Selasa, 22 September 2015

>> Bunda 500 Juta



“Bunda 500 Juta”
            “Sudah tidur, nak?”
Aku mencoba menutup kepalaku dengan selimut dan memejamkan mata, tapi dia tetaplah ibu yang punya rasa segalanya atas anaknya.
Kurasakan belai lembut tangan rentanya berada di kepalaku. Aku berusaha menahan tangisku, “aku ini lelaki tegar” pekikku dalam hati.
Belai lembut tangan Ibu mulai pasrah kehilangan nyali untuk meneruskannya. Dia tetap seorang Ibu yang tahu betapa hancur hati anaknya atas apa yang menimpanya. Sekalipun aku sebagai anak tak mengungkapkan tapi dia adalah Ibu yang melahirkanku.
Aku bangun, menyerah, aku duduk menghadap Ibuku yang terpaku di tepi tempat tidur busaku. Aku diam hampa, sedangkan tangis Ibu mulai luluh.
“Menangislah, nak, jika itu bisa mengurangi bebanmu,”
“Bu, aku sudah kehilangan dia,”
“Kuatkan dirimu untuk Ghaida, dia masih butuh kamu, kamu tidak ingin menjadikannya sebatang kara di dunia bukan?”
“Ghaida butuh Suha, Bu. Apa Allah tidak tahu itu?”
“Allah lebih tahu dari kamu, nak. Dia Maha Tahu atas segalanya.”
“Astaghfirullah,” aku mengusap airmataku yang masih deras mengalir, kupeluk Ibu yang selama ini merawatku. Diam-diam aku bertakbir dalam hati dan bertahmid, teringat penggalan doa dari Sayyidina Ali:
Ketika aku meminta kekuatan
Allah memberi kesulitan
Allah tidak pernah memberi apa yang aku minta
Tapi selalu mencukupi apa yang aku butuhkan
Airmataku mengering dan kelak akan terobati luka ini oleh waktu. Aku memeluk Ibu dengan penuh hikmat.
***
“Ayah... kapan aku punya Bunda?”
“Kenapa tanya seperti itu sayang?” aku melipat mukena kecil putri tunggalku.
“Semua teman-teman di sekolah punya Ibu, Mama, Bunda, Gheda sendiri yang tidak punya,” wajah polosnya meminta penjelasan, bocah kecil itu menyebut namanya sendiri dengan Gheda, dia masih sedikit cadel.
Lancar sekali putri kecil ini bicara meminta apa yang dia inginkan. Bukan mainan boneka mahal atau baju bagus yang dia minta, tapi ini jauh lebih sulit, dia yang hanya seorang anak tanpa cela meminta seorang Ibu buatnya. “Ya Rabb aku cari kemana? Andai aku bisa membelinya di toko sebelah rumah,” aku memeluknya dan menggendongnya, kukecup kening Ghaida lalu aku katakan “Nanti Ayah carikan, Bunda itu mahal, jadi Ayah harus nabung dulu, Gheda tidak mau punya Bunda yang jelek, kan?” putri kecilku hanya menggeleng memandangku serius. “Nah tapi Gheda juga janji bantu Ayah minta ke Allah buat kasih Gheda Bunda yang sayang Gheda,” lanjutku sambil menurunkannya dari dekapanku.
“Janji, Ya Allah... Gheda dan Ayah mau Bunda yang cantik dan baik, Gheda janji tidak nakal lagi kalau Allah kasih Gheda Bunda cantik.”
Aku tersenyum getir, usianya kini 3,5 tahun dan dia mulai tahu dan bertanya kenapa hanya dia seorang yang tiap pagi hanya nenek atau kakeknya yang mengantar ke sekolah.
“Nenek... aku mau Bunda cantik, kata Ayah dia harus nabung dulu soalnya Bunda itu mahal. Gheda juga mau nabung mulai besok, Gheda mau Bunda yang baik. Nenek bantu Ayah juga,” Ghaida berlari menuju pelukan sang nenek.
Ibu hanya mengernyitkan dahinya dan memandangku penuh amarah, aku hanya tersenyum singkat tanda maaf membohongi anak kecil seperti Ghaida.
“Kalau begitu nenek juga mau ikut menabung, nanti kalau Gheda dapat Bunda yang cantik dan baik nenek juga ikut senang,”
“Kakek juga mau carikan Bunda buat Gheda,”
“Mau cari dimana, Kek?”
“Hmm...,” sang kakek bingung menjawab pertanyaan cucunya, dia hanya memandang istrinya yaitu Ibuku dan aku, anak yang tak berguna yang sulit mencari Ibu bagi Ghaida putriku.
“Kakek mau cari di toko sebelah, nak.” Ayahku berucap santai.
“Hush, jangan ngomong sembarangan,”
“Memangnya di toko sebelah ada?” Ghaida polos bertanya memandang sang kakek.
“Ayah bohong, kalau mau cari Bunda yang baik minta sama Allah,” Ibu menjelaskan pada cucu kesayangannya dan cucu satu-satunya. Aku hanya memandang takjub, Ibu selama ini adalah pengganti Suha, dia adalah sosok Ibu dan nenek bagi Ghaida.
Ghaida bermain riang dengan neneknya, Ayah memandangku menggiringku untuk duduk di dekatnya.
“Anakmu sudah semakin besar, dia tahu apa yang ada dalam fikirannya, yang tidak dia tahu dia tanyakan, berhati-hatilah bicara, jangan memberikan pemahaman yang salah,”
“Iya, aku hanya mencari kata-kata yang mudah saja,”
“Cari yang mendidik dan gampang Ghaida cerna,”
“Aku tidak ingin ada yang menggantikan Suha di hatinya,”
“Suha sudah lama tidak bersamanya, sejak Ghaida lahir, dan dia tak pernah tau belaian lembut Suha dan senyum manis Suha, Suha sudah tergantikan seiring waktu,”
“Ayah kenapa bicara seperti itu?”
“Kamu harus sadar, Suha ada dan hidup di hati kamu karena kalian punya kenangan bersama, tapi lihat Ghaida, dia tak pernah punya kenangan bersama Ibunya. Ghaida hanya tahu kalau Suha adalah Ibu yang sudah melahirkannya dan Suha juga sudah pergi meninggalkannya. Kamu harus sadar itu, nak.”
“Iya, belum ada yang sesuai untuk jadi Ibu Ghaida,”
“Kamu harus cari yang benar bukan asal-asalan mencari yang terbaik buat kamu tapi buat Ghaida tidak,”
“Iya, Ayah tenang saja, kalau jodoh pasti nanti ketemu.”
 ***
“Ayaaaaaaaaaah...,”
“Hups, ada apa ini? Ayah pulang kok langsung teriak, Ghaida punya kabar apa?” aku memeluk gadis kecilku dalam gendongan.
“Gheda dapat kue bownis,” wajah cantiknya semakin menarik ketika matanya mulai berkedip-kedip genit.
“Hmm, dari siapa?”
“Dari Ibu cantik, dia guru Gheda di sekolah.”
“Sudah bilang terimakasih belum?”
“Sudaaaah, Gheda sudah bilang syuklon,” kalau bicaranya cepat huruf r berubah menjadi l dan itu membuatnya semakin lucu.
“Bagus, anak Ayah pintar.”
“Gheda mau punya Bunda cantik dan bisa masak kue buat Gheda,”
“Hmm, cari dimana? Ayah bingung mau cari dimana, Ghaida banyak syarat, sih.”
“Mmmm, kalau begitu Gheda mau Bunda yang pintar masak, sayang sama Gheda juga sayang sama Ayah, juga nenek dan kakek,”
“Mmuuuaach, pintar anak Ayah ini, hari ini belajar apa di sekolah? Sudah hafal surat apa saja?” Gheda duduk di lantai di depan meja kecilnya dan aku memandang semua yang ada di mejanya.
“Hari ini Gheda belajar buat origami dengan Ibu cantik, dia sekarang sering ke kelas Gheda, dia sama cantiknya dengan Bunda Gheda,” Gheda memegang kepalanya tanda bahwa sang tokoh yang dia sebut Ibu cantik memakai jilbab.
Mendengarnya berceloteh aku sangat merasa kasihan, waktuku habis di kantor, dan dia tumbuh dengan nenek dan kakeknya di rumah, sekolah Islam membuatnya banyak memiliki teman dan juga membuatnya sering bertanya banyak hal yang tidak bisa aku jelaskan dengan bahasa lelaki. “Ya Rabb, andai masih ada Suha...,” batinku dalam merajuk pada Illahi.
“Kapan-kapan Ayah mau bertemu Ibu cantik,”
“Iya, Yah? Nanti Ayah naksir,”
“Hmm... kata-kata darimana itu?”
“Hihi...,” Ghaida hanya memamerkan gigi susunya yang berjajar rapi.
“Besok Ayah marahi Ibu cantik karena ngajarin anak Ayah kata-kata tidak sopan,” aku menggoda bocah kecil itu sambil melotot.
“Bukan Ibu cantik, teman Gheda di sekolah yang bilang,”
“Mmm jadi bukan Ibu cantik? Baiklah Ayah akan maafkan Ibu cantik,”
“Lain waktu Ayah harus antar Gheda ke sekolah biar bisa kenal dengan Ibu cantik, walaupun baru mengajar di kelas Gheda tapi Ibu cantik baik,”
“Iya, kalau Ayah ada waktu,”
“Gheda mau kalau punya Bunda seperti Ibu cantik,”
“Nah mulai lagi, Ayah belum tahu Ibu cantik benar-benar baik atau tidak, jadi Ghaida jangan berharap, siapa tahu juga Ibu cantik sudah punya anak dan suami,”
“Mmm, iya,” Ghaida mengangguk paham dan putus asa tapi raut wajah itu tak lama berada di muka ovalnya. Dia kembali ceria menikmati brownis dari sang guru sambil terus mewarnai.
***
“Atika?”
“Mas Hilmi? Mmm...,” perempuan lembut di depanku terkejut dan memandang gadis kecil di sampingku. Ghaida hanya nyengir kuda melihat Ibu Gurunya melihatnya. Aku tak kalah kaget dengan Atika.
“Kenapa disini?”
“Mengajar, aku sudah lama disini dan,”
“Ghaida cerita Ibu gurunya yang baik dan baru beberapa hari mengajar di kelasnya,”
“Iya, saya sendiri, baru beberapa hari mengajar kelas Ghaida, ada rolling bulan ini, dan ini putri Mas Hilmi dan Mbak Suha?”
“Iya,” aku mengangguk lemah mengingat Suha.
“Sama cantiknya ya dengan Ibunya,” wajah lembut itu tersenyum tulus.
“Kamu bisa saja,”
“Pantas saja ada nama Khair di belakang nama Ghaida, saya tahu nama itu jarang dan hanya Mas Hilmi yang punya tapi saya tidak yakin, ternyata saya benar,”
“Iya, kamu masih ingat namaku?” aku menunduk menjaga jarak. Ghaida mulai menggoyang-goyangkan tanganku tanda dia sudah lama berdiri.
“Masuklah, nak.”
“Ayoo Ghaida,” tangan mungil Ghaida beralih ke tangan Atika.
Aliran darahku berdesir lembut, ada relung yang kosong dan mulai terisi lagi. Mengumpulkan keping masa lalu dan merangkainya menjadi puzzle yang utuh. Ini sulit dan sangat sulit, begitu banyak kenangan di masa kuliah.
Aku mengundurkan diri dari hadapan Atika dan Ghaida, kulihat mereka bergandengan begitu serasi layaknya Ibu dan anak. Aku kemudikan mobil menuju kantor.
“Boleh pinjam catatan kemarin? Kelasku jarang dibuatkan catatan dari dosen itu, dosennya pilih kasih,”
“Hmm, ogah... bayar dulu,”
“Aku bayar dengan terimakasih dan senyum,” aku nyengir di depan Atika.
“Mmm cuma itu? Kurang, bayar dulu,”
“Sini aku bayar, berapa?”
“Mmm, 500 juta,”
“Hah!” aku kaget memandanganya “yakin tidak kurang?”
“Nanti kalau kurang aku minta lagi,”
Aku mengingatnya, itu kejadian beberapa tahun lalu. Ketika kami masih duduk di bangku kuliah. Kami bukan teman satu kelas tapi beberapa mata kuliah kita ada di satu kelas yang sama. Tiba-tiba kami dekat hanya karena sebuah catatannya saja, seperti kisah di film-film yang hanya berbekal catatan bisa jatuh cinta. Bukan cinta diantara kami, ada persahabatan erat yang timbul setelahnya.
“Astaghfirullah,”
“Ada apa, Pak?”
“Berkas buat Rakor hari ini ketinggalan di mobil,”
Hanya karena ingatanku melayang pada sosok Atika, sahabatku yang dulu menghilang dan sosoknya digantikan Suha.
“Mas, aku bantu buat tugas MKU yang Bab III, dikumpulin besok dan ini gak ada contohnya,”
“Mmm, bayar dulu,”
“Berapa? 500 juta? Impas deh, kemarin kamu juga belum bayar 500 juta,”
“Hmm 500 juta terus, 1 M butuhnya buat bangun rumah,”
“Utang dulu yang 500 juta,” Atika nyengir kuda.
“Dasar matre,”
“Kamu yang matre,”
“Bukan matre tapi realistis,” aku balas nyengir di depannya.
“Ayah... yang ini bagaimana? Ayaaaaahhh,”
“Hemmm, maaf, kenapa?”
“Ayah melamun apa?”
“Bukan apa-apa?”
“Gedha mau bunda,”
“Cari bunda susah, mahal, Ghaida sabar saja,”
“Berapa harga Bunda? Celengan  Gheda sudah banyak,”
“Mmmm, berapa ya? Ayah kurang tahu, 500 juta mungkin,”
“500 juta itu seberapa, Yah?”
“Banyaaaaaaaaaaakkk, sudahlah ayo belajar lagi,”
“Nanti Gheda mau cari Bunda, Gheda mau cari 500 juta,”
“Sudah ayo belajar lagi,”
Aku tersenyum kecil memandang anak perempuanku satu-satunya peninggalan terindah dari Suha. Aku ingin ada perempuan pengganti Suha untuk Ghaida yang terbaik dari Allah.
Ibu, jika aku boleh memilih
Aku akan memilihnya sejak detik dimana aku jatuh cinta padanya
Sejak aku tak bisa lagi menatap mata yang lain selain matanya
Ya Rabb, jika aku boleh memilih
Aku akan mengatakan apa isi hatiku ketika dia berbinar di depanku
Berkisah tentang seseorang yang dia kagumi dan cintai
Dan itu bukan aku
Ibu, ketika kali ini aku bisa menatapnya dan memilikinya utuh
Biarkan kali ini aku memilih
Bahwa pemilik mata bidadari itu adalah kekasih hatiku kini dan nanti
Ya Rabb, maka biarlah aku memilihnya kali ini karena Kau pula yang telah memilih
“Siapa dia?” Ibuku tiba-tiba saja masuk ke kamarku dan berdiri di depan meja kerjaku.
“Siapa maksud Ibu?”
“Dia, yang telah kamu pilih di hatimu, Nak.”
Mataku menatap Ibu tajam, perasaannya tak bisa dibohongi, anaknya kali ini jatuh cinta lagi dan dia tahu itu. Bagaimanapun aku menyembunyikannya, rasa ini tak lagi bisa terelakkan untuk muncul ke permukaan.
“Ini hanya sajak yang iseng aku buat, Bu.”
“Jika Ibumu tidak salah, sajak cinta kamu tulis ketika hatimu sedang berbunga saja. Ibu ini sudah hidup denganmu 27 tahun, Ibu tahu apa yang ada dalam fikirmu dan hatimu,”
“Ibu,”
“Siapa dia? Apa dia pantas untuk Ghaida?”
“Dia Atika, Hilmi tidak tahu apa ini suka atau hanya rasa sesaat ketika Hilmi menemukannya kembali,” aku tahu Ibu tak pernah lupa sosok Atika sahabatku ketika kuliah dulu.
“Bukan hanya kamu yang butuh Atika tapi Ghaida juga, dia yang lebih butuh Ghaida, apa dia benar-benar pantas untuk ada di hatimu dan juga hati Ghaida?”
“Insya Allah, kalau Allah lancarkan jalan ini,”
“Ibu tahu betapa indah dia di hatimu sejak dulu, sajak-sajakmu mewakili,”
“Atika yang memberiku ribuan kata indah untuk aku rangkai, tapi terkadang ketika aku ada di hadapannya aku akan diam, Bu.”
“Pilihlah dia karena hatimu, karena Allah,”
“Amin, Insya Allah.”
***
“Jadi, Ibu cantik mau jadi Bunda Gheda?”
“Mmmm, Ibu cantik mau jadi sahabat Ghaida,”
“Gheda nanti boleh panggil Ibu cantik Bunda?” mata bulat putriku berbinar indah, serasa ada bintang disana. Aku tertegun menatap putri kecilku yang semakin beranjak besar.
“Jadi Ibu cantik ini Bunda 500 juta?” aku terkejut mendengar kalimat Ghaida baru saja.
“Bunda 500 juta?”
“Iya, kata Ayah, Bunda itu susah carinya, dia mahal, mungkin 500 juta.”
“Maaf aku hanya bercanda itu,” aku langsung maju menepis anggapan miring dari perkataan Ghaida.
Atika menatapku dan tersenyum, senyum yang sama seperti dulu, yang mampu meluluhkan hatiku.
“Jadi kita impas, aku bayar 500 juta untuk seumur hidup bisa di sampingmu,”
“Kamu,” aku hanya tersipu saja.
“Ini realistis bukan materialistis,” Atika dengan lembut menggodaku.
“Kamu bayar 500 juta juga memberimu titipan terindah seorang Ghaida,”
“Heeemmm, aku bayar seumur hidup dengan cinta dan senyumku,”
Acara lamaran sore itu begitu syahdu, kami seperti mengenang masa kuliah dulu. Dia tak pernah menyinggung statusku dan sosok Ghaida. Dia adalah Atika Hayati dan kini dia menyandang nama belakangku yaitu Atika Khair, dia adalah penulis hebat, sosok guru bagi anak-anak kami, Ibu, sahabat dan dokter, dia juga istri, teman, sahabatku dan dia adalah koki yang paling hebat, penjahit paling modis dan penata busana paling cerewet, dia adalah ratu di hati kami. Bunda 500 juta, yang demi dia aku rela harus berpisah lebih dulu dengannya, bersamanya aku menjadi suami terbaik, Ayah terbaik dan sahabat terbaik.

Pati-Bjn, 2 febr 2012
 

0 comments:

Posting Komentar