gede dan makan sate kambing di sekitar Lojiwetan.
“Kenapa namanya Pasar Gede??” tanya Quinsa polos saat kami berdua minum es.
“Ya karena pasarnya gede, mbak!” seorang pembeli yang duduk di sudut lain menjawab jelas. Aku dan lainnya yang mendengar langsung tertawa.
“Sudah dijawab secara jelas”
“Pasti ada alasan lain”
“Tidak ada... tapi kalau mau tahu, nenek bisa cerita lain kali”
“Bukan orang sini, Mbak??”
“Saya dari Semarang dan ini suami saya dari Solo”
“Ohh suaminya?? Menikah muda??”
“Iya...”
“Semoga cepat diberi momongan...”
“Amin...” tanpa slow motion Quinsa langsung semangat mengamini.
“Kamu ini...”
“Kenapa?? Doanya baik jadi harus bilang amin”
“Ya sudah terserah kamu saja”
“Habis makan ke PGS, ya??”
“Cari apa??”
“Banyak...”
“Kamu...”
Beberapa lembar kerudung dan rok panjang sudah ada dalam plastik di tangan Quinsa. Keluar dari PGS harusnya kami pulang ke rumah. Tapi entah kenapa aku ingin mengajaknya ke suatu tempat. Kalau di Semarang ada wisata kota lama, bolehlah ada kota tua di Surakarta ini.
“Kemana?? Katanya pulang” Quinsa sangat senang.
“Berubah fikiran... Solo-Semarang dekat bukan??” Quinsa menatap heran ke arahku.
“Yach tapi tidak dibawa ke hotel, kan??”
“Hhhmmm maunya???”
Quinsa tersenyum bercanda. Banyak pengalaman yang sudah dia dapat hari ini.
“Ini taman Sriwedari, kalau anak kuliah tahunya Pasar Buku Sriwedari”
“Macam lantai 2 pusat buku di Pasar Johar??”
“Iya... tapi lebih lengkap di Johar mungkin...” aku mengamininya karena beberapa kali aku sempat ke Johar cari buku murah. Banyak pilihan dari buku lama sampai buku baru. Bisa ditawar pula kalau beli buku disana.
“Ohhh... tiap kota kalau ada Kampus pasti ada pasar buku murah”
“Ini dulu tempat pergelaran kesenian... sekarang sudah jarang. Masih tersisa sedikit kelompok kesenian yang manggung di tempat ini”
“Kalah sama Taman Budaya Jawa Tengah di STSI??”
“Dan jarang sekali anak muda yang mengenal kesenian lama jawa”
“Termasuk kita...” dari spion kulihat Quinsa tersenyum dan sesekali membetulkan anak-anak kain kerudungnya yang berkibaran karena angin sore menjelang maghrib.
“Ini Taman Balekambang... putri kembarnya Keraton. Turunlah, aku parkir dulu”
“Ohhh itu patung mereka?? Mirip?”
“Namanya juga kembar” aku melihat ke arah Quinsa yang tertawa mengejek.
“Siapa namanya??”
“Rozaq...”
“Apa?? Bukan mas tapi 2 gadis kembar itu??” aku menggoda Quinsa dan kami tertawa bersama.
“Partini dan Partinah... ayo duduk disana...” kutunjuk satu bangku taman yang panjang dan kosong. Sedikit yang kesini... lebih suka pergi ke taman pinggiran di Jalan Slamet Riyadi atau taman-taman yang menyediakan area free hotspot.
“Nyaman bukan??”
“Iya... eit kita ambil beberapa foto disini”
“Dari tadi kamu foto-foto terus...”
“Buat kenang-kenangan”
“Lain kali aku yang diajak keliling Semarang”
“Siap”
“Hujan... ayo cari tempat buat berteduh, cepat!!”
“Hwaaa... hujan pertama...”
Aku melihat ada riak bahagia di wajah Quinsa, tidak tega rasanya menyakiti hati lembut itu. Kulihat dia sedang menunduk seperti berdoa di hati.
“Sedang apa??”
“Berdoa...”
“Kok??”
“Katanya berdoa di bawah hujan pertama akan dikabulkan apalagi dengan orang yang istimewa”
“Eit tidak boleh percaya seperti itu... lagipula ini bukan hujan pertama”
“Tapi Quinsa mintanya sama Allah, minta sebanyak mungkin dan sebaik-baiknya doa, itu yang diajarkan. Dan ini hujan pertama saat Quinsa di Solo”
“Ada-ada saja kamu, memangnya Quinsa minta apa?? Orang istimewa itu aku??”
“Rahasia...”
“Ya sudah, mendekatlah nanti kamu basah semua dan sakit” aku berusaha membawanya mendekat di sebuah gedung dekat danau.
“Mas Rozaq tahu tidak?? Aku suka gerimis... sangat suka”
“Oya?? Aku lebih suka hujan, langsung reda dan tidak akan merepotkan”
“Tapi kalau gerimis orang masih bisa aktivitas, kalau hujan harus berfikir dulu...”
“Tapi kalau hujan hanya sebentar, jadi menunggu sebentar juga tak masalah. Gerimis biasanya lama, bahkan pernah sampai seharian...”
“Keduanya anugerah dari Allah” bijak kata itu keluar dari mulut Quinsa. “Coba lihat!! Orang yang berdiri disana... apa mereka sepasang kekasih??”
“Mungkin adik kakak”
“Kalau mereka sepasang kekasih, kira-kira apa yang mereka fikiran”
“Yach nggak jadi pacaran kita...” aku menirukan gaya manja anak-anak metropolitan.
“Alhamdulillah... Allah menjauhkan kita dari perbuatan setan...” Quinsa langsung berorasi dakwah. Dan kami tertawa bersama. “Atau lihat dua orangtua di ujung jalan sana!! Waduh ada saja hambatan cari uang buat makan ya Pak’ne1”
“Iya bu’ne2, semoga Allah melimpahkan rizkinya lewat hujan ini pada kita”
“Amin...” Quinsa memandangku haru.
“Kenapa??”
“Ternyata Mas Rozaq pintar juga bercanda”
“Apa susahnya?? Tapi jangan sampai lupa...”
“Anak-anak kecil yang main-main disana??” Quinsa menunjuk ke arah gerombolan anak usia 7 atau 8 tahun.
“Asyik ya hujan setiap hari... bisa main hujan-hujanan tiap hari. Sekolah juga mungkin akan libur”
“Itu mau kamu, aku tidak mau kalau sekolah libur, nanti kapan lulusnya?? Aku mau jadi dokter atau tentara”
“Hwalah gayamu... ke sekolah juga gara-gara ada si Mey-Mey anak Pak Lurah”
Aku tertawa, diikuti Quinsa yang tertawa lepas terbenam dalam suara gerimis besar.


1 pak’ne = panggilan akrab untuk bapak/istri ke suami
2 bu’ne = panggilan akrab untuk ibu/ suami ke istri

“Siapa si Mey-Mey?? Betul anak Pak Lurah??”
“Itu mengarang saja...” aku tersenyum ringan dan Quinsa langsung tertawa lepas.
“Iya... eit suamiku apa yang kau fikirkan di bawah hujan seperti ini??”
“Kapan bisa pulang??”
“Hhhuuuuuhh, bercanda lagi apa tidak bisa??”
“Maaf... hhhmmm... gerimis ini cantik tapi aku melihatmu lebih cantik dari gerimis ini. Tak bosan aku mendengar kisahmu sore ini”
“Apa Mas Rozaq sudah cinta sama Quinsa??”
“Apa cinta itu harus ada saat kita bersama...”
“Terkadang itu suatu keharusan...” kulihat Quinsa menyingkir dari gedung dan berhujan-hujan ria.
“Quinsa... nanti sakit...”
“Kalau tidak begini, kapan pulang??”
“Iya...” cepat aku menarik Quinsa ke arah parkir motor yang agak sedikit jauh dari tempat kami berteduh dan kulihat dia masih tertawa riang.
Kami pulang ke rumah di bawah gerimis yang lamat laun berubah deras. Kupacu motor tak terlalu kencang dan sholat maghrib di jalan sembari berteduh.

11
Semarang, I’m fallin in love

“Kenapa, Mas??” Quinsa memandangku aneh sewaktu aku membantunya mengepel lantai rumah kami.
“Hah... tidak, hanya mau bantu Quinsa, apa tidak boleh??” aku ucapkan dengan menatap wajah Quinsa yang tersenyum.
“Ini piket Quinsa, giliran Mas Rozaq besok”
“Tidak apa, tidak ada kerjaan”
“Semalam katanya mau mengerjakan tugas yang belum selesai??”
“Astaghfirullah... betul, maaf bantu-bantunya lain kali saja” aku langsung ingat tugas yang dikumpulkan jam ketiga nanti. Aduuuh cinta, buat sakit fikiran.
Pernikahan ini sudah berjalan beberapa minggu, hampir beberapa bulan. Belum ada yang berubah isi rumah kecil di Jalan Tembalang Baru 97.
“Assalamualaikum...”
“Wa’alaikumsalam...”
“Hati-hati Quinsa”
“Iya, salam buat Opit”
“InsyaAllah Mas Rozaq sampaikan”
Quinsa pergi ke Gedung Tata Niaga, kampus hijau kita cukup luas. Teknik dan tata niaga terpisah dalam kelompok gedung tertentu.
Pagi Semarang, hari ini mungkin aku jatuh cinta pada dia, bidadari yang aku lihat di Kereta tua. Cinta tak pernah ketinggalan kereta pada kisahku. Aku memilikinya dengan hati, tanpa harus ada yang tahu seberapa besar rasaku ini untuknya, pun dirinya tiada pernah akan tahu dalam hitungan detik atau hari.
Terimakasih Ya Allah...
“Hei... pagi-pagi sudah senyum-senyum sendiri”
“Dapat salam dari Quinsa...”
“Wa’alaikumsalam... bersama lagi tadi?? Jangan-jangan??”
“Apa??”
“Kalian satu rumah??”
“Kamu...” aku merangkul Opit masuk kelas.
“Asalkan halal tiada apalah” Opit bercanda menggodaku.
“Tidak ada tugas jam pertama ini, bukan??” kualihkan tema obrolan kami pagi itu.
“Quinsa akan sangat beruntung memilikimu dan kamu juga pastinya. Eitt itupun kalau benar kalian nanti bersama”
Maaf, Pit. Aku bersamanya beberapa minggu ini, tiap hariku selalu ada kisah berbeda. Mungkin ini salah banyak dari rizki menikah, hidup jadi lebih teratur.
“Rapat mendadak dari ketua kita??”
“Iya... ada apa kira-kira??” aku duduk bersila di antara para awak UKM PP lainnya.
“Assalamualaikum...”
“Wa’alaikumsalam...” serempak dari dalam menjawab salam yang hadir bersamaan senyum Quinsa dan beberapa teman tata niaga lainnya. Dulu aku tak pernah mengenalnya, melihat saja belum pernah. Sungguh Allah Maha Sempurna menyembunyikan apapun keinginanNYA.
Usai rapat beberapa anggota harus tinggal dan aku menitipkan barang-barang yang baru aku beli untuk praktik lusa nanti kepada Quinsa.
Sudah tak lagi ada uang, akhir bulan sangat mengenaskan. Praktik dengan segudang perencanaan menjadi yang terbaik harus dibayar mahal. Seusai rapat intern, aku lari ke Rental tempat biasanya aku kerja paruh waktu. Rental percetakan, lumayan cukup dikenal karena yang usaha adalah teman-teman Politek sendiri. Aku biasanya mengedit foto dan kartu identitas pesanan atau mencetak pin-pin pesanan pelanggan. Akhir bulan biasanya banyak pesanan. Quinsa tak pernah tahu itu, suatu saat nanti akan aku beritahukan padanya.
Semarang, jatuh cintaku... semoga Allah melimpahkan rahmat dan doa pada aku dan Quinsa.
“Ada yang mau diceritakan??”
“Apa??”
“Mas Rozaq di Rental Hijau tidak sekedar main, bukan?? Ikut kerja??”
“Kata siapa??”
“Jangan banyak alasan!! Quinsa hanya ingin tahu...”
“Iya Mas Rozaq kerja disana, sejak dulu sebelum bertemu Quinsa pun Mas Rozaq sudah kerja bantu teman”
“Kenapa tdak pernah cerita??”
“Apa pentingnya buat Quinsa??”
“Penting... apa tidak menghargai Quinsa sebagai istri di rumah ini”
“Mas Rozaq sangat menghargai Quinsa, Mas Rozaq juga akan cerita tapi nanti menunggu saat yang tepat”
“Kapan?? Saat Quinsa bertanya-tanya dan berfikiran negatif”
“InsyaAllah, tidak ada hal buruk yang akan Mas Rozaq lakukan. Mas Rozaq bekerja juga buat beli bahan-bahan praktikum dan beli kertas-kertas atau sekedar jajan di luar”
“Harusnya Mas Rozaq cerita”
“Sekarang sudah cerita”
“Karena Quinsa tahu dari teman”
“Kalau mengandalkan kiriman orangtua, habis di jalan, tidak ada yang ditabung, habis untuk tugas-tugas kampus. Sekarang harus hidup sama Quinsa. Bayar telfon, tagihan listrik, air, internet, makan, tugas kampus, lain-lain yang kita tidak tahu”
“Selalu punya alasan dan argumen”
“Quinsa juga selalu banyak tanya”
“Quinsa perlu bantu tidak?? Quinsa punya tabungan, kalau Mas Rozaq perlu uang bilang saja”
“InsyaAllah Mas Rozaq yang mencari nafkah walaupun masih mengandalkan kiriman orangtua juga. Itu tugas suami, istri hanya mengamalkan ilmunya saja”
“InsyaAllah... jika perlu bantuan Quinsa, Mas Rozaq harus bicara, pernikahan ini memang atas dasar perjodohan tapi Quinsa ingin ada persahabatan di dalamnya”
“Amin... InsyaAllah”
“Cinta juga...”
Aku hanya tersenyum menenangkan hati Quinsa yang kulihat sedikit resah. Wajah ayunya tanpa balutan jilbab di rumah akan sangat meluluhkan hati siapapun yang penuh amarah.



12
Badai belum Berakhir

Jam istirahat, ingin sekali kaki melangkah ke Posko PP. Banyak hal yang ada dalam fikirku yang menarikku kesana. Sebelumnya aku ke Posko Menwa dulu ada titipan dari salah seorang teman. Melewati Bank Jateng, merasakan kulit terbakar panasnya mentari siang itu.
Dari pojok UKM KRS, aku melihat kerumunan warga Politeknik, dari anak teknik hingga anak tata niaga yang ada di UKMnya masing-masing.
“Mas Dwi melamar Quinsa di depan banyak orang seperti ini karena Mas yakin Quinsa adalah perempuan yang baik dan pantas untuk dinikah. Quinsa sudah dewasa, mampu berfikir positif dalam menghadapi masalah selama ini”
“Mas Dwi salah orang, afwan3...”
“Quinsa pasti mampu berfikir dewasa untuk menerima atau menolak Mas Dwi. Mas Dwi berusaha menjauhkan rasa ini tapi tidak bisa, daripada Mas Dwi dosa lebih baik Mas Dwi tanyakan langsung pada Quinsa...”
Ada beban berat berjuta ton menimpa kepalaku saat itu. Aku melihat Quinsa di depan Posko PP dan di depannya ada Mas Dwi, senior kami di UKM.
“Quinsa tidak tahu harus bicara apa, Quinsa hanya menganggap semua yang ada di UKM PP adalah saudara. Cinta itu dikatakan memang harus apapun yang terjadi berikutnya itu adalah konsekuensi dari rasa cinta sendiri. Kali ini Quinsa yang salah, afwan telah membuat Mas Dwi merasa berbuat dosa. Quinsa yang salah...” kulihat Quinsa menundukkan pandangannya dari semua yang hadir dalam forum terbuka itu. Dia tegar, kulihat tak ada airmata yang jatuh, kecuali saat dia bilang afwan telah membuat Mas Dwi merasa berbuat dosa. Quinsa yang salah...
Ya Allah cobaan apalagi ini... kuatkan hati ini menerima semua yang terjadi di depan pandangan hambaMU saat ini.


3 afwan = maaf

“Terserah Quinsa mau menerima Mas Dwi atau tidak, Mas Dwi InsyaAllah menerima segala konsekuensi atas semua yang sudah Mas Dwi perbuat saat ini...”
“Afwan... Quinsa...” kata itu tersangkut di lehernya, tangan kirinya aku lihat mengusap airmata yang mengalir dan dalam genggaman tangan kanannya dia menyimpan sesuatu. Pelan Quinsa membuka genggaman tangan kanannya, ada cincin polos dari perak. Aku mengenalnya, itu cincin pernikahan kami. Cincin dari perak dan polos tanpa batu permata hanya berukir di luar seperti kaligrafi, di dalamnya ada ukiran nama kami.
Dengan itu tanpa harus bicara apapun lagi, Quinsa sudah menang telak mengumumkan pada dunia kampus hijau bahwa dia sudah menikah.
Aku tak kuasa menahan haru dan sakit di dada, sesak dan bercampur segala rasa. Aku keluar dari kerumunan forum dadakan tersebut.
“Maaf...” aku menabrak seseorang dan ternyata Opit.
“Rozaq??”
Aku menahan tangis siang itu berjalan menyusuri Bank Jateng dan tak berani lewat kantin. Mengusap airmata yang lebih tepatnya dalah penyesalan terdalam dan rasa bersalahku pada Quinsa. Seperti anak kecil yang kehilangan mainan atau dilukai salah seorang temannya aku berjalan cepat menuju kelas. Masuk kelas dan mengusap seluruh perih di hati.
“Sabar, Zaq” Opit menepuk punggungku dan dia sudah duduk di sampingku.
“Pit, dia sudah menikah dan dia bangga menunjukkan pada dunia”
“Iya... Quinsa memang cerdas, dia tenang melakukan hal itu”
“Aku...” aku membenamkan kepalaku di telapak tanganku dan mengusap airmata yang tak mau tertahan.
“Nanti pulang kuliah jadi beli bahan buat Rental Hijau??”
“Iya, Pit” aku jawab singkat dan menenangkan hatiku dan fikirku.
“Sabar...” Opit menepuk pundakku. “Aku siap jadi tempat sampahmu”
“Terimakasih, Pit”
Pulang kuliah, aku mengajak Opit mampir Sholat Dhuhur dulu di Masjid Politek.
“Bebanmu terlalu berat hari ini??”
“InsyaAllah ada banyak jalan keluar... asal masih yakin ada Allah diAtas Segalanya”
“Quinsa dan Mas Dwi tak pernah ada kabar bersama. Quinsa selalu menjaga pergaulannya di forum, orangnya suka bercanda tapi tetap santun dan hormat sama orang lain”
“Quinsa terlalu sempurna untukku...”
“Sudahlah, ayo pergi...”
Aku bersujud dalam dan menangis sejadi-jadinya. Opit kembali lagi di sampingku.
“Aku suaminya, Pit. Aku yang hanya diam melihat istriku dilamar orang lain... aku suami yang penuh dengan rasa pengecut itu...”
“Zaq...” Opit memelukku dalam dan berbagi lukaku.
“Quinsa itu istriku...” aku tetap menangis dalam pelukan Opit.
Aku duduk tenang bersandar di tembok. Opit duduk di sampingku, bersiap mendengar segala hal yang akan keluar dari mulutku.
“Aku sudah menduga sebelumnya, tapi aku tidak berani berfikir lebih jauh lagi”
“Saat Up Grading, aku menikah dengannya. Seperti yang pernah aku ceritakan orangtua kami adalah teman semasa kuliah dulu.


13
Kubayar Cintaku
Xxx mengakui kalo sudah menikahi Quinsa...dengan menggandeng tangan Quinsa saat menuju ke kampus dan ke posko..
Saat xxx kuliah lalu seniornya yg melamar Quinsa langsung emmukulnya dengan satu tonjokkan karena menganggap XX pengecut

14
Di Sisa Hati

“Assalamualaikum...”
“Wa’alaikumsalam... Mas Rozaq?? Ada apa??”
“Tidak apa, jangan terlalu khawatir...”
“Quinsa tidak tega melihat Mas Rozaq seperti ini, berkelahi dengan siapa, Mas??”
“Mas Dwi tadi pukul Mas Rozaq... kesal mungkin melihat wajah Mas Rozaq yang ganteng ini...”
Quinsa yang sudah membawa satu mangkuk air es segera mengompres wajahku yang lebam-lebam di beberapa titik. Quinsa menangis sambil tangannya tak berhenti bekerja membersihkan lukaku.
“kenapa tdak balas??”
“Apa Nabi Muhammad waktu dilempar batu rakyat tidak membalas melempar, tak semua kekerasan harus dibalas dengan kekerasan. Manusia berubah dan hati berubah, jika kekerasan dibalas dengan kekerasan maka tidak akan ada habisnya. Mas Dwi hanya ingin melampiaskan amarahnya yang tidak bisa mendapatkan kamu atas kesalahanku yang tak mengaku kalau aku suamimu. Dia lelaki, lelaki hebat dan buktinya dia berani melamarmu dan ikhlas menerima kata tidakmu dan yang terakhir dia menghajarku hingga babak belur”
“Hhhmmm masih bisa bercanda... sudah buat istri khawatir, kenapa tidak sayang sama diri sendiri??”
“Sayang...”
“Oya?? Kalau sayang lain kali harus dibalas bukan niat membalas tapi membela diri”
“Masalahnya ini Mas Rozaq salah, bagaimana membela diri??”
“Mas Rozaq banyak alasan” sambil menekan lebih keras pada lebamku, dan aku hanya bisa menjerit.
“Aku merasa ada banyak hal yang akan berbeda jika sekarang tanpa kamu disini... entah kenapa dengan memandang matamu aku merasa tenang, merasa ada yang melindungiku dari seluruh pandangan buruk dunia...” aku genggam tangan Quinsa dan kuletakkan di dadaku.
“Mas Rozaq juga memberi banyak hal indah selama Quinsa ada di sisi Mas Rozaq”
“Nanti setelah ini tidak ada yang melamar Quinsa lagi... sudah cukup satu saja...”
“Hmmm... Quinsa tidak menyangka kalau Quinsa banyak penggemar...”
“Ihhhh... khilaf itu Mas Dwi...”
“Ihhh... kok begitu... berarti Mas Rozaq khilaf selamanya??”
“Iya... kesalahan terbaik sudah mencuri pandang terhadapmu di kereta. Sudah tak perlu lagi bersusah-susah memikirkan bagaimana cara melamar”
“Quinsa sayang sama Mas Rozaq”
“Hmmm Mas Rozaq juga...” aku dengan malu mengatakan isi hatiku yang sudah tertahan beberapa lama.
“Apa?? Quinsa tidak dengar??”
“Quinsa jangan mulai!! Mas Rozaq kan sedang sakit...”
“Apa Quinsa benar-benar tidak mendengar...”
“Mas sayang Quinsa...”
“Ya Allah... akhirnya suami Quinsa sadar...”
“Maksudnya Quinsa apa??”
“Hehehe... akhirnya Mas Rozaq sadar kalau sikap dan mata tidak bisa dibohongi. Quinsa berdoa banyak akhir-akhir ini...”
“Kamu... ada-ada saja”
“Hmmm sejak kapan Mas Rozaq sayang sama Quinsa??”
“Hmmm ada saja, mau tahu saja kamu ini??!!”
“Yach... balas, ya??”
“Siapa yang balas??”
“Terus sejak kapan?? Ayo cerita ke Quinsa??”
“Tidak mau... itu rahasia...”
“Mas...” Quinsa geregetan di ruang tamu dan aku masuk kamar untuk mengganti baju.
“Tidak usah difikirkan!!”
“Mas Rozaq jahat!”
“Siapa yang jahat?? Mas hanya merahasiakan sedikit hal”
Quinsa terdiam cemberut sambil berdiri di dekat lemari. Jika sudah begitu rasanya tidak tega melihatnya.
“Sejak ada mata indahmu menghujam jantung hatiku dan mengetuknya serta membuatnya berantakan...” aku memeluknya dari belakang. Hangat cintanya aku rasakan menusuk jantungku dan tulang-tulangku. Menyapu tiap fikiran kotorku menggantinya dengan doa-doa manis. Semoga kelak akan aku temui dia di surga. Amin. Terimakasih Ya Rabb memberi Quinsa menjadi bagian dari diriku.

08 Sya’ban 1430H
Kentingan, Surakarta – Pati

--Jadilah Bidadariku--

“Ibu sama Ayah apa tidak salah menjodohkan aku sama Fariz?? Aku sama dia hanya berteman saja tidak lebih!!”
“Bagus, donk??” Ibu memutuskan dengan cepat.
“Bagus bagaimana, Bu??”
“Sudahlah pokoknya kamu tinggal terima dan acara lamaran segera dilaksanakan” Ayah meninggalkan tempat duduknya dan memutuskan secara sepihak tanpa mendengar penjelasanku lebih dalam.
Aku tidak bisa terima, aku mau menikah dengan orang yang aku kenal dan aku cintai tapi bukan Fariz orangnya.
***
“Ca, aku terima kamu jadi istri aku” suara Fariz dari seberang telepon terdengar menggelegar, mengharu birukan perjuanganku.
“Apa!!?? Kamu mau buat aku pingsan?? Kita kan sudah sepakat kalau kita akan menolak perjodohan ini. Kita cuma teman mereka salah sangka terhadap kita”
“Masalahnya aku sudah mendengar semua hal kalau orangtuaku itu sudah banyak berkorban buat aku selama ini apa salahnya aku berbakti sedikit kepada mereka”
“Tapi Riz... aku tidak mau menikah sama kamu”
“Sudahlah... ini final hidup kita. Kamu tunggu lamaranku saja ke rumah”
“Apa?? Fariz, hallo-hallo!! Fariz??” teleponnya langsung diputus begitu saja. Aku merasa tidak ada keadilan.
***
“Pilih yang mana undangannya, Ca??”
“Terserah ini juga bagus” aku asal ambil saja tanpa melihat undangannya.
“Ca... ini untuk sunatan!! Kita mau nikah bukan sunatan”
“Aahh terserah kamu!!”
Akhirnya undangan selesai dicetak dan siap disebar. Sering sekali kita bolak-balik Yogya-Semarang untuk persiapan nikah ini. Semua sudah siap...
***
“Suf... ini ada undangan buat kamu dan anak-anak yang lain”
“Wah... Ca, siapa yang mau nikah??”
“Baca saja, nanti kamu pasti tahu. Aku pulang dulu” aku enggan pergi dari rumah Yusuf, takut akan kehilangan dia selamanya.
“Ca... kamu yang nikah?? Ca... kamu...”
“Hheehhheee aku permisi. Assalamualaikum...” aku langsung ngacir. Aku tidak sanggup menatap matanya. Terlalu sakit.
“Kenapa??” aku sewot menatap Fariz di mobil.
“Pacar kamu?? Atau mantan?? Atau gebetan??” Fariz menggodaku.
“Apa hubungannya sama kamu?!!!” aku agak sewot “Harusnya ini tidak pernah terjadi!!” aku marah pada diriku sendiri.
“Kamu kenapa??”
“Nanti di kosku kamu yang kasih undangannya dan juga ke teman-temanku yang lain, pokoknya kamu yang kasih!!!” aku menangis saja, tidak tahan.
Masih kuingat semua tadi. Pandangan Yusuf masih sangat menyakitkan menusuk hati. Aku tidak sanggup kehilangan sosoknya yang selama ini sudah jadi sahabat berbagi cerita dan semua hal. Dia yang aku fikir akan menemani langkahku hingga senja nanti.
***
“Ra, aku sangat tidak rela menikah sama Fariz. Dia teman aku bukan satu dari pangeran impianku”
“Ca, ini toh sudah pilihan tidak bisa diganggu gugat mungkin Tuhan merencanakan hal terindah buat kamu”
“Iya tapi tidak sama Fariz”
“Sudahlah...”
“Aku masih sayang dengan dia, aku takut kehilangan tatapan mata itu dan aku takut kehilangan rasa hangat dan senyum manisnya yang memberi kehangatan seperti mentari pagi”
“Maksud kamu??” Rara menatapku tajam.
“Yusuf?!? Yusuf Novianto... kamu tahu dia mimpi aku”
“Tapi belum tentu Yusuf merasakan hal yang sama seperti apa yang kamu rasa”
“Kamu tidak yakin??”
“Ca... di depan kamu ada Fariz dia siap memberikan apa saja buat kamu!!?”
“Aku tidak yakin...”
“Ca!! Apa kamu sudah tidak waras??”
“Apa dia rela beri aku cinta?? Cinta dari Yusuf dan kita tidak usah menikah?? Tidak, kan??”
“Cinta kamu buta, Ca”
***
Saya terima nikahnya Syafitri Iffatal Millah binti Hakim Rahman dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar Rp. 8.500.000,- dibayar tunai. Itu yang dilafazkan Fariz. Akad sah, kini statusku tidak bisa diganggu gugat. Padahal aku berharap kalau Yusuf datang dan meraih tanganku kami lari dan tidak ada pernikahan ini. Tapi tidak, justru akad ini adem ayem, sakral semuanya.
Setelah menikah aku di rumah Fariz, rencananya akan kembali ke Semarang dalam waktu dekat karena harus bekerja.
“Mbak Caca...” adik Fariz mencium tanganku dan aku mencium pipinya. Masih sangat lembut karena usianya baru 5 tahun.
“Musa sehat??”
“Sehat, mbak” adik iparku ini langsung mengajak aku ke dalam kamar.
“Ini kamar siapa??”
“Kamar Mas Fariz, sekarang jadi kamar Mbak Caca juga. Kata Mama begitu...” masih polos ucapannya padaku, ucapan khas anak-anak “Daaaggg nanti turun, ya?? Makan kue buatan Mama”
“Iya... makasih”
“Untuk sementara ini kamar kita” Fariz mengganti bajunya di depanku tanpa sungkan.
“Tempat tidurnya kecil sekali??”
“Tapi cukup untuk berdua!!” kutangkap dia agak ketus sepertinya cemburu pada adiknya yang memperhatikanku.
***
“Jangan belakangi aku!!”
“Kenapa?? Suka-suka, donk”
“Aku takut, ini sempit sekali”
“Sini gulingnya ditaruh bawah saja!!” aku menatapnya dan dia sadar “Aku juga manusia tapi tidak akan macam-macam sama kamu”
“Siapa yang bisa jamin??”
“Hhhiiiiihhhh... jilbab kamu kenapa tidak dicopot?? Kita kan sudah menikah?? Jadi bisa donk aku lihat rambut kamu?? Atau kamu tidak punya rambut??”
“Hhhiiihhh... aku sebel sama kamu” aku tarik rambutnya.
“Hhaahh akhirnya, kemarin rasanya kita masih jadi teman. Kita kenal waktu kuliah dari teman-teman. Aneh, ya?? Sekarang tiba-tiba harus satu tempat tidur”
“Iya... jangan tidur dulu!!”
***
“Kenapa harus tinggal di rumah Budhe kamu??”
“Siapa juga yang mau??!! Ini untuk sementara, nanti kita fikirkan lagi. Lagipula aku lebih baik di kos”
“Aku juga! Enak di kos”
“Ayo masuk...”
“Eehh pengantin baru sudah sampai... tadi Mama kamu telfon tanya apa kamu sudah sampai atau belum??”
Malam pertama di Yogya setelah menikah serasa mimpi buruk.
“Kamu kerja??” Budhenya bertanya akrab saat kami ngobrol berdua.
“Iya... di bank swasta”
“Apa sebaiknya kamu keluar kan perempuan lebih baik di rumah mengurus suami terus nanti mengurus anak”
“Tapi aku sudah biasa kerja”
“Lho sekarang beda kamu punya tanggungjawab sebagai istri. Coba lihat kamu tidak pernah menyiapkan sarapan buat suamimu atau kopi di pagi hari untuk dia. Itu kenapa?? Karena kamu sama-sama harus bersiap ke kantor juga. Yang wajib cari uang kan suami sedangkan istri di rumah”
“Mas Fariz tidak melarang aku buat kerja” aku membela diri.
“Kok bisa orangtuanya Fariz menikahkan anaknya sama perempuan seperti kamu. katanya tahu agama tapi kok??” iihh aku fikir siapa yang mau nikah, ini perjodohan. Aku jadi ingin menangis.
Ini baru kisah awal tinggal di rumah Budhe. Tiap hari dapat omelan terus dan Fariz tidak tahu dan aku juga tidak mau memberitahukannya.
***
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam, sudah pulang??”
“Kita pindah dalam dua hari ini... kamu siap-siap”
“Kok buru-buru mau tinggal dimana??” aku kaget dan memandangnya sambil melipat mukena jangan-jangan dia dengar semua doaku tadi. Aduh...
“Kamu tidak pernah bilang?? Aku tidak enak kamu disini tersiksa lahir dan batin. Kalau ditanya Budhe alasannya sudah dapat kontrakan”
“Hhaahh dimana??”
“Cari saja dulu sementara kita di kos” aku khawatir “Sudah jangan sedih lagi!! Maafin Budhe, ya??” Fariz menatapku hangat.
“Iya... tidak apa-apa” aku senyum menenangkannya.
***
“Aduh... kenapa harus di depan kosku??”
“Enak, kan??? Kamu tidak kehilangan teman??”
“Sudah... ayo cepat keburu ada yang lihat!!” aku cepat-cepat menarik Fariz masuk rumah.
“Lho... Mbak Caca, jadi tetangga baru kita Mbak Caca??”
“Eeeehhh iya??” aduh Ana tahu deh. Hiks-hiks...
“Kok tidak kasih tahu???”
“Ini kejutan dari Fariz jadi aku juga tidak tahu” aku mencoba berdalih.
“Kami masuk dulu, Na” Fariz balik menarik aku masuk rumah.
“Eehhh iya motor kamu mana?? Kok pakai motor Tria??”
“Ini buat bayar kontrak rumah dan beli perabot. Tapi tempat tidur hanya satu. Rumah ini cukup luas dengan dua kamar”
“Wah kita sama-sama naik angkot ke kantor”
Akhirnya normal lagi walaupun aku harus terus lihat muka Fariz tiap hari karena kita satu rumah.
***
“Mobil siapa??” aku heran saat dia pulang kerja dan bawa mobil Kijang keluaran terbaru.
“Mobil kantor”
“Kok tidak bilang??”
“Buat apa??” dia ngeloyor mengambil minum “Ca... ini darimana??” Fariz menunjuk alat-alat dapur.
“Hhhmmm beli” aku ragu mengatakannya “Pakai uang aku sendiri”
“Aduh... masalahnya uang saat ini penting buat kita”
“Memangnya kamu mau tidak makan tiap hari??” aku agak nyolot.
“Ya sudah kita sama-sama tidak ngomong... impas. Lain kali harus ada pembicaraan mengenai hal-hal yang menyangkut rumah dan kita berdua”
***
Rumah kami cukup sederhana isinya tidak banyak. Bahkan saat orangtua kami main kami harus rela tidur di depan tv. Yang pasti harus tahu tugas masing-masing dan saling menghargai.
“Aku akan ke luar kota ada kerjaan”
“Kapan??”
“Tiga hari lagi ke Surabaya”
“Hhahh mendadak??”
“Tidak juga”
“Yach tidur sendiri??”
“Takut??”
“Banget” polos aku jawab.
“Suruh Rara menginap disini atau anak-anak kos”
“Tidak yakin??”
“Kita beli tempat tidur lagi buat kamar satunya, bagaimana??”
“Katanya harus hemat uang??”
“Ini kan beda kondisinya”
***
“Dua hari lagi aku pergi”
“Terus??”
“Boleh ikut belanja, kan??”
“Aneh-aneh saja”
“Tidak apa-apa, kan??”
“Terserah...”
“Kok tidak nawar??”
“Ya tidak bisa ini harganya sudah cukup murah. Sudah ayo pulang!!”
“Ooohhh... pagi begini enak juga jalan-jalan apalagi sama istri”
“Ngrayu, ya??? Dalam rangka apa??”
“Tidak...” Fariz menatapku dan aku memandangnya penuh curiga.
Semakin aneh kelakuannya, pagi ini dia melarang untuk belanja dan pulang kerja dia mengajak membeli tempat tidur. Cari perhatiannya tambah sering.
“Bagaimana?? Kenyang??”
“Iya... enak” aku acungkan jempol pada Fariz “Kita kemana sekarang??”
“Jalan-jalan...”
“Kemana?? Namanya jalan-jalan kan ada tujuannya??”
“Tenang saja tidak akan ada penculikan. Apa ada suami culik istri??” dia bercanda dan tetap konsen menyetir mobil “Nah disini??!!”
“Banyak orang?? Banyak yang pacaran juga” aku heran dengan tempat ini.
“Ini tempat bagus buat lihat bintang... jelas banget dan suasananya romantis”
“Tidak mengajak pacaran, kan??”
Aku dan Fariz ngobrol lama dan aku ketiduran di bahunya.
“Ca... bangun diajak ngobrol malah tidur”
“Maaf”
“Ayo pulang...”
***
“Hati-hati, Ca”
“Iya... kan ada Rara”
“Jaga rumah dan nanti aku telfon kamu. Eit kamu minta oleh-oleh apa??”
“Tidak usah... kamu selamat sampai tujuan dan pulang dalam keadaan utuh aku sudah senang” aku senyum saja saat dia aku antar ke bandara. Sambil menunggu rekannya kami berdua berbincang di mobil.
“Eh itu Pak Agung dan Dwi” Fariz menunjuk ke arah rekan kerjanya “Aku gabung sama mereka dan kamu berangkat kerja saja”
“Benar??”
“Iya... Hati-hati!!”
“Tumben...”
“Bawa mobilnya hati-hati ini kan mobil kantor”
“Iya... kamu juga hati-hati”
“Oke... tadi bercanda... jangan lupa jemput aku 3 hari lagi” aku menyalakan mesin mobil “Aku sayang sama kamu”
“Hhhaahh apa??” aku pura-pura tidak mendengar.
“Tidak... bukan apa-apa”
“Aku dengar, kok. Daaaggg Assalamualaikum...” aku langsung tancap gas dan kulihat dari spion dia hanya melotot menahan malu.
***
“Ooohhh ini istri kamu??” Dwi salah satu rekan Fariz menanyakannya ketika aku menjemput mereka dari Surabaya.
“Iya...” Fariz tersipu malu.
“Sepertinya tidak asing??” Pak Agung memandangku yang ada di balik kemudi.
“Kita ke kantor dulu, Ca” Fariz memerintahku dan aku mengiyakan.
“Ooohhh saya ingat kamu penulis novel dan cerita-cerita di salah satu majalah dan salah satu koran harian, kan??” aku kaget ternyata rekan kerja Fariz ada yang tahu. Pak Agung memandangku takjub.
“Haahh jadi kamu sembunyikan penulis hebat??” Dwi bercanda dan aku tersenyum getir tidak enak dengan Fariz.
“Saya tahu karena istri saya rajin baca novel dan cerita di majalah juga koran itu. Katanya tulisan kamu kadang tidak terduga. Bisa senang dan bisa sedih sewaktu-waktu. Wah istri saya senang pasti kalau saya ajak ke rumah kamu, Riz” Pak Agung menjelaskan.
“Hhhuuhhh hebat kamu, Riz. Kalah aku...”
“Katanya mau keluarin novel baru??” Pak Agung tanya.
“Hhhmmm belum, Pak. Mungkin 6 bulan lagi” aku menjelaskan dan Fariz terlihat agak marah.
“Sudah sampai...” Dwi mengatakan dengan semangat.
“Tidak usah ditunggu, nanti kalian pulang saja dulu” Pak Agung mengatakan dengan lembut dan ramah. Usianya kira-kira seperti Ayahku.
“Tunggu sebentar, Ca. Aku laporan dulu...” Fariz masuk kantornya.
“Lagi nunggu siapa, Mbak??” seorang Satpam menghampiriku.
“Oohh suami saya”
“Apa ini Mbak Syafitri?? Yang penulis novel itu??”
“Oohhh iya ada apa??”
“Wah istri saya suka sekali sama Mbak Syafitri” aku jadi tidak enak dilihat orang-orang “Boleh minta tandatangan??”
“Boleh...” Satpam itu menyiapkan kertas dan bolpen.
“Kalau boleh tahu siapa suaminya?? Saya lumayan kenal orang-orang di kantor ini”
“Ca... ada apa??”
“Oohh istrinya Mas Fariz. Wah Mas, tidak saya sangka istri Mas orang hebat” wah tambah runyam masalah ini.
“Iya... permisi ya... saya mau pulang” Fariz agak sewot.
“Oo iya makasih, Mbak??” Satpam itu menyilahkan kami meninggalkannya. Di mobil kami hanya berdiam diri.
“Selamat datang...” aku mulai mencairkan suasana.
“Ini baru semua??”
“Iya... cuma sarung bantalnya dan bantal kursinya dan juga tirai. Kemarin baru jalan-jalan sama Rara”
“Kamu tuh buang-buang uang mentang-mentang bisa cari uang sendiri”
“Tidak suka, ya??”
“Aku merasa dibohongi... semua orang kenal kamu sedangkan aku tidak tahu kalau kamu ternyata penulis”
“Kamu tidak tanya...”
***
Aku buka-buka file-ku dan sepertinya baru ada orang yang mengacak-ngacak file-ku.
“Fariz... kamu acak-acak file-ku??”
“Tidak!! Cuma lihat-lihat”
“Sama saja”
“Aku berhak, donk??”
“Tidak!!!”
“Mau kamu apa??” nadaku meninggi.
“Aku cuma ingin tahu tentang kamu”
“Apa sekarang sudah tahu??” nadaku agak tinggi lagi.
“Aku hanya ingin sedikit tahu apa yang kamu kerjakan di luar kantor dan aku ingin lebih tahu dari orang-orang di luar yang membicarakan kamu”
“Aku memang penulis... sudah dua novel terbit dan tulisan-tulisanku juga sering muncul di majalah dan koran harian seperti kata Pak Agung. Kamu mau tahu apa lagi??” aku agak sewot menjelaskan.
“Maaf, ya??”
Akhirnya semua reda setelah kita berdiam diri dan saling maaf-memaafkan.
“Eehh aku dapat bonus tapi tidak tahu apa??”
“Rumah atau mobil, biasanya perusahaan kan gitu”
“Aku tebak uang”
“Kalau benar uang aku rela melakukan apa saja buat kamu soalnya tidak mungkin. Kemungkinan rumah atau mobil”
“Benar, ya?? Apa saja??”
“Ini bukan taruhan, kan??”
“Dosa tahu??!!! Hanya tebak-tebakan. Aku juga akan melakukan apa saja kalau kamu benar”
***
“Ca...”
“Hhhmmm sampai malam??” aku mengambilkan Fariz minum.
“Kan aku sudah bilang ada lembur”
“Iya...”
“Tahu tidak aku menang jadi deh kamu rela melakukan apa saja??”
“Hhaahh dapat uang??”
“Yups...”
Aduh kenapa perusahaan tidak kasih uang saja. Jadinya begini minta apa dia...
“Sudah siap...” aku berdiri dekat tempat tidur tegang dan banyak fikiran dan aku tidak mau dia tahu jadi aku belakangi dia.
“Siap??? Yang bener??” aku dengar derap langkahnya.
“Ehhh anu... tidak jadi” aku gugup di depannya.
“Aku hanya ingin peluk kamu...” aku kaget saat dia peluk aku dari belakang “Kamu deg-degan??”
“Hhaahh!!! Siapa??”
“Aku hanya ingin peluk kamu, hanya ingin kamu menatapku dengan tatapan yang sama seperti saat kamu menatap Yusuf dan aku hanya ingin bisa gandeng kamu saat kita jalan bareng. Hanya itu saja...”
“Sudah?? Apa kita bisa tidur??” kita berdua tidur setelah Fariz melepas pelukannya.
“Yang benar cuma minta hal tadi??”
“Kamu fikir aku minta itu?? Otak kamu ngeres!!”
“Tidak percaya??” aku penasaran.
“Memangnya kamu ikhlas kasih kalau aku minta itu???”
“Hhhuuuhhh” Fariz senyum nakal.
“Kayaknya baru kemarin kita kenalan dan jadi teman” Fariz menatapku sejenak lalu dia tidur.
Dalam hati aku masih penasaran kenapa hanya itu, kenapa dengan tatapanku pada Yusuf sepertinya biasa saja. Aku menatapnya saat dia tidur... iya kemarin kita masih teman sekarang bisa tidur satu ranjang.
***
“Wah masak enak, nih??” Fariz membawa belanjaan dan pagi ini dia minta ikut belanja lagi.
“Iya...” aku gandeng tangan Fariz dan dia kaget menatapku lalu tersenyum manis. Kurasakan genggamannya semakin erat di tanganku. Kami tersenyum berdua.
“Aku tidak akan sia-siakan kamu karena kamu bidadari pemberian Allah buat aku”
“Yang benar??? Boleh tanya kenapa kamu ingin aku menatap kamu seperti aku menatap Yusuf??”
“Karena aku tahu kalian dulu dekat dan kamu suka dia, kan?? Kalau tidak ada aku, sekarang yang gandeng kamu pasti dia”
“Sejak kapan cemburu??”
“Sejak dulu... hanya saja aku tidak sadar” kita tertawa bareng.

22 January 2007

--The Little Miss--

“Bunda... aku dapat??!” sambil menunjukkan rok yang basah.
“Wah putri Bunda sudah besar... Jadi pakai jilbab, donk?? Sesuai janji”
“Iya... bunda...”
“Ya sudah ganti baju dan kamu paham kan apa yang Bunda ajarkan tempo hari”
“Ciieehhh dah gede?? Suit-suit... akhirnya keinginan kamu untuk dapat haid terkabul juga” tiba-tiba Kak Chelsea masuk kamarku.
“Bunda Kak Chelsea nakal!!!” aku teriak kenceng dan Kakakku ngacir sambil ketawa.
***
“Syd... Sydney ini kamu?? Benar-benar Sydney yang aku kenal selama ini??” Aik begitu terpukau melihatku.
“Kenapa?? Cantik, ya?? Jangan bilang jelek!!” tatapanku mengancam.
“Cantik... main, yuk??!!”
“Sydney kamu kok main sama Aik??”
“Seperti biasa, Bunda”
“Tapi kamu sudah...” Bunda tidak melanjutkan kalimatnya “Ya sudah hati-hati saja” aku dan Aik pergi main.
***
“Pagi... ehh aku sudah dapat” aku mengabarkan keadaanku ini pada teman-teman sekolah.
“Dapat apa??” salah satu temanku berkomentar.
“Lotre, ya??” yang lain menyambung.
“Dosa, tahu!!” aku langsung menyahut.
“Terus apa??”
“Datang bulan??”
“Yaaacchhh telat kamu!?? kelas dua SMP baru dapat??”
“Eehh kamu yang terakhir, eh berarti sekarang kamu sudah dewasa”
“Selamat, ya” semua menyalamiku. Memang satu kelas aku yang belum dewasa, teman-teman pada umumnya dapat haid pertama saat kelas satu SMP atau yang dapat haid saat masih SD juga ada. Tapi sekarang aku sudah dewasa, aku senang.
“Sydney... berarti kamu bisa naksir cowok, pacaran, gandengan tangan bahkan ciuman”
“Hhhaaahhh apa sampai segitunya?? Kata Bunda tidak ada pacaran dalam agamaku??” aku penasaran.
***
“Aik... kamu kan sudah gede. Kamu punya pacar, donk??” satu saat aku tanyakan pada Aik tentang kata teman-teman.
“Belum kenapa?? Mau daftar??”
“Hhaahh!!” aku gelengkan kepala “kenapa belum??”
“Kata Bunda tidak boleh pacaran”
“Berarti tidak pernah naksir cewek atau pegangan tangan dan ciuman sama cewek??”
“Aku sering gandeng tangan kamu?? Kamu teman cewek aku yang paling dekat”
“Tapi kalau naksir cewek??”
“Tidak ada yang aku taksir saat ini, tapi aku suka sama kamu”
“Hhhaaaahhhhh yang benar??”
“Iya...” Aik menatapku “Kamu mau aku cium??” Aik mencium keningku.
“Aik????” aku terpejam merasakan perasaannya begitu hangat padaku.
“Tidak akan buat kamu hamil, kok?!! Itu kata Bu Emi, guru Biologi kita?” aku tersenyum saja pada Aik.
***
“Kak, memangnya setelah dewasa kita bisa naksir lawan jenis kita, suka, cinta, pacaran, ciuman??”
“Bisa... tapi kalau tidak punya pegangan iman dan akhlak yang baik bisa kacau”
“Kacau bagaimana, kak??”
“Bisa terlibat dalam hal-hal yang tidak jelas dan salah”
“Misalnya??”
“Hhhmmm apa, ya?? Misal pacaran sampai hamil”
“Hamil??”
“Sudah dijelaskan Bunda, kan??”
“Sudah... di sekolah juga dapat Biologi”
“Bagus... eit... tumben tanya hal itu?? Jangan-jangan kamu naksir cowok??”
“Iiihhh siapa??”
“Hayoooo mengaku saja!!??”
“Tidak!!! Kalau ciuman??”
“Kenapa tanya ciuman??”
“Kata teman-teman di sekolah ciuman itu bisa buat jantung berdebar”
“Emangnya teman kamu sudah pernah?? Naksir cowok saja belum tentu berani”
“Temanku sudah ada yang punya pacar”
“Haaahhh!!!” Kak Chelsea mendekat dan melotot padaku “Anak bau kencur saja berani pacaran?? Terus kamu mau ikutan?? Aku bilangin Bunda nanti!!”
“Tidak!!! Aku cuma tanya”
“Jangan macam-macam!!!”
“Kalau Kak Chelsea pernah naksir cowok??”
“Kalau cowok yang naksir Kakak banyak tapi Kakak tidak mau”
“Kenapa?? Takut sama Ayah dan Bunda??”
“Takut sama Allah, Bunda kan pernah cerita”
“Terus nasib cowok-cowok yang naksir Kak Chelsea??”
“Kakak bilang tidak mau pacaran tapi kalau nikah mau??”
“Hhaaahhh!!! Kak Chelsea mau nikah??”
“Iya... kakak tidak mau pacaran tapi langsung nikah”
“Kak, tahu tidak??”
“Apa??”
“Kemarin aku dicium sama Aik”
“Hhhaaahhhh!!!!” Kak Chelsea melotot.
“Ssssstttttt... tidak sengaja waktu cerita-cerita pacar dan ciuman”
“Kamu??? Kamu biarkan Aik cium kamu??”
“Iya... tapi itu terjadi begitu saja, tidak ada rencana”
“Ciiieeeehhh bagaimana rasanya??? Hayooo seneng, ya??? Jangan-jangan kamu pacaran sama Aik??”
“Tidak... aku dan Aik cuma teman tidak lebih”
“Tapi kok...” Kak Chelsea gelitikin aku “Enak ya ciumannya... pingin nambah?? Deeuuuhhh yang baru gede hadiahnya ciiuman....” kita tertawa bareng di kamar.
“Ahhh Kak Chelsea...”
“Bukan muhrim, lain kali jangan diulangi!! Dosa!! Kamu kan sudah dewasa, pakai jilbab pula, harus jaga kehormatan kamu sendiri!!”
“Iya... itu kan tidak sengaja... tidak sengaja!!” aku menegaskan.
“Tetap saja itu ciuman!! Ciuman!!”
“Maksud kamu apa Chelsea??” Aduuhh kaget Bunda masuk dan mendengar sebagian bercandanya kita.
“Bunda aku...” aku tersangka utama hanya menunduk, walau tanpa barang bukti tapi ada saksi Kak Chelsea yang mendengar cerita langsung dari mulutku.
“Ayah... ini anak kecil sudah berani ciuman” Bunda sepertinya marah sekali.
“Sydney!! Apa benar kata Bunda??”
“Ayah... Aku cuma... begini kemarin tidak sengaja waktu cerita ciuman dan pacaran sama Aik lalu tiba-tiba Aik cium aku tapi dia cium di kening dan tidak akan buat aku hamil” aku jelaskan semuanya dengan kepala tertunduk.

“Hamil?? Sydney, ciuman tidak akan buat kamu hamil tapi itu buat kamu jadi dosa, Aik sudah dewasa dan kamu juga, kalian bukan muhrim yang boleh pegang tangan apalagi ciuman!!” Ayah menjelaskan panjang lebar dan aku hanya tertunduk.
“Sydney... kalau salah dan kalau ngomong sama orangtua tidak boleh nunduk!! Sydney... bukan masalah hamil atau tidak ini masalah kehormatan kamu sebagai perempuan dan kamu masih kecil. Bunda sering menjelaskan semua hal tentang agama dan pergaulan sesuai agama” Bunda tidak pernah semarah saat ini.
“Aku salah, maaf... tidak akan aku ulangi”
“Kamu bukan sekedar janji, kan??”
“Iya... tapi kalau nikah boleh?? Kak Chelsea bilang dia mau nikah”
“Hhhaahhh!!! Ayah... Bunda streess menghadapi anak-anak ini”
“Kamu... itu kan nanti kalau sudah besar...” Kak Chelsea mencubitku.
“Chelsea kamu ngomong begitu sama adik kamu??”
“Dia tanya soal pacaran lagipula aku jelasin lebih baik langsung nikah bukan pacaran”
“Kalian berdua sudah buat Ayah kecewa”
“Bunda sama Ayah hanya punya dua anak dan semuanya perempuan dan kalian tidak tahu betapa kami orangtua selalu khawatir akan tindakan-tindakan kalian yang takutnya di luar batas. Ayah sama Bunda tidak mau kalian terjerumus” Bunda menangis di depan kami.
“Aku tidak akan ngomong macam-macam lagi” janji Kak Chelsea di depan semua.
“Aku juga...” aku dan Kak Chelsea peluk Ayah dan Bunda.
“Sudah sana masuk kamar... tidur, ya??”
Untung tidak dihukum yang aneh-aneh sama Ayah dan Bunda. Tadi aku dan Kak Chelsea sudah ketakutan sekali.
“Eeehhh kenapa kamu mau tidur bareng Kakak??”
“Tidak boleh??”
“Boleh... eehh Aik berani juga cium kamu. Setahu kakak nyium seseorang itu buat kita deg-degan dan gelisah tidak menentu dan Aik berani cium kamu”
“Sampai segitunya mau cium orang?? Susah amat??”
“Ahhh... Ya sudah tidur saja!! Besok kita kesiangan”
“Apa benar, Kak??”
“Sudah!!!” Kak Chelsea melempar bonekanya padaku.
***
“Apa benar cium cowok itu bikin kita deg-degan??”
“Kamu tahu darimana Sydney??”
“Katanya sih begitu...”
“Iya... tapi aku pernah cium pacar aku dan aku malu tapi memang deg-degan”
“Hhhaahhh!!!” aku melotot tidak percaya.
“Kamu belum pernah???” salah satu temanku bertanya dan aku hanya menggeleng saja. Tak kufikirkan hingga jam istirahat.
“Aik... aku nyontek PR Fisika nomer lima, susah sekali”
“Ini... tapi tidak tahu benar apa salah. Susah, sih??”
“Selesai” dengan cepat aku menyalin PR Fisika yang susah itu “Hhhhmmm...”
“Ada apa??”
“Tidak...” aku cium Aik di pipi kirinya “Terimakasih...” Aik kaget dan hanya tersenyum.
“Sydney, Aik!!! Apa yang kalian lakukan??”
“Hhhaaahhh!!!” aku dan Aik hanya saling pandang, seorang guru sudah memergoki kami.
“Ikut ke ruang Kepala Sekolah!!” aku dan Aik hanya pasrah digiring ke ruang Kepsek.
“Nama kalian dan nomer telfon rumah??” Kepsek bertanya seram padaku dan Aik.
“Saya Sydney Amaira Hafidz nomer telfon 08111232341”
“Saya Arya Aikana telfon 0811325673” kami pasrah pasti orangtua kami dipanggil ke sekolah ini memang salahku.
***
Aku di rumah disidang dan pastinya Aik juga sama, orangtua kami kan satu aliran. Heheheee. Tapi aku yakin itu semua demi masa depan kami.
“Tante... Sydney ada??” aku lihat Aik dari jendela ruang tamu.
“Ada...” aku langsung keluar dan Bunda memandangku.
“Aik mengajak mengerjakan PR bareng, kan Sydney besok sudah masuk lagipula di sekolah ada PR” kami dihukum, aku diskors 1 minggu dan Aik lebih beruntung hanya 4 hari. Kesalahanku tercatat lebih berat berani mencium lelaki di kelas.
“Boleh Bunda??” aku pasang wajah memelas.
“Tante... nanti kalau aku sudah besar aku mau nikah sama Sydney”
“Kalian masih kecil fikirkan soal sekolah saja” Bunda tersenyum sepertinya hati Bunda mencair.
“Aik tidak bercanda, Tante”
“Sudah belajar sana!! Daripada fikiran tante berubah”
Aku dan Aik mengerjakan PR dan diawasi sama Bunda di teras depan. Kakakku Chelsea Namira Hafidz yang aku sayang hanya ketawa-ketiwi melihat kami dari ruang tamu.
“Bunda boleh kami ambil mangga??”
“Ya... hati-hati Bunda percaya sama kalian jadi jangan disalahgunakan!! Aik, Tante percaya sama Aik dan orangtua Aik juga tahu kalau Aik dan Sydney berteman”
“Iya Tante... Sydney bagaiman kalau kita balapan???” Aik mengajak berlari.
“Wah curang!!!” Aik lari lebih dulu ternyata.
“Kamu di bawah saja jangan memanjat pohon kan kamu cewek!!”
“Hhaahh tidak asyik!!!”
“Sydney!!! Kamu mau dihukum Bunda lagi?!!! Kamu di bawah saja aku sudah janji jaga kamu!!”
“Memangnya kamu mau menikah sama aku??”
“Iya... aku yakin kalau sudah besar kamu nanti cantik karena sekarang saja kamu sudah cantik”
“Jadi hanya karena aku cantik??”
“Tidak juga tapi karena aku suka sama kamu dan aku rela nunggu kamu”
“Kalau aku tidak cantik??”
“Tidak apa-apa kamu kan gadis pertama yang kasih ciuman pertama buat aku”
“Janji...!!!”
“Iya...”
“Tidak bohongi aku??!!!”
“Iya... pasti... ini janji seorang lelaki kepada gadis imut yang cerewet seperti kamu”
“Aiiiiiiiiiiiiiiikkkkkkkkkkk...” aku melotot ke arah Aik yang berada di atas pohon mangga.

19 January 2007

--FAIRY MOMENT--

"Apa yg kamu suka dar hujan?"