Senin, 14 April 2014

>> ½ Kamu adalah Aku




“Kamu yakin mau ambil judul skripsi itu?”
“Iya, jarang bukan yang angkat kasus itu?”
“Kamu ini, dokter kayak kamu kasus seperti itu harusnya kecil,”
“Maka dari itu, kasusnya harus besar,”
“Sila, kamu benar-benar yakin?”
“Iyes, 1000 % yakin,”
Sila, dia gadis yang mandiri pun ketika dia tahu dirinya adalah anak sebatang kara di bumi ini. Kenyataan itu tak lantas membuatnya berkecil hati atau menjadi anak yang penyendiri. Dia justru menjadi tegar dan kuat.
“Ikut deh ke rumah sakit, ada anak autis anfaal,”
“Sil, cari pasien lain selain anak autis, dari lahir daya tahan tubuh mereka memang lemah, kamu lalu mau tulis tentang apa?”
“Tentang cinta yang murni dari anak autis itu, mereka beda, bahkan ada kalimat keren begini ‘Anak autis itu adalah malaikat yang lupa bawa peta, mereka adalah malaikat yang tersesat’, itu kan wow banget,”
“Aaahh, Sil, aku akan nikahi kamu asal nggak lagi study banding tentang autisme,”
Sila diam, terperanjat, dia melihat kawannya di bangku kuliah itu serius.
“Aku nggak punya cinta buat aku bagi dengan kamu, saat ini, jadi kalaupun kamu bilang kamu nikahi aku besok aku nggak akan terima, Ibu juga nggak akan terima,”
Sila pergi, dia menuju rumah sakit, status mahasiswa yang disandangnya bukan tanpa pengorbanan, dia akan memperjuangkannya hingga dapat status itu, dokter.
“Sejak bayi atau baru terdeteksi bahwa anak Ibu menderita kelainan otak?”
“Sejak kecil, kata dokter ada infeksi ketika Ibu hamil, Alhamdulillah, dia lahir selamat tanpa cacat tapi Ibu baru tahu ketika dia berumur 2 tahun lebih,”
“Pernah tes IQ atau tes yang lain, Bu?”
“Pernah hasil tes IQ 82, kata dokter itu rendah, masih bisa untuk di tolong dengan pembelajaran langsung,”
“Dia sekolah?”
“Iya hingga SMA, dia masih sekolah walaupun memang nilainya biasa saja dibanding anak normal lainnya, tapi Ibu bangga,”
“Baru anak pertama Ibu atau ada anak yang lain yang terkena sindrom autis ini?”
“Hanya dia, tidak ada faktor genetik, dia Ibu ajarkan normal, Ibu perlakukan layaknya anak normal Ibu yang lain,” Sila menghela nafas panjang. “Ibu kenalkan ke anak Ibu, dia sedang bermain di dalam,”
Sila menurut mengikuti langkah seorang Ibu yang sudah berumur, kira-kira mungkin usianya seperti Ibunya di panti asuhan.
“Alfa, sini nak, ada yang mau kenalan dengan Alfa,”
“Hai, aku Naysila, tapi kamu boleh panggil aku Sila,”
“Si La, a ku Al fa,”
“Boleh main dengan Bang Alfa?”
Alfa mengangguk senyum, Ibunya ke dapur membuat secangkir teh, dia sudah membiarkan tamunya tanpa minum semenjak beberapa menit lalu.
Sila mulai memahami setiap reaksi dari Alfa, usianya memang tidak muda lagi, Alfa ada diatas Sila 5 tahun, adiknya seusia dengan Sila tapi kini dia ada di luar negeri menerima beasiswa dari pondok pesantren di Mesir.
Sila bangga kepada Alfa, dia adalah penyandang autis aktif, IQ yang dimiliki lumayan bagus 82 dan dia hafal setiap ucapan orang, tidak ada yang berbeda dari wajah Alfa, tidak ada gurat khas anak autis, dia masih normal hanya memang suka dengan dunianya sendiri.
“Kalau setelah wisuda Sila menikah apa Ibu mengijinkan?”
“Subhanallah, Sila, Ibu tidak menyangka kamu bicara seserius itu dengan Ibu, Ibu tentu mengijinkan, siapa yang jadi kekasih hati Sila sekarang? Randu?”
“Bukan, Randu itu teman saja, namanya Alfa, dia baik, Bu.”
“Jika menurutmu baik, Ibu setuju saja, siapa Ibu ini berani melarangmu, tapi jika dia tidak baik secara agama Ibu akan dengan keras menentangmu,”
“Ibu, Sila mau jujur dengan Ibu, Alfa itu bukan lelaki biasa,”
“Subhanallah, dia sangat baik?”
“Iya, Bu. Bu, ini tidak seperti yang Ibu fikirkan, dia sangat baik, tapi dia berbeda, dia penyandang sindrom autis aktif,”
Ibu diam lalu dia menangis mengusap pipi anaknya yang dia banggakan, walaupun bukan anak kandungnya tapi dia sangat sayang kepada Sila.
“Apa kamu yakin dengannya?”
“In shaa Allah, dia, ketika memejamkan matanya sambil bilang ‘Tuhan ciptakan bumi dengan gunung dan bukit-bukit, ciptakan padang hijau tapi DIA tidak pernah lupa ciptakan makhluk cantik yang ada di bumi untuk disayangi setiap orang’,” Sila memejamkan mata sambil mengingat peristiwa dengan Alfa. “Ibu pasti tidak percaya, dia dengar itu dan hafal sekali kalimat yang ada di sebuah film di tv, aku tertawa setelahnya tapi aku tahu itu dari hatinya, dia menyentuh muka Sila dengan tulus, Sila suka ketulusannya,”
“Bukan kasihan?”
“Bukan, Bu. Sila tahu bedanya kasihan dan cinta,”
“Itu pilihanmu, kamu pasti sudah siap dengan segala konsekuensi apapun yang akan kamu terima,”
“Iya, In Shaa Allah,”
Randu hampir gila mendengar Sila akan menikah dengan lelaki pasien rumah sakitnya, selama jadi koas dia sering melihat Sila mengantar Alfa ke rumah sakit.
Sila tak begitu saja melupakan mimpinya menjadi seorang dokter anak, dia rajin ikut koas dan banyak hal yang dia pelajari. Ikut praktek di sebuah klinik dokter kenalannya atau sekedar melihat jalannya operasi besar.
“Sila hamil, Bu.”
“Alhamdulillah, masya Allah, Ibu akan jadi nenek?”
“Iya,”
“Sila kamu harus jaga diri baik-baik, jangan terlalu lelah, kurangi kegiatan di rumah sakit,”
“Sila malah dapat beasiswa, Bu.”
“Subhanallah, kamu benar-benar mau jadi dokter hebat?”
“Iya, Bu.”
“In shaa Allah semua akan baik-baik saja,”
Sila sendiri kemana-mana, hanya ditemani Ibu mertuanya atau Ibu panti ketika memeriksakan kandungannya. Kegiatan di kampus dan praktek di rumah sakit cukup menyita waktunya.
Suatu kali Sila memeriksakan kandungannya ditemani Alfa, mendekati kelahiran Alfa mendapat banyak pelajaran dari dokter tentang kelahiran. Semua di rumah sakit memandang sinis kepada Sila.
“Cantik-cantik kok bergaul dengan orang seperti itu,”
“Pasti hamil di luar nikah, jadi tumbal lelaki itu untuk menikahinya,”
Telinga Sila panas mendengar hal itu, lama dia memendam rasa sakit ketika ada orang lain memandang miring tentangnya dan suaminya. Tapi dia bisa apa, tidak ada yang salah dengan mereka. Sila hanya mampu tersenyum. Sila justru menarik tangan Alfa dan berjalan mesra memamerkan kemesraan mereka.
‘***’
“Aaaakk, Ibuuu, aku mau beli es klimnya,”
“Nanti Ibu belikan, ayo makan dulu, nanti main lagi dan makan es krim dengan Ayah,”
“Ayaaahhhh,” buuuggg, Kala menabrak seorang lelaki gagah yang masuk ke pekarangan rumahnya.
“Hai, kamu Kala? Ini Oom Arka,”
“Ibu, ada,” belum selesai ucapan Sila keluar dari mulutnya sang Ibu mertua sudah berlari ke arah Arka, memeluknya dan menangis. Sekian tahun tidak bersua dengan anak bungsunya tentulah sang Ibu mertua sangat rindu kepada anaknya.
“Ibu apa kabar? Bang Alfa bagaimana?”
Arka langsung masuk dan Kala masih tenang di gendongannya.
Sila hanya mendengarkan cerita Arka ketika di Mesir, Alfa sangat senang adiknya datang, dia menirukan gaya Arka yang memang gagah. Sila memasak karena itu adalah saat tepat ketika Kala tak mengganggunya di dapur.
Kala lengket sekali dengan Arka, mereka seusia tapi Sila membatasi semua kegiatannya dengan Arka. Kala belajar mengaji dan bermain dengan Arka.
“Kamu sebaiknya pindah dari sini,”
“Kenapa?”
“Biar kami tenang seperti dulu, biar kami tidak merasa terganggu, Kala juga bisa bermain dengan Ayahnya seperti biasa,”
“Maaf bu dokter, apa Bu dokter merasa saya mengganggu? Kala senang bisa bermain dengan saya, Bang Alfa juga, apa bu dokter yang merasa terganggu?”
“Maksud kamu apa?”
“Jangan bilang bu dokter jatuh cinta kepada saya, apa bu dokter kira saya tidak tahu kalau bu dokter selama ini memperhatikan saya ketika bersama Kala atau bersama Bang Alfa,”
“Jangan bicara yang tidak-tidak, agama anda lebih bagus daripada saya,”
“Saya juga lelaki biasa, anda jauh lebih dari perempuan biasa, saya tahu bagaimana perasaaan anda bu dokter,”
Sila pergi ke dapur dan membuatkan Kala susu.
“Sungguh saya hanya lelaki biasa, normal ketika pertama saya melihat foto kecil keluarga yang dikirim Ibu, saya jatuh hati pada keluarga kecil kalian, saya iri tapi saya punya daya apa? Bang Alfa yang jauh lebih beruntung, ketulusannya, kebaikannya yang tidak dibuat-buat itu pasti yang membuat orang disekitarnya jatuh hati,”
“Kalian sedang apa?”
“Ibu,”
“Bu kami hanya berbincang kecil,”
“Mulai besok Arka cari kos atau kontrakan, Ibu tidak suka melihat kalian akrab, bagaimana dengan Alfa kalau melihat kalian begitu,”
“Astaghfirullah, Bu, Arka bukan lelaki seperti itu, Arka menghormati Sila sebagai kakak ipar,”
“Ibu ini mengenalmu sangat lama sejak kamu lahir ke dunia, tingkah polahmu dan cara kamu menatap, kalian menyimpan rasa yang berbeda, Ibu tidak khawatir dengan Sila, dia bisa menjaga dirinya tapi kamu, lelaki dewasa yang utuh sempurna tanpa cela, Ibu tidak bisa mengawasi 100% da percaya 1000%, Ibu tidak bisa,”
“Benar bukan? Sebaiknya kamu pindah saja,”
“Arka lelaki biasa, Bu. Arka juga punya iman dan agama, Arka tidak akan macam-macam walaupun Arka sangat menyayangi Sila,”
“Arka!” Ibunya menangis dan menahan marah.
Sila memegang tangan Ibunya dan menahan amarahnya.
“Ar ka ar ka sa yang Sila? Tidak boleh sayang Sila, dia milik Alfa,”
Semua yang berada di dapur melihat ke arah datangnya suara, Alfa mendengar semua. Tiba-tiba Ibu mengusap airmatanya seolah tak terjadi apapun.
Alfa lari keluar rumah, sementara hujan turun mengetahui pelik masalah keluarga kecil itu.
Sila tergerak berlari mengikuti Ibunya dan Alfa. Arka berlari juga.
“Ya Allah, demi apapun Sila tidak pernah terfikir untuk meninggalkan Bang Alfa, sekalipun Sila khilaf dalam hal ini, Sila juga perempuan biasa, Sila lelah selama ini sendirian, Bu. Sila juga mau seperti perempuan normal lainnya tapi Sila sadar Sila sudah memilih ini jauh sejak Sila memutuskan menikah dengan Alfa. Sila minta maaf, bu.”
“Ibu mengerti, Ibu juga setiap hari berfikir untuk menyuruhmu pergi meninggalkan Alfa, Alfa begitu sayang padamu dan Kala, Ibu tidak tega, dia anak Ibu sendiri,” Ibu sesenggukan memeluk Sila. Mereka menangis bersama.
Arka memutuskan untuk pergi, dia tidak ingin menyakiti siapapun. Kondisi Alfa terus menurun.
“Alfa, Sil. Dia anfaal, ruang UGD,” Randu membuka pintu ruang praktek Sila.
Sila kaget, dia berlari ke arah UGD diikuti Randu. Mereka bekerja di rumah sakit yang sama.
“Kenapa?”
“Sesak nafas, ada cairan mengisi paru-parunya,”
“Ibu di luar dulu,”
“Dokter Sila juga sebaiknya di luar saja,”
“Tapi,”
Sila cemas, Kala ada dipelukannya, Ibu mengusap punggung Sila.
“Stabil, sementara biar di ICU, jika benar-benar tidak ada komplikasi akan kami pindah ke ruang perawatan,”
Sila duduk lemas, Kala sudah berada dipelukan Ibunya.
“Ibu ikhlas kalau harus kehilangan Alfa, Ibu sudah dapat bonus berkali-kali memilikinya,”
“Ibu jangan bilang seperti itu, dia akan sembuh,”
Dalam beberapa hari Alfa di ruang ICU, dia belum sadar, ada banyak selang ke tubuhnya, daya tahan tubuhnya memang lemah dari orang pada umumnya.
Arka selalu menemani Kala dan Ibu di ICU, Sila tetap menjalankan praktek.
“Sila, dia juga manusia biasa, bisa sakit bisa sehat bisa tertawa bisa sedih,”
“Ini beda Ran, aku sudah buat hatinya terluka dan mungkin karena itu dia jadi kefikiran,”
“Itu kan mungkin, jadi kamu tidak perlu merasa bersalah,”
Sila memeluk Kala erat, rasanya pagi itu dia tidak ingin bekerja dan hanya ingin menunggui Alfa.
“Asslamualaikum,”
“Waalaikumsalam,” jawab Sila, ia hafal suara itu, tidak berubah baik di telfon atau aslinya.
“Sila nanti nggak perlu masuk kerja, aku jemput kamu, aku mau ajak kamu ke suatu tempat,”
“Kenapa? Kemana?
“Ada,”
“Pasti diangkat jadi dosen tetap,”
“Begitu juga boleh,”
Arka mengajak Sila duduk makan, makanan kesukaan Sila di sebuah Mall.
“Bang Alfa itu beruntung punya kamu,”
“Iya, kamu juga beruntung punya kakak dia,”
“Dulu Ibu pernah hampir kehilangan dia, Ibu meletakkan Bang Alfa di depan sebuah panti asuhan, tapi Ibu tidak tega meninggalkannya, suatu hari pula ketika aku dan Bang Alfa mandi di sungai, kami tenggelam dan Ibu hanya menyelamatkan aku, tapi beruntung ada banyak orang yang pulang dari sawah, Bang Alfa selamat, bahkan Ibu pernah benar-benar hampir kehilangan Bang Alfa ketika Bang Alfa sakit keras, ada komplikasi yang dideritanya ketika usianya 15 tahun,”
“Itu sebabnya Ibu pernah bilang sudah dapat bonus berkali-kali memilikinya,”
“Iya, mungkin,”
“Ibu tidak menyerah menularkan semangat hidup ke Abang, sekalipun dokter memvonis Abang tidak akan lebih berusia 17 tahun, komplikasi bawaan memberatkan keadaan abang,”
“Dia Ibu terbaik, aku beruntung punya Ibu mertua sebaik dia, belum tentu Ibu kandungku sebaik itu,”
“Dia pasti baik, karena punya putri yang baik seperti kamu,”
“Kalau dia baik tidak mungkin dia meninggalkan aku di panti asuhan,”
“Bukankah kita manusia punya banyak pilihan dan beruntung orang yang berani membuat pilihan,”
“Kamu ini,” Sila memakan hampir setengah makanan yang ada di piringnya.
“Manusia itu selalu diberi banyak pilihan, kadang kitanya saja yang tidak menyadari atau tidak berani membuat pilihan, kamu beruntung bisa punya pilihan,”
“Pilihan apa?”
“Pilihan apapun, sangat utama pilihan kamu untuk bersama Bang Alfa,”
“Itu bukan pilihan, itu...,” lama Sila menemukan kata yang tepat.
“Pengabdian, kamu dokter kamu Ibu kamu istri, kamu perempuan luar biasa,”
“Kamu ngomongin apa? Sekarang kenapa ngajak kesini, kayak orang pacaran jadinya, kasihan Kala dan Ibu di rumah sakit,”
“Mereka akan baik-baik saja,”
“Baik-baik saja? Maksud kamu?” Sila menatap dalam Arka, “Alfa, jangan bilang kalau dia kenapa-napa,”
“Pengabdian kamu selesai, La.”
“Ar.. ka, kamu jangan bercanda,”
“Subuh tadi abang meninggalkan kita,” Arka tertunduk, bulir cristal bening mengalir, Sila seakan tidak percaya, lalu kenapa dia sekarang duduk di sebuah Mall dan makan enak.
“Kamu jahat membiarkan aku disini,”
Sila lari keluar tanpa memperdulikan Arka, Sila menjerit di rumah sakit, Randu menenangkannya.
“Alfa, mana?” Sila sesenggukan.
“Aku antar, ayo, tapi tenanglah,”
“Al fa, Ran. Dia nggak apa-apa, kan?”
“Sil, tenang, Alfa nggak apa-apa,”
“Kata Arka dia udah nggak ada, dia bohong, kan?”
Sila melihat Alfa dan memeluk Ibu, Kala berpindah ke tangannya, anak 3 tahun itu belum tahu apa yang terjadi, dia hanya mengusap airmata di pipi Ibunya dan itu menambah pilu hati Sila.
Arka menyusul ke rumah sakit, semua mempersiapkan pemakaman Alfa.
“Dia sudah bahagia,” Sila memeluk erat Kala.
“Ibu sudah ikhlas, kamu juga harus ikhlas,”
“In shaa Allah,”
“Jika boleh Ibu tidak mau kehilanganmu sebagai menantu Ibu,”
“Sila tetap anak Ibu bukan sekedar menantu,”
Sila meninggalkan pemakaman Alfa. Cinta yang dimiliki Alfa itu lebih tulus dan murni dari siapapun.
“Silaaaa, ada Randu,”
“Iya, bu.”
“Hai,” Randu tersenyum manis ektika Sila keluar dari ruang tengah.
“Hai, apa kabar?”
“Baik Alhamdulillah,”
“Kala apa kabar?”
“Baik, kamu tumben kesini, ada angin apa?”
“Angin melamar kamu, aku serius, kan sudah boleh dilamar yang lain kamu,”
“Serius?”
“Aku nggak lagi bercanda,”
“Ya Allah, maaf, sudah ada yang lebih dulu,”
“Masya Allah, siapa kalau boleh tahu, Sil?”
“Ibu melamarku beberapa hari lalu, in shaa Allah Arka jadi suamiku,” Randu tersenyum getir. Kali ini dia dikalahkan lagi dengan lelaki anak keluarga itu. Dulu Alfa sekarang Arka.
Sila tersenyum menunduk.
Bjn, 27 Febr 2014


0 comments:

Posting Komentar