Selasa, 22 September 2015

>> Perempuan Hujan



Siapa dia, gadis dengan payung biru yang berjalan itu, Ya Rabb dia menangis, tak seorangpun mendengar isaknya dalam hujan. Tapi aku tahu dia sedang menangis, dia mengusap pipinya beberapa kali, aku yakin bukan air hujan yang membasahi pipinya. Gerakan nafasnya sesenggukan itulah kenapa aku yakin dia menangis.
            Aku menatap gadis berpayung biru yang berjalan menyusuri trotoar di seberang jalan rumahku sampai dia menghilang. Hujan sore ini cukup deras, sudah beberapa lama sejak aku di rumah hujan tak pernah membasahi kota kecil ini kecuali dua hari ini.
Sore ini sangat gelap, langit tak menunjukkan rasa bersahabat dengan para pekerja. Aku lihat banyak yang memakai mantel atau bahkan mereka rela berbasah-basah ria tanpa pelindung apapun. Aku menutup tirai jendela kamarku. Aku gontai melangkah keluar kamar.
“Kamu ini kenapa? Putus cinta seperti kehilangan istri,” Ibu mulai gusar dengan kelakuanku beberapa hari ini di rumah.
“Apa kehilangan istri tidak jauh lebih sakit, Bu?”
“Apa kamu pernah merasakannya?”
“Tidak, jangan sampai. Sakitnya menusuk hingga ke tulang belakang, Bu.”
“Ya sudah, pasrahkan kepada sang Pencipta. Malu dengan tetangga, mosok anak lelaki Ibu stress goro-goro wong wedok gak jelas, wis golek liyane sing luwih apik,”1
“Doakan Hanif, Bu.” Aku pasang wajah memelas di depan Ibu.
“Ibu dan Bapak selalu mendoakan kamu dan kakakmu, punya anak dua lelaki semua kok tidak ada yang beres masalah cintanya.” Ibu geleng-geleng kepala lalu beranjak ke dapur.
Selesai makan malam, aku hanya termangu saja di kamar. Mataku terpejam beberapa saat saja hingga akhirnya aku terbangun karena merasa sakit di hati, hati ini seperti teriris. Airmata ini rasanya mengalir sendiri tanpa aku minta.
Selesai mengambil wudhu dan tahajjud, aku kembali duduk, satu juzz selesai tak membuat mataku kembali mengantuk. Hingga pagi menjelang mataku tak terpejam.

1    masa anak lelaki Ibu stress gara-gara anak perempuan tidak jelas, sudah cari yang lainnya yang lebih baik.
Aku duduk di bingkai jendela, melihat lalu lalang anak sekolah dan para pekerja kantoran. Ayah juga mulai bersiap berangkat kantor, dia tentara, dia yang mengajarkan kami kuat, tapi kakakku yang Angkatan Laut walau dia kuat dia tetap menangis ketika kekasihnya pergi dengan lelaki lain. Dia kini dinas di Surabaya.
“Sarapan dulu Hanif,”
“Iya, Bu.”
“Ibu berangkat dengan Bapak, jaga rumah, Bi Nur nanti ke rumah jam 8.”
“Iya,”
Aku melihat Ibu dan Bapak pergi bersama, Ibu seorang guru SMA. Dia sangat bangga dengan pekerjaannya, tapi aku tahu cita-cita Ibu adalah menjadi pramugari. Dia punya keinginan keliling dunia. Tapi karena menikah dengan Bapak yang tentara dia jadi berubah arah. Tapi dia tetap bisa keliling Indonesia mengikuti jejak Bapak yang seorang tentara.
Sebelum aku beranjak dari jendela kamarku, aku melihat gadis itu, dia berjalan ringan. Seragam kerja warna krem membuatnya ceria tak seperti sore kemarin. Mataku menangkap sesuatu yang tak mengenakkan, kakiku cepat melangkah keluar rumah.
“Kamu... kamu tidak apa-apa?”
Gadis itu diam sesaat lalu tertawa ringan menutup mulutnya. Entah apa yang dia tertawakan tapi aku baru tahu ketika dia memandang dari ujung rambutku hingga kakiku.
“Astaghfirullah...,” aku tak bisa menyembunyikan rasa maluku tapi akhirnya aku tersenyum getir. “Tadi buru-buru dari kamar,” aku senyum memaksakan diri.
“Yang luka Ibu itu,” matanya menunjuk ke arah salah seorang korban srempetan motor. “Aku tidak apa-apa.”
“Syukurlah, aku tidak mau kamu kenapa-kenapa.”
Tawa gadis berambut hitam panjang itu hilang, dia langsung diam dan menatapku. Baru aku sadar matanya bening, warnanya coklat, bulu matanya lentik tanpa maskara, pipinya kemerahan karena perona pipi. Dia menawan sama ketika dia mencuri pandanganku hari-hari sebelumnya walau kulihat dari kejauhan.
Gadis itu lalu pergi, tak dia hiraukan sekelilingnya bahkan aku yang di depannya. Dia  juga tak menunggu penjelasan piyamaku dan sandal tazmania berbulu yang aku pakai. Di hari itu dia juga tak memberiku kesempatan untuk tahu namanya.
--¥--
            “Jadi kamu patah hati ceritanya?”
“Dicampakkan lebih tepatnya, heh sudahlah,”
“Kamu mau apa kesini?”
“Main saja lihat kamu, minggu depan aku sudah tidak disini, sudah lama bolos kuliah,”
“Baguslah, tidak ada yang meneror aku lagi,”
“Yakin tidak kangen?”
“Tidak, InsyaAllah.” Gadis itu Hanin namanya, artinya yang penuh kasih sayang kalau tidak salah. Aku mengenalnya ketika aku sudah tidak tahan hanya melihatnya dari jendela kamar, akhirnya aku membuntutinya hingga kantor. Akhirnya aku bisa berteman dengannya.
“Apa aku salah jika masih 20 tahun? Apa cinta butuh umur untuk menakar dalamnya dan tulusnya cinta itu sendiri?”
“Dana, ini kantor jangan main-main disini!” dia menatap garang tapi tetap lembut. Profesinya sebagai seorang Customer Service yang membuatnya memanggilku Dana. Dia tidak tahu kalau panggilanku Hanif, dia baru tahu ketika dia main ke rumah. Tapi dia tetap memanggilku Dana dari Pradana Al Hanif Shafiq. Dan baru dia gadis yang baru aku kenal dan langsung aku ajak ke rumah. Ibu langsung suka, mungkin karena sama-sama dari Jawa Tengah yang merantau ke kota kecil di sudut Jawa Timur. Kota yang kata artikel di sebuah situs adalah kota paling panas di bumi, kota penghasil minyak.
“Aku tahu kamu baru putus, mungkin ini hanya keisenganmu saja, kamu butuh seseorang yang memperhatikan kamu,”
“Apa karena 20 dan 23?”
“Tidak, bukan masalah umur, aku tahu kamu jauh lebih dewasa daripada aku,”
“Lalu?”
“Ada banyak nasabah, lain waktu kita lanjutkan.”
Aku menyingkir dari mejanya, sudah banyak yang antri di belakangku dan dia sudah mengusirku dengan halus. Aku menurut saja pada Hanin.
“Disini sepi, ya? Malam minggu saja ada jamnya, jam sembilan sudah bubar, kalau di Jogja sampai pagi tidak akan sepi.”
“Di Malang juga, ow ya aku bawa ini,” aku mengeluarkan buku sketch dari tasku.
“Buat apa? Mau gambar alun-alun Bojonegoro?”
“Mau gambar kamu dan malam Bojonegoro lalu aku bawa ke Malang,”
“Kamu sama seperti dia,” Hanin mulai bercerita tentang kekasih hatinya yang pergi beberapa waktu lalu. Aku tercekat sesaat lalu aku berusaha tidak peduli pada ‘dia’ si kekasih hati Hanin.
“Kamu masih mengharapnya?” aku iseng bertanya.
“Tidak lagi, ketika Ayah dan Ibu tak pernah memberinya senyum,” Hanin menunduk, aku menatapnya dari samping dan tetap memainkan tanganku melukisnya. “Saat bersama dia terkadang aku bahagia dan terkadang dia membuat aku menangis. Dia seperti malaikat yang lupa bawa sayapnya,”
Aku berhenti melukis Hanin tepat ketika dia bilang kalau lelaki itu adalah malaikat yang lupa bawa sayapnya, tepat detik itu pula mata pensilku patah. Seperti ada yang menusuk di dada tembus hingga belakang, sakitnya seperti saat aku ditinggalkan Sarah dan ini jauh lebih sakit.
“Sebaik itukah dia?” aku ragu bertanya padanya.
“Apa tidak terlihat dari caraku kehilangan dia?”
Aku diam ketika dia melihatku dan ada telaga bening di matanya, hampir tumpah lalu dia menunduk.
“Kamu tahu sejak melihat senyummu tempo hari saat kita bertemu pertama kali, jantungku berdegub kencang, ada desiran aneh mengalir hangat di hati dan dadaku. Aku yakin kamu yang aku cari. Sejak mengenalmu aku mulai suka kata seandainya, seandainya aku lebih dulu mengenalnya bukan lelaki itu, seandainya aku tak terjebak cinta dangkal dengan Sarah. Seandainya aku 23 tahun sama denganmu atau 25 tahun, lebih tua dari kamu, seandainya aku bisa buat kamu tahu kenapa aku menyukaimu, seandainya kamu tahu kalau aku ingin memilikimu. Aku juga mulai menyukai hujan karena ketika itu kamu akan berteriak ‘hujan... aku suka itu, wanginya enak’. Aku yang mulai terjebak dalam situasi cinta rumit,” aku menunduk tetap melukis setelah aku ambil pensil cadangan, sesekali aku melihat reaksi Hanin.
“Maaf,” air di matanya tak lagi bisa dibendung, mengalir deras menatapku. Aku tidak tega.
“Yaahh, hujaaaannn, aduuuh, kenapa setiap kali kamu menangis pasti turun hujan, jangan-jangan kamu ya malaikat cantik yang sayapnya ketinggalan di surga?”
“Kamu, masih saja bercanda,”
Aku memasukkan buku dan pensil lukis, untung tasnya kulit jadi kena air juga tidak akan basah. Alun-alun Bojonegoro mulai sepi semua tunggang langgang menyelamatkan dagangan dan tubuh mereka.
“Kita hujan-hujanan saja, lama kan tidak main hujan?” aku menawarkan hal yang mungkin dia tidak terima.
“Pulang? Oke siapa takut.” Ya siapa sangka dia terima tawaran hujan-hujanan.                               
Aku memacu motorku pelan, di beberapa tempat sudah terjadi genangan. Kota kecil ini memang sering banjir ringan gara-gara sistem gorong-gorong yang buruk.
Oalah Le, le, koyo cah cilik ae, nek masuk angin nembe ngerti rasane. Mau balik Malang kok gawe perkara, yo wis mandi sana!”2
Aku hanya tersenyum saja, Ibu selalu cerewet dengan logat semi Jawa Tengah dan Jawa Timur, tapi jarang Ibu memakai bahasa Jawa Timurnya, lebih pantas memakai Bahasa Indonesia. Jadi aku dan mas Hilmi lebih sering memakai Bahasa Indonesia.
“Aku ke Malang sore ya, Bu.”
“Mau ketemu Hanin?”
“Iyaaahh kan sampai minggu depan tidak lihat dia,”
“Terserah kamu saja, Le. Tadi kamu bawa dia hujan-hujanan juga?”
“Iyalah, Bu.” Aku nyengir memamerkan deretan gigi putihku.
“Kamu kalau dia sakit bagaimana? Dia kan harus kerja, anak orang kamu aniaya.”
“Hemm daripada buat anak orang menanggung sakit sembilan bulan?”
“Husshhh, awas kalau kamu berani, Ibu dan Bapak tidak akan memaafkan kamu,”
“Naudzubillah, Bu. Hanif tahu tindakan yang benar dan salah.”
Yo wis 3, ini teh panasnya dihabiskan terus tidur, besok siap-siap ke Malang.”
--¥--
“Kangen dengan Hanif?”
2       Oalah Nak, nak, sperti anak kecil saja kalau masuk angin baru tau rasa, mau kembali ke Malang kok buat masalah, ya sudah sana mandi
3       Ya sudah
“Tidak, hanya lewat dan mampir saja,”
“Masuklah ke kamarnya, kamu akan tahu seperti apa adikku itu menyukaimu.”
“Apa? Boleh aku masuk?”
“Iya tidak apa, Nin.” Ibu lembut bertutur, Mas Hilmi masih terus menghidupkan telfonnya hingga aku bisa mendengar semua. Aku tidak tahu apa yang Hanin lakukan di kamarku. Ahh Mas Hilmi benar-benar iseng.
“Hanin, ada yang mau bicara,”
“Apa? Siapa?” kudengar nada bicaranya penuh tanya heran. “Hallo...,”
“Hai, apa yang kamu lakukan di kamarku?”
“Dana? Mas Hilmi telfon kamu?”
“Bukan, aku yang telfon Mas Hilmi,”
“Kapan pulang Bojonegoro?”
“Nah sudah mulai kangen, ya?”
“Tidak, jangan-jangan kamu tidak pulang karena terpikat Sarah lagi, ya?”
“Hemm cemburu? Aku sudah bawa kembangnya Bojonegoro ke Malang mana mungkin bisa pindah ke lain hati,”
“Hemm bukan kembang Bojonegoro, aku asli Jogja, loh.”
“Tapi kan sekarang dinas di Bojonegoro,”
“Aku lihat lukisan kamu di kamar, jadi kamu penguntit, ya? Sejak kapan?”
“Sejak aku pulang Bojonegoro saat patah hati,”
“Hemm kamar kamu juga bau cemara, ya aku tahu sih itu seperti aroma kopi campur apa gitu, kamu sendiri suka kopi, kan?”
“Kamu tahu saja, minggu depan aku pulang, tugas kuliah bisa aku bawa pulang karena personal bukan kelompok, tapi setelah itu aku akan sibuk persiapan lomba Robot tingkat nasional.”
“Owh... ya terserah kamu,”
“Aku mau ngomong sama Mas Hilmi,”
“Ada apa?”
“Hemm jangan macam-macam dengan Hanin, awas ya!”
“Kalau kamu tidak pulang, aku macem-macemin dia,”
“Husshhh, pengen peluk dia, Mas.”
“Aku wakilkan,”
“Husshhh, Mas Hilmi jangan macam-macam.”
“Kamu juga, belum muhrim jangan macam-macam, Sarah sudah cukup jadi korbanmu terakhir.”
“Huuuuuu, korban apa? Aku yang jadi korban,”
“Sudah, aku mau ngobrol dengan Hanin, tutup telfonnya.”
Ada rasa sakit menjalar di hati, ketika tahu Mas Hilmi bisa dekat dengan Hanin sementara aku jauh dari pandangannya.
--¥--
“Hai,” aku menelfon memakai telfon rumah.
“Dana, kamu di rumah?” di seberang kaget mendengar suaraku.
“Iyaaaa, tidak main ke rumah? Besok liburan, yuk!”
“Kemana?”
“Kemana, ya? Pantai?  Ke Tuban dengan Bapak Ibu.”
“Hemm tidak repot mengajak aku?”
“Tidak, besok pagi jam 6 aku jemput,”
Aku siapkan kamera dan buku sketch, beberapa pensil juga aku bawa. Ibu bingung dan repot menyiapkan makanan dan baju untuk Bapak. Ibu senang ketika aku punya ide mengajak Hanin, aku tahu Ibu mungkin rindu punya anak perempuan, jadi siapapun perempuan yang diajak Mas Hilmi dan aku, Ibu pasti menerima dengan tangan terbuka.
“Aku di depan kos kamu,”
“Iya, aku ke depan,”
Aku tutup telfon dan menunggunya, aku berdiri di depan gerbang kosnya yang tinggi menjulang, tidak jauh dari rumahku dan dari kantornya.
“Mau di depan atau di belakang dengan Ibu?” Bapak bertanya menggoda.
“Belakang saja, Om. Mau cerita-cerita dengan Ibu,”
Aku mulai memutar mobil dan berangkat ke Tuban, rencananya ke pantai Sowan lalu ke rumah teman Bapak di sekitar Tuban baru keliling ke kotanya.
Mobil melaju tenang, CRV-Honda warna hitam klasik yang dibeli Bapak dengan perjuangan membawa kami keluar kota Bojonegoro, melewati RS Asiyah dan menuju perbatasan Bojonegoro-Tuban. Jalan yang memang tidak terlalu bagus membuat kami lebih asyik bicara banyak hal, ngalor-ngidul kalau Bahasa Jawanya.
“Kamu ini panggil Ibunya Hanif Ibu, kok panggil Bapaknya bukan Bapak malah Om? Panggil Hanif juga Dana, kamu ini?”
“Kalau panggil Bapak nanti jadi ingat Ayah di rumah, kalau panggilan Dana biar lain saja,”
“Kapan kamu pulang Jogja?”
“Hemm kurang tahu, Om. Mungkin nanti kalau ada libur panjangnya,”
“Kapan kamu libur panjang? Kamu daftar PNS saja, lebih teratur jadwalnya. Hanif juga mau masuk PNS nanti, iya kan?”
“Bapak, Hanif mau jadi arsitek saja,”
“Arsitek, buat kandang ayam saja roboh, buat robot juga tidak pernah menang, karya kamu yang paling bagus ya cuma lukisan Hanin itupun karena objeknya bagus.”
Aku memanyunkan mulut dan melihat Hanin dan Ibu tertawa di kursi belakang lewat kaca spion.
Kurang lebih satu setengah jam kami semua sampai di pantai Sowan, pantai dipinggiran kota Tuban. Pantai ini jarang pengunjung karena tempatnya yang jauh dan kurang ada pemberdayaan dari pemerintah atau dinas pariwisata setempat, tapi tempat ini bersih.
Bapak jadi suka foto, beliau jadi fotografer dadakan dan siapa lagi korbannya kalau bukan Ibu dan Hanin. Aku melukis dengan senjata utamaku pensil, senang melihat keakraban Bapak dan Ibu. Hal seperti ini tidak aku temukan dengan Sarah. Dia makhluk kota yang akrab dengan Mall, dia adalah pecinta mode, walaupun dia berjilbab tapi mode manapun dia akan ikuti.
“Heh Hanif, sini foto bersama.”
“Iyaaaa,” aku menyingkirkan buku dan pensil di tikar dekat mobil, tripod dimanfaatkan, kami berempat pasang gaya di depan bibir pantai. Lalu aku dan Hanin seperti melakukan sesi pemotretan untuk prewedding, kami kompak pasang gaya di depan Bapak.
Kami ke rumah teman Bapak sekitar daerah Bulu lalu kami jalan-jalan ke Klenteng Kwan Sin Bio di pantura tepi laut Tuban. Sudah beberapa kali ke klenteng ini tapi kali ini bedanya karena ada Hanin. Lalu kami ke masjid Agung di alun-alun, disana kami ziarah dan sholat di masjid.
“Sssttt.. sini, berdiri disini lalu berdoa,”
“Kenapa?”
“Sudah,” aku angkat tangan dan memejamkan mata. Sesekali aku lirik Hanin. Di depan Masjid Agung aku berdoa semoga diberikan jodoh terbaik, sebaik Hanin.
“Doa apa?”
“Ada,”
“Aku amini deh,”
“Aku juga amini doamu,”
Aku senyum lalu kami jalan-jalan sekitar alun-alun, dia membeli beberapa aksesoris yang berjejer cantik yang ditawarkan para penjual di dekat Masjid.
Wajahnya tidak pernah memancarkan rasa lelah, matanya tetap bersinar dan senyumnya tetap tulus. Aku tahu sekarang bagaimana rasanya penasaran, dulu ada seorang kawan yang bilang ‘cinta sejati itu akan membuat tinggal lebih lama di hatimu itu karena kamu merasa penasaran terhadapnya hingga ujung perjalananmu berakhir’. Aku tidak mau bilang dia adalah cinta sejati, kami baru mengenal, perasaan kami masih tumbuh seiring waktu, ada luka yang menganga dan ada rasa senasib.
“Bapak dan Ibu kemana, ya? Mereka asik pacaran,”
“Husshh mereka orangtua kamu, tidak apalah mereka kan jarang pergi berdua,”
“Hemm tiap pagi mereka pergi berdua ke kantor. Mereka juga suka jalan berdua kalau pulang ke Jogja.” Aku bercerita kisah romantis orangtuaku.
“Ayo makan es dawet,”
Hanin sudah duduk anteng di depan tukang dawet, matanya masih menyala terang melihat aksi tukang becak atau tukang parkir di depan masjid yang kualahan mengatur pelancong dan tukang becak, mereka juga harus bergerilya diantara banyaknya sepeda motor yang lalu lalang.
“Di kamar kamu aku lihat buku Habibie dan Ainun, kamu baca itu juga?”
“Iya, kamu tahu buku itu? Pernah baca?”
“Iya, dan sampai di akhir halaman aku suka menangis, baca beberapa kali tetap saja menangis, menemukan kekasih hati, tulang rusuk yang pas, belahan jiwa, itu sangat sulit,”
“Pak Habibie selalu bilang senyuman yang memukau hati dan pandangan mata yang selalu saya rindukan,” aku melihat Hanin masih tetap tenang.
“Atau Pak Habibie berjanji ‘untuk tetap berada dalam satu atap’,”
“Lalu maukah kamu tetap berada dalam satu atap denganku dengan cinta yang menjadikan kita manunggal?” Hanin dengan cepat menatap wajahku, matanya tajam menatap mencari pembenaran kalimatku.
Hanin diam lalu menunduk dalam, dia terlihat sesenggukan. Aku diam sesaat.
“Jangan menangis nanti hujan turun, kasihan Bapak dan Ibu yang sedang menikmati malam berdua,”
Hanin menahan sedikit senyum di wajahnya “Apa arti 20 dan 23 tidak penting?” dia memamerkan muka seriusnya sejurus kemudian.
“Kamu lebih muda dari Mas Hilmi jadi tidak masalah, Bapak dan Ibu juga tak pernah mempermasalahkannya, aku yakin dengan ini, setelah lulus aku janji cari pekerjaan, janji jadi arsitek hebat seperti keinginan kamu, janji buat rumah sederhana dengan banyak bunga di halaman, aku janji eemmm,” aku mungkin terlihat bodoh di depannya, gaya bicaraku berapi-api walau aku sendiri tidak yakin apa yang baru saja aku ucapkan.
“Apa? Kamu janji terlalu banyak, apa bisa kamu tepati semua?”
“Kalau begitu yang utama aku janji jadi imam di depanmu dalam agama, tapi berjalan beriringan mengarungi hidup. Aku yang akan menggenggam tanganmu ketika kamu menangis dalam hujan, hai perempuan hujan aku ingin bersamamu,”
Kulihat Hanin mulai tersenyum, dia mendorong bahuku dan mengusap airmatanya.
“Hai Mr. Rainbow, kalau aku perempuan hujan maka kamu adalah Rainbow, pelangi yang datang bawa warna warni ceria setelah hujan turun,”
“Ahh, apa aku semenarik itu?” aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Haha,” Hanin tertawa keras, dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, kakinya menggantung dan berayun. Dia indah di hati, perempuan hujan, dan persamaan kami adalah kami punya logat ‘wayang’ 4 yang lucu bagi kebanyakan orang di Jawa Timur karena kami dari Jogja. Ups mungkin ini adalah satu tanda kami mulai jadi manunggal seperti Habibie Ainun.

4    Logat wayang adalah cara bicara dengan Bahasa Indonesia campur Bahasa Jawa yang khas alias medok. (istilah dari teman-teman penulis)

23 April 2012

 Senang... finally selesai juga Perempuan Hujan, hari senin deadline sih tapi mundur karena gak ada kata yang pas buat endingnya.
Kali ini juga penulis pertama kali sebut nama kota dan tempat asli hehe...
Gak sedang jatuh cinta sih but same feeling i have before, i like him still but i start to dislike him hehe... so kalo cintanya gak “pas kena hatimu” maklum aja deehhh hehe but i’m still trying... for showing in love ^_^
Eh ya tokoh utamanya cowok loh, Pradana, sifatnya 11-12 ma penulis suka baca buku berat, gak suka kata seandainya tapi begitu ketemu ‘malaikat yang lupa bawa sayapnya’ jadi mulai suka kata seandainya. Lagi patah hati sama kayak Dana, bedanya Dana bisa nge-yakinin hatinya buat diisi sama orang lain dan “me” was here nunggu ada yang ngeyakinin hati buat “He’s that me, yang kehilangan tulang rusuknya, yang Allah ciptain buat kamu sejak 40 hari kamu dalam kandungan Ibu” haha ngarep apa doa yeaakk? Hyuuh Rabb jodohin dia buat aku nangis gulung-gulung but Allah lebih tahu apa yang Dek Nda butuhin ^_^ senyum semangat dengan mata berkaca-kaca...
Ups perlu diingat ini kisah fiksi bukan based on true story... selamat menikmati daripada aku kepanjangan, hihi... muga gak bosen ^_^...

0 comments:

Posting Komentar