“Bunda 500 Juta”
“Sudah
tidur, nak?”
Aku mencoba menutup
kepalaku dengan selimut dan memejamkan mata, tapi dia tetaplah ibu yang punya
rasa segalanya atas anaknya.
Kurasakan belai lembut
tangan rentanya berada di kepalaku. Aku berusaha menahan tangisku, “aku ini
lelaki tegar” pekikku dalam hati.
Belai lembut tangan Ibu
mulai pasrah kehilangan nyali untuk meneruskannya. Dia tetap seorang Ibu yang
tahu betapa hancur hati anaknya atas apa yang menimpanya. Sekalipun aku sebagai
anak tak mengungkapkan tapi dia adalah Ibu yang melahirkanku.
Aku bangun, menyerah,
aku duduk menghadap Ibuku yang terpaku di tepi tempat tidur busaku. Aku diam
hampa, sedangkan tangis Ibu mulai luluh.
“Menangislah, nak, jika
itu bisa mengurangi bebanmu,”
“Bu, aku sudah
kehilangan dia,”
“Kuatkan dirimu untuk
Ghaida, dia masih butuh kamu, kamu tidak ingin menjadikannya sebatang kara di
dunia bukan?”
“Ghaida butuh Suha, Bu.
Apa Allah tidak tahu itu?”
“Allah lebih tahu dari
kamu, nak. Dia Maha Tahu atas segalanya.”
“Astaghfirullah,” aku
mengusap airmataku yang masih deras mengalir, kupeluk Ibu yang selama ini
merawatku. Diam-diam aku bertakbir dalam hati dan bertahmid, teringat penggalan
doa dari Sayyidina Ali:
Ketika
aku meminta kekuatan
Allah
memberi kesulitan
Allah
tidak pernah memberi apa yang aku minta
Tapi
selalu mencukupi apa yang aku butuhkan
Airmataku mengering dan
kelak akan terobati luka ini oleh waktu. Aku memeluk Ibu dengan penuh hikmat.
***
“Ayah... kapan aku
punya Bunda?”
“Kenapa tanya seperti
itu sayang?” aku melipat mukena kecil putri tunggalku.
“Semua teman-teman di
sekolah punya Ibu, Mama, Bunda, Gheda sendiri yang tidak punya,” wajah polosnya
meminta penjelasan, bocah kecil itu menyebut namanya sendiri dengan Gheda, dia
masih sedikit cadel.
Lancar sekali putri
kecil ini bicara meminta apa yang dia inginkan. Bukan mainan boneka mahal atau
baju bagus yang dia minta, tapi ini jauh lebih sulit, dia yang hanya seorang
anak tanpa cela meminta seorang Ibu buatnya. “Ya Rabb aku cari kemana? Andai
aku bisa membelinya di toko sebelah rumah,” aku memeluknya dan menggendongnya,
kukecup kening Ghaida lalu aku katakan “Nanti Ayah carikan, Bunda itu mahal,
jadi Ayah harus nabung dulu, Gheda tidak mau punya Bunda yang jelek, kan?”
putri kecilku hanya menggeleng memandangku serius. “Nah tapi Gheda juga janji
bantu Ayah minta ke Allah buat kasih Gheda Bunda yang sayang Gheda,” lanjutku
sambil menurunkannya dari dekapanku.
“Janji, Ya Allah...
Gheda dan Ayah mau Bunda yang cantik dan baik, Gheda janji tidak nakal lagi
kalau Allah kasih Gheda Bunda cantik.”
Aku tersenyum getir,
usianya kini 3,5 tahun dan dia mulai tahu dan bertanya kenapa hanya dia seorang
yang tiap pagi hanya nenek atau kakeknya yang mengantar ke sekolah.
“Nenek... aku mau Bunda
cantik, kata Ayah dia harus nabung dulu soalnya Bunda itu mahal. Gheda juga mau
nabung mulai besok, Gheda mau Bunda yang baik. Nenek bantu Ayah juga,” Ghaida
berlari menuju pelukan sang nenek.
Ibu hanya mengernyitkan
dahinya dan memandangku penuh amarah, aku hanya tersenyum singkat tanda maaf
membohongi anak kecil seperti Ghaida.
“Kalau begitu nenek
juga mau ikut menabung, nanti kalau Gheda dapat Bunda yang cantik dan baik
nenek juga ikut senang,”
“Kakek juga mau carikan
Bunda buat Gheda,”
“Mau cari dimana, Kek?”
“Hmm...,” sang kakek
bingung menjawab pertanyaan cucunya, dia hanya memandang istrinya yaitu Ibuku dan
aku, anak yang tak berguna yang sulit mencari Ibu bagi Ghaida putriku.
“Kakek mau cari di toko
sebelah, nak.” Ayahku berucap santai.
“Hush, jangan ngomong
sembarangan,”
“Memangnya di toko
sebelah ada?” Ghaida polos bertanya memandang sang kakek.
“Ayah bohong, kalau mau
cari Bunda yang baik minta sama Allah,” Ibu menjelaskan pada cucu kesayangannya
dan cucu satu-satunya. Aku hanya memandang takjub, Ibu selama ini adalah
pengganti Suha, dia adalah sosok Ibu dan nenek bagi Ghaida.
Ghaida bermain riang
dengan neneknya, Ayah memandangku menggiringku untuk duduk di dekatnya.
“Anakmu sudah semakin
besar, dia tahu apa yang ada dalam fikirannya, yang tidak dia tahu dia
tanyakan, berhati-hatilah bicara, jangan memberikan pemahaman yang salah,”
“Iya, aku hanya mencari
kata-kata yang mudah saja,”
“Cari yang mendidik dan
gampang Ghaida cerna,”
“Aku tidak ingin ada
yang menggantikan Suha di hatinya,”
“Suha sudah lama tidak
bersamanya, sejak Ghaida lahir, dan dia tak pernah tau belaian lembut Suha dan
senyum manis Suha, Suha sudah tergantikan seiring waktu,”
“Ayah kenapa bicara
seperti itu?”
“Kamu harus sadar, Suha
ada dan hidup di hati kamu karena kalian punya kenangan bersama, tapi lihat
Ghaida, dia tak pernah punya kenangan bersama Ibunya. Ghaida hanya tahu kalau
Suha adalah Ibu yang sudah melahirkannya dan Suha juga sudah pergi
meninggalkannya. Kamu harus sadar itu, nak.”
“Iya, belum ada yang
sesuai untuk jadi Ibu Ghaida,”
“Kamu harus cari yang
benar bukan asal-asalan mencari yang terbaik buat kamu tapi buat Ghaida tidak,”
“Iya, Ayah tenang saja,
kalau jodoh pasti nanti ketemu.”
***
“Ayaaaaaaaaaah...,”
“Hups, ada apa ini?
Ayah pulang kok langsung teriak, Ghaida punya kabar apa?” aku memeluk gadis
kecilku dalam gendongan.
“Gheda dapat kue
bownis,” wajah cantiknya semakin menarik ketika matanya mulai berkedip-kedip
genit.
“Hmm, dari siapa?”
“Dari Ibu cantik, dia
guru Gheda di sekolah.”
“Sudah bilang
terimakasih belum?”
“Sudaaaah, Gheda sudah
bilang syuklon,” kalau bicaranya cepat huruf r berubah menjadi l dan itu
membuatnya semakin lucu.
“Bagus, anak Ayah
pintar.”
“Gheda mau punya Bunda
cantik dan bisa masak kue buat Gheda,”
“Hmm, cari dimana? Ayah
bingung mau cari dimana, Ghaida banyak syarat, sih.”
“Mmmm, kalau begitu
Gheda mau Bunda yang pintar masak, sayang sama Gheda juga sayang sama Ayah,
juga nenek dan kakek,”
“Mmuuuaach, pintar anak
Ayah ini, hari ini belajar apa di sekolah? Sudah hafal surat apa saja?” Gheda
duduk di lantai di depan meja kecilnya dan aku memandang semua yang ada di
mejanya.
“Hari ini Gheda belajar
buat origami dengan Ibu cantik, dia sekarang sering ke kelas Gheda, dia sama
cantiknya dengan Bunda Gheda,” Gheda memegang kepalanya tanda bahwa sang tokoh
yang dia sebut Ibu cantik memakai jilbab.
Mendengarnya berceloteh
aku sangat merasa kasihan, waktuku habis di kantor, dan dia tumbuh dengan nenek
dan kakeknya di rumah, sekolah Islam membuatnya banyak memiliki teman dan juga
membuatnya sering bertanya banyak hal yang tidak bisa aku jelaskan dengan bahasa
lelaki. “Ya Rabb, andai masih ada Suha...,” batinku dalam merajuk pada Illahi.
“Kapan-kapan Ayah mau
bertemu Ibu cantik,”
“Iya, Yah? Nanti Ayah
naksir,”
“Hmm... kata-kata
darimana itu?”
“Hihi...,” Ghaida hanya
memamerkan gigi susunya yang berjajar rapi.
“Besok Ayah marahi Ibu
cantik karena ngajarin anak Ayah kata-kata tidak sopan,” aku menggoda bocah
kecil itu sambil melotot.
“Bukan Ibu cantik,
teman Gheda di sekolah yang bilang,”
“Mmm jadi bukan Ibu
cantik? Baiklah Ayah akan maafkan Ibu cantik,”
“Lain waktu Ayah harus
antar Gheda ke sekolah biar bisa kenal dengan Ibu cantik, walaupun baru
mengajar di kelas Gheda tapi Ibu cantik baik,”
“Iya, kalau Ayah ada
waktu,”
“Gheda mau kalau punya
Bunda seperti Ibu cantik,”
“Nah mulai lagi, Ayah
belum tahu Ibu cantik benar-benar baik atau tidak, jadi Ghaida jangan berharap,
siapa tahu juga Ibu cantik sudah punya anak dan suami,”
“Mmm, iya,” Ghaida
mengangguk paham dan putus asa tapi raut wajah itu tak lama berada di muka
ovalnya. Dia kembali ceria menikmati brownis dari sang guru sambil terus
mewarnai.
***
“Atika?”
“Mas Hilmi? Mmm...,”
perempuan lembut di depanku terkejut dan memandang gadis kecil di sampingku.
Ghaida hanya nyengir kuda melihat Ibu Gurunya melihatnya. Aku tak kalah kaget
dengan Atika.
“Kenapa disini?”
“Mengajar, aku sudah
lama disini dan,”
“Ghaida cerita Ibu
gurunya yang baik dan baru beberapa hari mengajar di kelasnya,”
“Iya, saya sendiri,
baru beberapa hari mengajar kelas Ghaida, ada rolling bulan ini, dan ini putri
Mas Hilmi dan Mbak Suha?”
“Iya,” aku mengangguk
lemah mengingat Suha.
“Sama cantiknya ya
dengan Ibunya,” wajah lembut itu tersenyum tulus.
“Kamu bisa saja,”
“Pantas saja ada nama
Khair di belakang nama Ghaida, saya tahu nama itu jarang dan hanya Mas Hilmi
yang punya tapi saya tidak yakin, ternyata saya benar,”
“Iya, kamu masih ingat
namaku?” aku menunduk menjaga jarak. Ghaida mulai menggoyang-goyangkan tanganku
tanda dia sudah lama berdiri.
“Masuklah, nak.”
“Ayoo Ghaida,” tangan
mungil Ghaida beralih ke tangan Atika.
Aliran darahku berdesir
lembut, ada relung yang kosong dan mulai terisi lagi. Mengumpulkan keping masa
lalu dan merangkainya menjadi puzzle yang utuh. Ini sulit dan sangat sulit,
begitu banyak kenangan di masa kuliah.
Aku mengundurkan diri
dari hadapan Atika dan Ghaida, kulihat mereka bergandengan begitu serasi
layaknya Ibu dan anak. Aku kemudikan mobil menuju kantor.
“Boleh pinjam catatan
kemarin? Kelasku jarang dibuatkan catatan dari dosen itu, dosennya pilih
kasih,”
“Hmm, ogah... bayar dulu,”
“Aku bayar dengan
terimakasih dan senyum,” aku nyengir di depan Atika.
“Mmm cuma itu? Kurang,
bayar dulu,”
“Sini aku bayar,
berapa?”
“Mmm, 500 juta,”
“Hah!” aku kaget
memandanganya “yakin tidak kurang?”
“Nanti kalau kurang aku
minta lagi,”
Aku mengingatnya, itu
kejadian beberapa tahun lalu. Ketika kami masih duduk di bangku kuliah. Kami
bukan teman satu kelas tapi beberapa mata kuliah kita ada di satu kelas yang
sama. Tiba-tiba kami dekat hanya karena sebuah catatannya saja, seperti kisah
di film-film yang hanya berbekal catatan bisa jatuh cinta. Bukan cinta diantara
kami, ada persahabatan erat yang timbul setelahnya.
“Astaghfirullah,”
“Ada apa, Pak?”
“Berkas buat Rakor hari
ini ketinggalan di mobil,”
Hanya karena ingatanku
melayang pada sosok Atika, sahabatku yang dulu menghilang dan sosoknya
digantikan Suha.
“Mas, aku bantu buat
tugas MKU yang Bab III, dikumpulin besok dan ini gak ada contohnya,”
“Mmm, bayar dulu,”
“Berapa? 500 juta?
Impas deh, kemarin kamu juga belum bayar 500 juta,”
“Hmm 500 juta terus, 1
M butuhnya buat bangun rumah,”
“Utang dulu yang 500
juta,” Atika nyengir kuda.
“Dasar matre,”
“Kamu yang matre,”
“Bukan matre tapi
realistis,” aku balas nyengir di depannya.
“Ayah... yang ini
bagaimana? Ayaaaaahhh,”
“Hemmm, maaf, kenapa?”
“Ayah melamun apa?”
“Bukan apa-apa?”
“Gedha mau bunda,”
“Cari bunda susah,
mahal, Ghaida sabar saja,”
“Berapa harga Bunda?
Celengan Gheda sudah banyak,”
“Mmmm, berapa ya? Ayah
kurang tahu, 500 juta mungkin,”
“500 juta itu seberapa,
Yah?”
“Banyaaaaaaaaaaakkk,
sudahlah ayo belajar lagi,”
“Nanti Gheda mau cari
Bunda, Gheda mau cari 500 juta,”
“Sudah ayo belajar
lagi,”
Aku tersenyum kecil
memandang anak perempuanku satu-satunya peninggalan terindah dari Suha. Aku
ingin ada perempuan pengganti Suha untuk Ghaida yang terbaik dari Allah.
Ibu,
jika aku boleh memilih
Aku
akan memilihnya sejak detik dimana aku jatuh cinta padanya
Sejak
aku tak bisa lagi menatap mata yang lain selain matanya
Ya
Rabb, jika aku boleh memilih
Aku
akan mengatakan apa isi hatiku ketika dia berbinar di depanku
Berkisah
tentang seseorang yang dia kagumi dan cintai
Dan
itu bukan aku
Ibu,
ketika kali ini aku bisa menatapnya dan memilikinya utuh
Biarkan
kali ini aku memilih
Bahwa
pemilik mata bidadari itu adalah kekasih hatiku kini dan nanti
Ya
Rabb, maka biarlah aku memilihnya kali ini karena Kau pula yang telah memilih
“Siapa dia?” Ibuku
tiba-tiba saja masuk ke kamarku dan berdiri di depan meja kerjaku.
“Siapa maksud Ibu?”
“Dia, yang telah kamu
pilih di hatimu, Nak.”
Mataku menatap Ibu
tajam, perasaannya tak bisa dibohongi, anaknya kali ini jatuh cinta lagi dan
dia tahu itu. Bagaimanapun aku menyembunyikannya, rasa ini tak lagi bisa
terelakkan untuk muncul ke permukaan.
“Ini hanya sajak yang
iseng aku buat, Bu.”
“Jika Ibumu tidak
salah, sajak cinta kamu tulis ketika hatimu sedang berbunga saja. Ibu ini sudah
hidup denganmu 27 tahun, Ibu tahu apa yang ada dalam fikirmu dan hatimu,”
“Ibu,”
“Siapa dia? Apa dia
pantas untuk Ghaida?”
“Dia Atika, Hilmi tidak
tahu apa ini suka atau hanya rasa sesaat ketika Hilmi menemukannya kembali,”
aku tahu Ibu tak pernah lupa sosok Atika sahabatku ketika kuliah dulu.
“Bukan hanya kamu yang
butuh Atika tapi Ghaida juga, dia yang lebih butuh Ghaida, apa dia benar-benar
pantas untuk ada di hatimu dan juga hati Ghaida?”
“Insya Allah, kalau
Allah lancarkan jalan ini,”
“Ibu tahu betapa indah
dia di hatimu sejak dulu, sajak-sajakmu mewakili,”
“Atika yang memberiku
ribuan kata indah untuk aku rangkai, tapi terkadang ketika aku ada di
hadapannya aku akan diam, Bu.”
“Pilihlah dia karena
hatimu, karena Allah,”
“Amin, Insya Allah.”
***
“Jadi, Ibu cantik mau
jadi Bunda Gheda?”
“Mmmm, Ibu cantik mau
jadi sahabat Ghaida,”
“Gheda nanti boleh
panggil Ibu cantik Bunda?” mata bulat putriku berbinar indah, serasa ada
bintang disana. Aku tertegun menatap putri kecilku yang semakin beranjak besar.
“Jadi Ibu cantik ini
Bunda 500 juta?” aku terkejut mendengar kalimat Ghaida baru saja.
“Bunda 500 juta?”
“Iya, kata Ayah, Bunda
itu susah carinya, dia mahal, mungkin 500 juta.”
“Maaf aku hanya
bercanda itu,” aku langsung maju menepis anggapan miring dari perkataan Ghaida.
Atika menatapku dan
tersenyum, senyum yang sama seperti dulu, yang mampu meluluhkan hatiku.
“Jadi kita impas, aku
bayar 500 juta untuk seumur hidup bisa di sampingmu,”
“Kamu,” aku hanya
tersipu saja.
“Ini realistis bukan
materialistis,” Atika dengan lembut menggodaku.
“Kamu bayar 500 juta
juga memberimu titipan terindah seorang Ghaida,”
“Heeemmm, aku bayar
seumur hidup dengan cinta dan senyumku,”
Acara lamaran sore itu
begitu syahdu, kami seperti mengenang masa kuliah dulu. Dia tak pernah
menyinggung statusku dan sosok Ghaida. Dia adalah Atika Hayati dan kini dia
menyandang nama belakangku yaitu Atika Khair, dia adalah penulis hebat, sosok
guru bagi anak-anak kami, Ibu, sahabat dan dokter, dia juga istri, teman,
sahabatku dan dia adalah koki yang paling hebat, penjahit paling modis dan
penata busana paling cerewet, dia adalah ratu di hati kami. Bunda 500 juta,
yang demi dia aku rela harus berpisah lebih dulu dengannya, bersamanya aku
menjadi suami terbaik, Ayah terbaik dan sahabat terbaik.
Pati-Bjn, 2 febr 2012
0 comments:
Posting Komentar