“Kamu yakin mau ambil judul skripsi itu?”
“Iya, jarang bukan yang angkat
kasus itu?”
“Kamu ini, dokter kayak kamu
kasus seperti itu harusnya kecil,”
“Maka dari itu, kasusnya harus
besar,”
“Sila, kamu benar-benar yakin?”
“Iyes, 1000 % yakin,”
Sila, dia gadis yang mandiri
pun ketika dia tahu dirinya adalah anak sebatang kara di bumi ini. Kenyataan
itu tak lantas membuatnya berkecil hati atau menjadi anak yang penyendiri. Dia
justru menjadi tegar dan kuat.
“Ikut deh ke rumah sakit, ada
anak autis anfaal,”
“Sil, cari pasien lain selain
anak autis, dari lahir daya tahan tubuh mereka memang lemah, kamu lalu mau
tulis tentang apa?”
“Tentang cinta yang murni dari
anak autis itu, mereka beda, bahkan ada kalimat keren begini ‘Anak autis itu
adalah malaikat yang lupa bawa peta, mereka adalah malaikat yang tersesat’, itu
kan wow banget,”
“Aaahh, Sil, aku akan nikahi
kamu asal nggak lagi study banding tentang autisme,”
Sila diam, terperanjat, dia
melihat kawannya di bangku kuliah itu serius.
“Aku nggak punya cinta buat aku
bagi dengan kamu, saat ini, jadi kalaupun kamu bilang kamu nikahi aku besok aku
nggak akan terima, Ibu juga nggak akan terima,”
Sila pergi, dia menuju rumah
sakit, status mahasiswa yang disandangnya bukan tanpa pengorbanan, dia akan
memperjuangkannya hingga dapat status itu, dokter.
“Sejak bayi atau baru
terdeteksi bahwa anak Ibu menderita kelainan otak?”
“Sejak kecil, kata dokter ada
infeksi ketika Ibu hamil, Alhamdulillah, dia lahir selamat tanpa cacat tapi Ibu
baru tahu ketika dia berumur 2 tahun lebih,”
“Pernah tes IQ atau tes yang
lain, Bu?”
“Pernah hasil tes IQ 82, kata
dokter itu rendah, masih bisa untuk di tolong dengan pembelajaran langsung,”
“Dia sekolah?”
“Iya hingga SMA, dia masih
sekolah walaupun memang nilainya biasa saja dibanding anak normal lainnya, tapi
Ibu bangga,”
“Baru anak pertama Ibu atau ada
anak yang lain yang terkena sindrom autis ini?”
“Hanya dia, tidak ada faktor
genetik, dia Ibu ajarkan normal, Ibu perlakukan layaknya anak normal Ibu yang
lain,” Sila menghela nafas panjang. “Ibu kenalkan ke anak Ibu, dia sedang
bermain di dalam,”
Sila menurut mengikuti langkah
seorang Ibu yang sudah berumur, kira-kira mungkin usianya seperti Ibunya di
panti asuhan.
“Alfa, sini nak, ada yang mau
kenalan dengan Alfa,”
“Hai, aku Naysila, tapi kamu
boleh panggil aku Sila,”
“Si La, a ku Al fa,”
“Boleh main dengan Bang Alfa?”
Alfa mengangguk senyum, Ibunya
ke dapur membuat secangkir teh, dia sudah membiarkan tamunya tanpa minum
semenjak beberapa menit lalu.
Sila mulai memahami setiap
reaksi dari Alfa, usianya memang tidak muda lagi, Alfa ada diatas Sila 5 tahun,
adiknya seusia dengan Sila tapi kini dia ada di luar negeri menerima beasiswa
dari pondok pesantren di Mesir.
Sila bangga kepada Alfa, dia
adalah penyandang autis aktif, IQ yang dimiliki lumayan bagus 82 dan dia hafal
setiap ucapan orang, tidak ada yang berbeda dari wajah Alfa, tidak ada gurat
khas anak autis, dia masih normal hanya memang suka dengan dunianya sendiri.
“Kalau setelah wisuda Sila
menikah apa Ibu mengijinkan?”
“Subhanallah, Sila, Ibu tidak
menyangka kamu bicara seserius itu dengan Ibu, Ibu tentu mengijinkan, siapa
yang jadi kekasih hati Sila sekarang? Randu?”
“Bukan, Randu itu teman saja,
namanya Alfa, dia baik, Bu.”
“Jika menurutmu baik, Ibu
setuju saja, siapa Ibu ini berani melarangmu, tapi jika dia tidak baik secara
agama Ibu akan dengan keras menentangmu,”
“Ibu, Sila mau jujur dengan
Ibu, Alfa itu bukan lelaki biasa,”
“Subhanallah, dia sangat baik?”
“Iya, Bu. Bu, ini tidak seperti
yang Ibu fikirkan, dia sangat baik, tapi dia berbeda, dia penyandang sindrom
autis aktif,”
Ibu diam lalu dia menangis
mengusap pipi anaknya yang dia banggakan, walaupun bukan anak kandungnya tapi
dia sangat sayang kepada Sila.
“Apa kamu yakin dengannya?”
“In shaa Allah, dia, ketika
memejamkan matanya sambil bilang ‘Tuhan ciptakan bumi dengan gunung dan
bukit-bukit, ciptakan padang hijau tapi DIA tidak pernah lupa ciptakan makhluk
cantik yang ada di bumi untuk disayangi setiap orang’,” Sila memejamkan mata
sambil mengingat peristiwa dengan Alfa. “Ibu pasti tidak percaya, dia dengar
itu dan hafal sekali kalimat yang ada di sebuah film di tv, aku tertawa
setelahnya tapi aku tahu itu dari hatinya, dia menyentuh muka Sila dengan
tulus, Sila suka ketulusannya,”
“Bukan kasihan?”
“Bukan, Bu. Sila tahu bedanya
kasihan dan cinta,”
“Itu pilihanmu, kamu pasti
sudah siap dengan segala konsekuensi apapun yang akan kamu terima,”
“Iya, In Shaa Allah,”
Randu hampir gila mendengar
Sila akan menikah dengan lelaki pasien rumah sakitnya, selama jadi koas dia
sering melihat Sila mengantar Alfa ke rumah sakit.
Sila tak begitu saja melupakan
mimpinya menjadi seorang dokter anak, dia rajin ikut koas dan banyak hal yang
dia pelajari. Ikut praktek di sebuah klinik dokter kenalannya atau sekedar
melihat jalannya operasi besar.
“Sila hamil, Bu.”
“Alhamdulillah, masya Allah,
Ibu akan jadi nenek?”
“Iya,”
“Sila kamu harus jaga diri
baik-baik, jangan terlalu lelah, kurangi kegiatan di rumah sakit,”
“Sila malah dapat beasiswa,
Bu.”
“Subhanallah, kamu benar-benar
mau jadi dokter hebat?”
“Iya, Bu.”
“In shaa Allah semua akan
baik-baik saja,”
Sila sendiri kemana-mana, hanya
ditemani Ibu mertuanya atau Ibu panti ketika memeriksakan kandungannya.
Kegiatan di kampus dan praktek di rumah sakit cukup menyita waktunya.
Suatu kali Sila memeriksakan
kandungannya ditemani Alfa, mendekati kelahiran Alfa mendapat banyak pelajaran
dari dokter tentang kelahiran. Semua di rumah sakit memandang sinis kepada
Sila.
“Cantik-cantik kok bergaul
dengan orang seperti itu,”
“Pasti hamil di luar nikah,
jadi tumbal lelaki itu untuk menikahinya,”
Telinga Sila panas mendengar
hal itu, lama dia memendam rasa sakit ketika ada orang lain memandang miring
tentangnya dan suaminya. Tapi dia bisa apa, tidak ada yang salah dengan mereka.
Sila hanya mampu tersenyum. Sila justru menarik tangan Alfa dan berjalan mesra
memamerkan kemesraan mereka.
‘***’
“Aaaakk, Ibuuu, aku mau beli es
klimnya,”
“Nanti Ibu belikan, ayo makan
dulu, nanti main lagi dan makan es krim dengan Ayah,”
“Ayaaahhhh,” buuuggg, Kala
menabrak seorang lelaki gagah yang masuk ke pekarangan rumahnya.
“Hai, kamu Kala? Ini Oom Arka,”
“Ibu, ada,” belum selesai
ucapan Sila keluar dari mulutnya sang Ibu mertua sudah berlari ke arah Arka,
memeluknya dan menangis. Sekian tahun tidak bersua dengan anak bungsunya
tentulah sang Ibu mertua sangat rindu kepada anaknya.
“Ibu apa kabar? Bang Alfa
bagaimana?”
Arka langsung masuk dan Kala
masih tenang di gendongannya.
Sila hanya mendengarkan cerita
Arka ketika di Mesir, Alfa sangat senang adiknya datang, dia menirukan gaya
Arka yang memang gagah. Sila memasak karena itu adalah saat tepat ketika Kala
tak mengganggunya di dapur.
Kala lengket sekali dengan
Arka, mereka seusia tapi Sila membatasi semua kegiatannya dengan Arka. Kala
belajar mengaji dan bermain dengan Arka.
“Kamu sebaiknya pindah dari
sini,”
“Kenapa?”
“Biar kami tenang seperti dulu,
biar kami tidak merasa terganggu, Kala juga bisa bermain dengan Ayahnya seperti
biasa,”
“Maaf bu dokter, apa Bu dokter
merasa saya mengganggu? Kala senang bisa bermain dengan saya, Bang Alfa juga,
apa bu dokter yang merasa terganggu?”
“Maksud kamu apa?”
“Jangan bilang bu dokter jatuh
cinta kepada saya, apa bu dokter kira saya tidak tahu kalau bu dokter selama
ini memperhatikan saya ketika bersama Kala atau bersama Bang Alfa,”
“Jangan bicara yang
tidak-tidak, agama anda lebih bagus daripada saya,”
“Saya juga lelaki biasa, anda
jauh lebih dari perempuan biasa, saya tahu bagaimana perasaaan anda bu dokter,”
Sila pergi ke dapur dan
membuatkan Kala susu.
“Sungguh saya hanya lelaki biasa,
normal ketika pertama saya melihat foto kecil keluarga yang dikirim Ibu, saya
jatuh hati pada keluarga kecil kalian, saya iri tapi saya punya daya apa? Bang
Alfa yang jauh lebih beruntung, ketulusannya, kebaikannya yang tidak
dibuat-buat itu pasti yang membuat orang disekitarnya jatuh hati,”
“Kalian sedang apa?”
“Ibu,”
“Bu kami hanya berbincang
kecil,”
“Mulai besok Arka cari kos atau
kontrakan, Ibu tidak suka melihat kalian akrab, bagaimana dengan Alfa kalau
melihat kalian begitu,”
“Astaghfirullah, Bu, Arka bukan
lelaki seperti itu, Arka menghormati Sila sebagai kakak ipar,”
“Ibu ini mengenalmu sangat lama
sejak kamu lahir ke dunia, tingkah polahmu dan cara kamu menatap, kalian
menyimpan rasa yang berbeda, Ibu tidak khawatir dengan Sila, dia bisa menjaga
dirinya tapi kamu, lelaki dewasa yang utuh sempurna tanpa cela, Ibu tidak bisa
mengawasi 100% da percaya 1000%, Ibu tidak bisa,”
“Benar bukan? Sebaiknya kamu
pindah saja,”
“Arka lelaki biasa, Bu. Arka
juga punya iman dan agama, Arka tidak akan macam-macam walaupun Arka sangat
menyayangi Sila,”
“Arka!” Ibunya menangis dan
menahan marah.
Sila memegang tangan Ibunya dan
menahan amarahnya.
“Ar ka ar ka sa yang Sila?
Tidak boleh sayang Sila, dia milik Alfa,”
Semua yang berada di dapur
melihat ke arah datangnya suara, Alfa mendengar semua. Tiba-tiba Ibu mengusap
airmatanya seolah tak terjadi apapun.
Alfa lari keluar rumah,
sementara hujan turun mengetahui pelik masalah keluarga kecil itu.
Sila tergerak berlari mengikuti
Ibunya dan Alfa. Arka berlari juga.
“Ya Allah, demi apapun Sila
tidak pernah terfikir untuk meninggalkan Bang Alfa, sekalipun Sila khilaf dalam
hal ini, Sila juga perempuan biasa, Sila lelah selama ini sendirian, Bu. Sila
juga mau seperti perempuan normal lainnya tapi Sila sadar Sila sudah memilih
ini jauh sejak Sila memutuskan menikah dengan Alfa. Sila minta maaf, bu.”
“Ibu mengerti, Ibu juga setiap
hari berfikir untuk menyuruhmu pergi meninggalkan Alfa, Alfa begitu sayang
padamu dan Kala, Ibu tidak tega, dia anak Ibu sendiri,” Ibu sesenggukan memeluk
Sila. Mereka menangis bersama.
Arka memutuskan untuk pergi,
dia tidak ingin menyakiti siapapun. Kondisi Alfa terus menurun.
“Alfa, Sil. Dia anfaal, ruang
UGD,” Randu membuka pintu ruang praktek Sila.
Sila kaget, dia berlari ke arah
UGD diikuti Randu. Mereka bekerja di rumah sakit yang sama.
“Kenapa?”
“Sesak nafas, ada cairan
mengisi paru-parunya,”
“Ibu di luar dulu,”
“Dokter Sila juga sebaiknya di
luar saja,”
“Tapi,”
Sila cemas, Kala ada
dipelukannya, Ibu mengusap punggung Sila.
“Stabil, sementara biar di ICU,
jika benar-benar tidak ada komplikasi akan kami pindah ke ruang perawatan,”
Sila duduk lemas, Kala sudah
berada dipelukan Ibunya.
“Ibu ikhlas kalau harus
kehilangan Alfa, Ibu sudah dapat bonus berkali-kali memilikinya,”
“Ibu jangan bilang seperti itu,
dia akan sembuh,”
Dalam beberapa hari Alfa di
ruang ICU, dia belum sadar, ada banyak selang ke tubuhnya, daya tahan tubuhnya
memang lemah dari orang pada umumnya.
Arka selalu menemani Kala dan
Ibu di ICU, Sila tetap menjalankan praktek.
“Sila, dia juga manusia biasa,
bisa sakit bisa sehat bisa tertawa bisa sedih,”
“Ini beda Ran, aku sudah buat
hatinya terluka dan mungkin karena itu dia jadi kefikiran,”
“Itu kan mungkin, jadi kamu
tidak perlu merasa bersalah,”
Sila memeluk Kala erat, rasanya
pagi itu dia tidak ingin bekerja dan hanya ingin menunggui Alfa.
“Asslamualaikum,”
“Waalaikumsalam,” jawab Sila,
ia hafal suara itu, tidak berubah baik di telfon atau aslinya.
“Sila nanti nggak perlu masuk
kerja, aku jemput kamu, aku mau ajak kamu ke suatu tempat,”
“Kenapa? Kemana?
“Ada,”
“Pasti diangkat jadi dosen
tetap,”
“Begitu juga boleh,”
Arka mengajak Sila duduk makan,
makanan kesukaan Sila di sebuah Mall.
“Bang Alfa itu beruntung punya
kamu,”
“Iya, kamu juga beruntung punya
kakak dia,”
“Dulu Ibu pernah hampir
kehilangan dia, Ibu meletakkan Bang Alfa di depan sebuah panti asuhan, tapi Ibu
tidak tega meninggalkannya, suatu hari pula ketika aku dan Bang Alfa mandi di
sungai, kami tenggelam dan Ibu hanya menyelamatkan aku, tapi beruntung ada
banyak orang yang pulang dari sawah, Bang Alfa selamat, bahkan Ibu pernah
benar-benar hampir kehilangan Bang Alfa ketika Bang Alfa sakit keras, ada
komplikasi yang dideritanya ketika usianya 15 tahun,”
“Itu sebabnya Ibu pernah bilang
sudah dapat bonus berkali-kali memilikinya,”
“Iya, mungkin,”
“Ibu tidak menyerah menularkan
semangat hidup ke Abang, sekalipun dokter memvonis Abang tidak akan lebih
berusia 17 tahun, komplikasi bawaan memberatkan keadaan abang,”
“Dia Ibu terbaik, aku beruntung
punya Ibu mertua sebaik dia, belum tentu Ibu kandungku sebaik itu,”
“Dia pasti baik, karena punya
putri yang baik seperti kamu,”
“Kalau dia baik tidak mungkin
dia meninggalkan aku di panti asuhan,”
“Bukankah kita manusia punya
banyak pilihan dan beruntung orang yang berani membuat pilihan,”
“Kamu ini,” Sila memakan hampir
setengah makanan yang ada di piringnya.
“Manusia itu selalu diberi banyak
pilihan, kadang kitanya saja yang tidak menyadari atau tidak berani membuat
pilihan, kamu beruntung bisa punya pilihan,”
“Pilihan apa?”
“Pilihan apapun, sangat utama
pilihan kamu untuk bersama Bang Alfa,”
“Itu bukan pilihan, itu...,”
lama Sila menemukan kata yang tepat.
“Pengabdian, kamu dokter kamu
Ibu kamu istri, kamu perempuan luar biasa,”
“Kamu ngomongin apa? Sekarang
kenapa ngajak kesini, kayak orang pacaran jadinya, kasihan Kala dan Ibu di
rumah sakit,”
“Mereka akan baik-baik saja,”
“Baik-baik saja? Maksud kamu?”
Sila menatap dalam Arka, “Alfa, jangan bilang kalau dia kenapa-napa,”
“Pengabdian kamu selesai, La.”
“Ar.. ka, kamu jangan bercanda,”
“Subuh tadi abang meninggalkan
kita,” Arka tertunduk, bulir cristal bening mengalir, Sila seakan tidak
percaya, lalu kenapa dia sekarang duduk di sebuah Mall dan makan enak.
“Kamu jahat membiarkan aku
disini,”
Sila lari keluar tanpa
memperdulikan Arka, Sila menjerit di rumah sakit, Randu menenangkannya.
“Alfa, mana?” Sila sesenggukan.
“Aku antar, ayo, tapi
tenanglah,”
“Al fa, Ran. Dia nggak apa-apa,
kan?”
“Sil, tenang, Alfa nggak
apa-apa,”
“Kata Arka dia udah nggak ada,
dia bohong, kan?”
Sila melihat Alfa dan memeluk
Ibu, Kala berpindah ke tangannya, anak 3 tahun itu belum tahu apa yang terjadi,
dia hanya mengusap airmata di pipi Ibunya dan itu menambah pilu hati Sila.
Arka menyusul ke rumah sakit,
semua mempersiapkan pemakaman Alfa.
“Dia sudah bahagia,” Sila
memeluk erat Kala.
“Ibu sudah ikhlas, kamu juga
harus ikhlas,”
“In shaa Allah,”
“Jika boleh Ibu tidak mau
kehilanganmu sebagai menantu Ibu,”
“Sila tetap anak Ibu bukan
sekedar menantu,”
Sila meninggalkan pemakaman
Alfa. Cinta yang dimiliki Alfa itu lebih tulus dan murni dari siapapun.
“Silaaaa, ada Randu,”
“Iya, bu.”
“Hai,” Randu tersenyum manis
ektika Sila keluar dari ruang tengah.
“Hai, apa kabar?”
“Baik Alhamdulillah,”
“Kala apa kabar?”
“Baik, kamu tumben kesini, ada
angin apa?”
“Angin melamar kamu, aku
serius, kan sudah boleh dilamar yang lain kamu,”
“Serius?”
“Aku nggak lagi bercanda,”
“Ya Allah, maaf, sudah ada yang
lebih dulu,”
“Masya Allah, siapa kalau boleh
tahu, Sil?”
“Ibu melamarku beberapa hari
lalu, in shaa Allah Arka jadi suamiku,” Randu tersenyum getir. Kali ini dia
dikalahkan lagi dengan lelaki anak keluarga itu. Dulu Alfa sekarang Arka.
Sila tersenyum menunduk.
Bjn, 27 Febr 2014
0 comments:
Posting Komentar