“Pa, kenalkan, ini
Ayla,” Dimas mengajakku masuk dan bertemu Papanya yang baru keluar dari ruang
keluarga.
“Kalian?”
“Ini pacar Dimas,” Dimas
sangat santai mengenalkan pacarnya.
“Maaaa, Mama ini ada
Dimas sama pacarnya,”
“Iyaaa,” terdengar suara
Mama bergegas menuju ruang tamu.
Orangtua Dimas terpana,
apalagi Mamanya yang baru keluar dari dapur. Ayla sangat santai, dia mampu
mengendalikan dirinya. Dia sudah menyadari posisinya di lingkungan Dimas.
“Assalam...,”
“Selamat sore, Om, Tante,” Ayla mendahului menyapa.
“Sore, kamu cantik
sekali, nak.”
“Tante juga, masih muda,
nggak sangka sudah punya anak yang bandel kayak Dimas,”
“Maaf ya kalau Dimas
bandel, dia dari kecil memang bandel, sampai kuliah juga dan kerja juga, bikin
pusing tante,”
“Eh, ayo duduk,” Papa
Dimas masih merasa kaget dan gugup.
“Kamu kenal Dimas
dimana? Tidak takut apa kata orang di luar?”
“Memangnya apa kata
orang di luar, Ma? Ngomongin yang lain saja, Ayla guru TK,”
“Owh, sudah berapa lama
kerja?”
“Dua tahun, tante.”
“Ma, ambilkan minum,”
Papa menyolek tangan Mama.
“Nggak usah, biar Dimas
yang ambil,” Dimas beranjak dari duduknya.
“Kamu kenapa bisa suka
dengan Dimas?”
“Mama, pertanyaan macam
apa? Anak Mama ini ganteng dan pintar, jelaslah dia suka sama Dimas,”
“Hush, lhooh kamu kok
nggak buatin jus atau teh?”
“Dia suka air putih
saja, kalau nggak percaya tanya saja sendiri,”
Ayla tersenyum dan Dimas
duduk santai lagi. Pertemuan pertama yang membingungkan bagi semua.
Suatu hari duduk di
taman sepulang kerja.
“Kamu tahu kalau aku?”
Ayla mengangguk lemah.
“Kenapa tidak bicara?
Tidak tanya? Kenapa mau aku ajak pacaran? Kamu kan anti pacaran?”
“Siapa bilang kita
pacaran? Itu kan anggapan kamu, aku tidak bilang tidak atau iya, kenapa juga aku
bicara tentang Tuhan? Konsep Tuhan aku hanya satu ya Allah, jika kamu tidak
membicarakan Tuhanmu kenapa aku harus bicarakan Tuhanku, ada Ayat jelas Bagimu
agamamu dan bagiku agamaku. Kamu saja tidak pernah bertanya apa agamaku, apa
bentuk Islamku,”
“Sejak kapan dan tahu
darimana?”
“Ada salib di jari kamu,
kamu menutupinya dengan cincin batu, aku tidak sengaja melihatnya,”
“Kenapa mau aku kenalkan
ke orangtuaku? Kenapa memilihku?”
“Aku tidak memilih
siapapun, aku menganggapmu tidak sama dengan yang lain, kamu berbeda, aku
merasa kagum, kamu tahu? Jika tidak melihat salib di jari kamu aku pun tidak
tahu, kamu begitu paham tentang huruf hijaiah dan mengajari murid-muridku
seperti layaknya seorang ustadz, kamu begitu fasih membaca Ar Rahman
seakan-akan itu adalah mahar untukku, hatiku bergetar, tahukah kamu ketika itu
pula aku berkeringat dingin, aku tak sebaik itu dalam hafalan, tapi kamu yang
tahu Tuhan kita berbeda jauh lebih religi lebih paham tentang agamaku, betapa
malu dan tertusuknya, aku mau tahu kenapa kamu bisa hafal dan paham semua tentang
agamaku, kekagumanmu dengan Aisyah dan Mariam, rasa salutmu pada Muhammadku.
Itu yang membuat aku meneteskan airmata, lalu dari segi mana aku harus
menolakmu menjadi temanku, bahkan ketika fitrah rasa itu ada, bagaimana bentuk
penolakanku? Sedangkan hati dan fikiranku tak dapat menolak, maka kubiarkan itu,
dalam diamku aku sembunyikan semua.”
“Maka karena itu pula
aku menyukaimu, menjaga agar aku tak bisa menjamahmu bahkan dengan ucapan
sekalipun, tak ada ucapan mesra karena aku tahu bagaimana menghormatimu, aku
menyembunyikan kesalibanku karena aku sangat menghormatimu, bukankah rasa di
hati harus diungkapkan? Maka kuungkapkan saja, fikirku dengan diammu kamu
menerima tapi sekarang aku tahu, kamu tidak menerima dan tidak pula menolaknya,
aku semakin menghormatimu kini, kamu tahu aku ingin punya Aisyah dan aku mau
itu kamu, ini bentuk keyakinan taarufku seperti demikian rasa yakinku atas
Islamku tiga hari yang lalu, dengan tangis tulus dan ikhlas Papa dan Mama,”
Ada isak kecil menyertai
setiap kalimat keduanya, mereka menunduk, malu pada dunia dan pada Tuhannya.
Bjn, 28 Agust 2014
0 comments:
Posting Komentar