The
Phothographer
“Kamu suka sama dia?”
“Siapa?”
“Model
kamu itu?”
“Nggaklah,”
“Sejak
kapan?”
“Apanya?”
“Kamu
suka dia?”
“Nggak,”
“Nggak
usah bohong sama aku,”
“Sok
tahu,”
“Mata
kamu kelihatan, buta tuh cowok kalau nggak lihat kamu naksir dia,”
“Dia
sudah punya pacar bahkan mau menikah dan ini proyek foto prewedd mereka,”
“Nah
itu tahu, kenapa masih pelihara rasa ke dia?”
Kelana
diam, dia seakan telah ditelanjangi isi hatinya oleh sahabatnya.
“Kerja
itu pakai hati, bukan main hati, Lana kamu denger aku, nggak?”
“Iya,
masalahnya nggak pernah ada namanya cinta itu salah,”
“Iya,
siapa juga yang nyalahin cinta, disini tempat cinta bersemi yang salah, bersemi
di tempat tetangga, kamu jangan gila,”
“Aku
hanya suka, dan itu nggak pernah salah,”
“Rasanya
sakit, kamu akan ngerasain,”
“Memangnya
kamu pernah ngerasa?”
Damar
diam melanjutkan merapikan kamera-kamera.
“Lana,
kalau di outdoor gitu yang berkonsep bisa donk?”
“Bisa,
kalian bisa lihat hasilnya ini, murni, kalau kurang puas masih bisa ganti
lagi,”
“Ihh
kamu mah keren, kita sudah ganggu jadwal kamu terus foto ini itu tapi nggak
pernah jadi niat nikahnya,”
“Sampai
nggak ada waktu buat pacaran itu Lana, karena kalian suka banget di foto dia,”
“Sama
tuh Andini juga, nggak pernah ada waktu buat aku,”
“Curhat
broooo,”
Andini
nampak mencubit lengan Seto.
“Aku
pulang dulu, kamu bener nggak mau bareng aku?”
“Ennggak
Damar, Lana bisa pulang sendiri,” Lana senyum garing.
“Hati-hati
diculik vampir,”
“Aku
mau bareng kamu,” Andini berlari mengambil jaketnya.
“Lhooohh,
aku?” Seto kaget melihat pacarnya lari ke arah Damar.
“Kamu
sendiri saja, biasanya kamu mampir-mampir, besok aku harus kerja pagi, aku
pulang dengan Damar saja,”
“Okey,
hati-hati brooo, itu calon istri orang,”
“Siaaaappp,”
Damar
dan Andini bergerak pergi, Lana membersihkan studionya sendiri.
“Aku
bantu,”
“Nggak
perlu,”
“Nggak
apa-apa, daripada kerja sendiri,”
“Denger
apa?”
Lana
memasang headset di telinganya.
“Bukan
apa-apa, music biasa,”
“Kamu sama Damar kenapa nggak
pacaran?”
“Nggak, selera Damar bukan
kayak aku,”
“Tahu darimana?”
Lana berhenti sejenak,
berfikir, benar saja sudah 2 tahun kerja bersama tapi Lana tidak tahu bagaimana
selera Damar. Lana hanya sering mendengar Dania, Lisa, Sarah itu cantik di mata
Damar, mungkin Sarah selera Damar karena Lana sering mendengar nama itu
disebut. Model Damar yang paling alim.
Lana
mengambil kain background foto dan Seto membantunya, tangan mereka bertemu.
“Pulang
saja, katanya mau mampir-mampir,”
“Nanti
saja, nunggu kamu sekalian,”
“Aku
udah biasa sendiri, pulang nanti jam 11 an,”
“Eh
gimana kalau kita dansa?”
“Kamu
ngarang, aku nggak bias dansa, nggak ada music,”
“Ini
dunia luas, jangan denger music sendiri saja,” Seto melepas headset Lana dan
membuat load speaker.
Seto
menarik tubuh Lana, Lana seperti ingin mengelak tapi tidak bisa, mata mereka
bertemu. Jantung Lana naik turun, dia merasakan hal berbeda dalam setengah
pelukan Seto.
“Kamu
salah,”
Lana
mendorong Seto ketika bibirnya hampir bertemu dengan bibir Seto.
“Kamu
ini mau menikah, jangan gila,”
“Tapi
aku justru punya rasa suka sama kamu,”
“Itu
pelarian gila, pulanglah,”
“Hei, kamu juga suka
kan?”
“Suka apa?”
“Me, ada yang beda dari sikap
kamu, kamu suka sama aku? Sejak kapan?”
“God, kamu ada-ada saja,”
Seto menarik tangan Lana.
“Bilang kalau kamu sekarang
nggak suka, bilang kalau jantung kamu nggak naik turun sekarang, bilang kalau
keringat dingin di tangan kamu ini bukan karena aku,”
“Seto, please, sekalipun aku
suka hanya sebatas suka saja, kamu model aku,”
Bibir mereka bertemu ringan.
‘*******
“Aku suka sama Seto,”
“Apa? Maksud kamu?”
“Aku suka sama Seto, aku cinta
sama dia, pacar kamu, calon suami kamu,”
“Apa? Kamu gila? Kamu sadar
dengan ucapan kamu?”
“Iyah, kesadaran tingkat
sempurna,”
“Lana, kamu? Kalian sudah
bersama? Seto tahu?”
Lana diam.
“Jadi Seto tahu? Kalian
bersama? Kalian main belakang? Lana! Aku ini teman kamu, kalian tega ngelakui
itu?”
“Din, aku sama Seto nggak
bersama, demi apapun aku nggak sama dia, aku Cuma ngomong ini biar aku bisa jujur sama diri aku sendiri,”
“Bohong,”
“Din, aku serius, Seto memang
tahu kalau aku suka dia tapi kita nggak ngapa-ngapain. Kamu nggak percaya?”
“Nggak, aku nggak sangka kamu
begitu,”
“Aku Cuma mau jujur sama diri
aku, aku nggak bermaksud buat nyakitin siapapun, aku juga tersiksa dengan
perasaan aku ini,”
“Dia sering nggak ada kabar
pasti kalian sedang bersama,”
“Din, aku bilang kita nggak
bersama,”
Andini dan Lana diam.
“Ada apa?”
Seto masuk studio Lana.
“Ayo fotonya di mulai,”
“Nggak usah, nggak jadi, buat
apa ada foto ini,”
“Kenapa ini?” Seto menarik
tangan Andini.
“Aku tahu apa yang kalian
lakukan,”
“Lakuin apa?”
“Kalian selingkuh,”
“Hei, kata siapa?”
“Jujur, kamu!”
“Nggak ada! Aku tahu kalau Lana suka aku tapi khilafnya
kami hanya sebatas karena merasa kesepian,”
Andini
berlari keluar diikuti Seto, Lana mengikuti namun seketika tangan Damar
menariknya.
“Itu
urusan mereka, kalau kamu ikut semakin rumit nanti, disini saja,”
“Tapi,”
“Andini
butuh penjelasan tapi bukan dari kamu,”
“Aku
nggak pernah ngapa-ngapain sama Seto, kami ngobrol dan nggak ada yang lain,”
“Lana,
kamu tahu nggak selama ini kamu ngelihat ke arah yang jauh tapi kamu nggak
pernah ngelihat ke arah sisi dekat kamu, ada orang yang jauh peduli sama kamu
dibanding yang lain,”
“Maksud
kamu?”
“Rasanya
sakit kalau orang yang kamu suka malah suka sama orang lain, kamu tahu? Aku
ngerasain itu, pernah, sekarang, saat ini, karena orang yang aku suka itu
kamu,”
“Damar,
kamu,”
“Disini
saja,” Damar tidak melepas genggaman tangan di pergelangan Lana.
Lana
melihat Damar dan Damar melepaskan tangannya.
“Pergi
saja, jika kamu rasa baik,”
Lana
pergi. Damar membereskan semua alat foto.
“Rasanya
aku lebih membutuhkanmu entah sebagai apapun, aku mau tetap ada kamu disini,”
Damar terkejut ada yang memeluknya dari belakang dan dia hafal suara yang memeluknya itu.
Kantor Bjn, 4 Okt 2014 s/d 27 Okt 2014
Sepotong Cinta dalam Diam
Suatu
siang di sebuah acara GR resepsi.
“Nin, kenalin ini Wahyu,”
Si calon mempelai wanita
semangat mengenalkan temannya. Yang dikenalkan terdiam seperti menyimpan
sesuatu.
“Eh kalian apa nggak saling
kenal? Kalian satu sekolah,”
“Owh,
beda angkatan mungkin,”
“Ihh
Nina, kita satu angkatan, Wahyu ini teman main aku sejak lama, Mas Bimo juga
kenal lama, teman main futsal,”
“Owh,
aku nggak terkenal dan nggak gaul, jadi maaf kalau nggak tahu,”
“Eh
ya sudahlah, kalian pasangan yak, pendamping pengantin,”
“Lhohhhh,
nggak ada yang lain?”
“Nggak
ada, kalian sudah pas, memang ini yang aku mau, kedua temanku saling kenal,”
nyengir kuda si calon pengantin wanita ini.
Kedua
teman ini berdiri kaku dan keduanya diam.
“Kenapa
mengaku tidak kenal?”
“Daripada
dicampakkan lebih dulu dibilang nggak kenal, aku yang bilang dulu saja, sudah
biasa sakit hati soalnya,” melihat sesaat ke arah Wahyu.
“Kalau
begitu maaf, Nin.”
“Maaf?
Buat apa? Nggak perlu minta maaf ribuan kali, nggak ada yang perlu dimaafkan,”
^------^
“Aku
mau buat sesuatu yang istimewa buat acara resepsiku, Mas Bimo sudah buat
semacam puisi, aku juga mau buat puisi balasan, aku bacakan ketika di resepsi
dan Mas Bimo baca ketika acara akad. Tapiiiiii aku mau kamu yang buat, kamu kan
paling pinter tuh dengan kalimat-kalimat romantis, nanti aku cerita dari awal
sama Mas Bimo awal ketemu sampai memutuskan nikah,”
“Aku
kan belum pernah nikah kog kamu suruh buat puisi-puisi nikah?”
“Pokoknya
dari hati, haruuuusssss.”
“Iihh
teman macam apa, memaksa,”
“Kamu
dan Wahyu kenapa tidak saling kenal?”
“Memangnya
satu sekolah muridnya 5? Muridnya ratusan, ada anak IPS ada anak IPA ada anak
Bahasa, kamu ini, terus aku apa disuruh absen satu-satu,”
“Hihi,
aku mau nge-jodohin kalian, aku fikir kalian sudah saling kenal, kalian itu
mirip,”
“Mirip
darimana?”
“Yang
satu flat yang satu meletup-letup, yang satu nerimo* yang satu nggak nrimoan*,
kalian adalah doaku yang masih menggantung di langit,”
Nina
dan Salma saling berpandangan, Nina haru menatap sahabatnya itu. Dalam hati dia
sangat meminta maaf karena dalam kenyataannya Nina mengenal Wahyu.
^------^
“Sa,
beneran pakai kain ini? Bisa jalan apa aku ini?”
“Bisa,
kan sudah sedikit feminin, ada Wahyu yang bakal nangkap kalau kamu jatuh,”
“Bangun
sendiri juga bisa,”
Ketika
sang calon mempelai pria berteriak melafalkan ijab, semua tertawa, hafal di
depan teman-teman begitu depan penghulu selesai, hafalannya hilang.
“Mereka
itu sahabat, tidak saling tahu ada cinta diantara mereka, mereka adalah
pertemuan doa di langit yang akan menjelma ke bumi. Terkadang jodoh itu aneh,
dicarinya jauh-jauh ternyata yang dekat begitu setia menanti,”
“Pacar
kamu nggak ikut datang?”
“Masih
di Langit,”
“Belum
menjelma ke bumi?”
“Belum,
cinta itu mengisi diantara jari-jari kita, kalau mau bersama pasti keduanya
mampu melawan dunia,”
“Kalau
kita? Cinta seperti apa yang kita punya dulu?”
Nina
berdesir mendengar ucapan Wahyu.
“Masihkah?
Cinta yang masih menggantung pada lafal doa di langit, jika tertulis di lauh
mahfuz dengan ucapmu itu cinta yang menjelma ke bumi,”
“Lalu
harus seperti apa kita?”
“Seperti
ini saja, tapi biasakanlah saja, jangan membenciku karena sebenarnya aku tak
mampu untuk kamu benci,”
Hening.
^------^
Kalian tahu? Banyak cara untuk bertemu
entah mata, entah kata, entah doa,
bersabarlah menunggu hingga ketiganya
terwujud.
Aku menunggu karena percaya
Setiap kata tak akan kau ingkari
Kamu tahu?
Betapa aku sangat bersyukur
Lelakiku itu kamu,
Aku belajar dari tanah yang menyerap
tiap titik hujan
Bahwa setiap yang jatuh butuh tangkapan,
Bukan dibiarkan berserakan
Dulu kita adalah manusia tanpa nyali
Ya tanpa nyali untuk saling berpelukan
Hanya diam-diam menginginkan dalam doa
Doa itu masih menggantung di langit, itu
kemarin
Hari ini, aku sungguh ingin berucap
ribuan kali
Hei kamu lelakiku, disini aku dan
sajadahmu menunggu
Setiap hari akan begitu
Dengan keyakinan yang merayap khusyuk
Doa itu menjelma ke bumi
Berwujud kita dalam janji kalimat suci
Dengan saksi ribuan malaikat
Maka disini sajalah
Akan aku cintai kau dengan sederhana
Dan biar pula aku cintai kerumitanmu.**
Nina
mengusap airmatanya yang menetes, sahabatnya itu paling bisa membaca puisi
dengan melibatkan hati.
Wahyu
hanya melirik memberinya selembar tissue.
Acara
resepsi selesai dan acara foto gila-gilaan dengan pengantin selesai pula.
“Aku
suka puisi itu, terimakasih istriku,”
“Heh,
aku disini, jangan difikir dunia milik kalian,”
“Nina
kan paling jago buat puisi cinta, kata-kata pujangga, nggak tahu itu anak
lahirnya di negeri dongeng mungkin.” Salma menunggu Bimo membuka pintu kamar
hotel.
“Nina?”
“Iyah,
Nina,”
Wahyu
terdiam dan berfikir sesuatu. Dia berjalan mundur dan seperti berfikir keras
lalu dia lari menghamburkan seluruh kotak kado di tangannya.
“Mau
kemana? Maka disini sajalah, akan kucintai kau dengan sederhana, dan biar pula
aku cintai kerumitanmu, biar doa itu menjelma ke bumi,”
Wahyu
mendekap Nina dari belakang, tangannya melingkar di leher Nina. Kalimat puisi
yang masih diingat Wahyu menjadi bisikan yang mengejutkan di telinga Nina.
“Ciiieeeeehhhh,
katanya nggak kenal??? Kog sudah berani main pelukan,”
Wahyu
melepas pelukannya dan Nina menoleh ke belakang melihat Wahyu dan sahabatnya
yang baru menikah.
“Bukankah
kamu suka pelukan dari belakang, lebih drama katamu dulu,”
“Ini
sih drama banget,”
“Mereka
itu saling kenal, aku tahu, pura-pura saja tidak tahu, teman satu sekolah kog
tidak kenal, Nina itu terkenal di sekolah, jadi mau bohong bagaimanapun
gelagatnya bisa di baca,” Salma dan Bimo tertawa.
Catatan : *nerimo
(Bahasa Jawa) = menerima
**puisi yang
dirangkai dari kalimat-kalimat Aqmarinna Q A plus aku tambah-tambahin.
Kantor Bjn, 19 Sept 2014
Sigaring Nyowo
Ini kisah keluargaku, keluarga
kecil yang sederhana dengan segala masalah yang berliku dan tawa yang menggema.
Pagi ini ku lihat dia, Ibuku,
dia adalah sosok tangguh, lihat saja dia sudah membesarkanku hingga 25 tahun
usiaku, apa yang mampu aku beri? Belum banyak, kuharap kelak aku memberi tiket
ke tanah suci. Aahh itu mimpi orangtua dimanapun terhadap anaknya. Tapi Ibuku
ini, apa yang harus aku katakan tentangnya, dia pejuang, dia pernah bilang tidak
mau apapun dariku hanya mau aku bahagia dan punya keluarga kecil yang
menentramkan jiwa.
Ini
kisahnya, hampir tak pernah aku melihat ada airmata di wajahnya, itu yang
membuatku juga bertahan. Ya berjuang bertahan untuk tidak meneteskan airmata,
jika tidak karena beliau maka sudah tumpah ruah air mata ini membanjir.
“Bu,
meriang ini,”
“Oalah
sini Ibu kerokin ya, Ibu balur dengan minyak angin,”
Maka
terjadilah adegan tidak enak dipandang
siapapun, edisi kerokan karena masuk angin. Sentuhan tangan beliau adalah
obat. Obat yang tidak bisa ditemukan dimanapun, bahkan dokter tidak bisa
menjelaskan tentang sentuhan itu.
“Makanya
punya istri, Le. Kamu ini punya pacar tidak?”
“Ahh
Ibu, nggak mau punya pacar, punya istri langsung, doanya saja,”
“Aamiin,”
Maka
setelah lukisan tulang ikan jadi, itu adalah bentuk kehangatan tersendiri.
“Apa
yang Ibu lihat dari seorang Bapak?” aku melirik Bapak yang sudah tidur pulas di
ranjangnya.
Aku
tidur di pangkuan Ibu.
“Le,
lelaki itu dipegang dari bicaranya, pernah lihat kisah Habibie yang begitu mencintai Ainun, dia bilang akan satu atap
dengan Ainun. Maka Habibie tak pernah lepas jauh dari Ainun. Pernah lihat kisah
Mahabharata, para Pandawa ingin membayar penghinaan atas Drupadi dan mereka melakukannya,
Atau kisah Romeo dan Juliet,”
“Ibu
memegang omongan Bapak?”
“Beliau
melamar Ibu tanpa berjanji apapun, tapi beliau hanya janji tidak akan pernah
membuat Ibu menangis, beliau tidak berjanji akan ada harta dan intan permata
untuk Ibu, Ibu ada disini karena itu,”
“Sekalipun
tidak ada airmata dari Ibu untuk Bapak?”
“Ibu
menangis bukan karena Bapak, Ibu justru bangga kepada Bapak, ingat tidak ketika
seorang suster bertanya 1 sampai 10 berapa tingkat level sakitnya, Bapak
menjawab 9, Ibu tahu itu jawaban untuk angka 10, Bapak menjawab 9 karena pasti
tahu akan ada rasa sakit setingkat 10. Jika Ibu mau maka Ibu akan menangis saat
itu juga dan memeluk Bapak, Ibu tidak melakukannya karena ada kamu, Ibu mau
kamu kuat karena Ibu juga kuat, Bapak sudah kuat bertahan untuk kita sejauh
ini, Bapak yakin mampu maka dari itu kita juga harus yakin mampu,”
“Kalau
Fahri punya istri mau yang seperti Ibu,”
“Jangan,
Le. Garwo itu sigaring nyowo, bukan seperti ini dan itu, dia hadir melengkapi
hati, jiwa, raga, yang mau nerimo kamu dan keluargamu, yang mampu jadi
penyejukmu, pengingatmu di jalan Allah.”
“Mana
ada orang seperti itu?”
“Cari
pakai ini,” Ibu menunjuk ke dadaku “bukan pakai ini,” menunjuk lagi ke mataku.
“Susah,”
“Matanya
di letakkan disini,” Ibu menunjuk dadaku lagi dan kali ini mengelusnya.
“Kalau
ada tapi dia ternyata,”
“Apa?”
“Tidak,
Bu. Tidak jadi, Ibu sare saja, gantian nanti, biar Fahri yang jaga,”
“Ya
sudah,”
Ibu
beranjak tidur.
Sudah
tidak terhitung Bapak masuk ICU, sudah hampir 1,5 tahun Bapak menjadi pasien yang
harus selalu menjalani hemodialisa. Dalam waktu tersebut tak sekalipun Ibu
pernah terlihat mengeluh.
Aku
suka berfikir cinta seperti apa yang orangtua kita punya. Bisa dilihat di layar
tv setiap ada program infotainment selalu ada artis yang kawin cerai.
Aku
anaknya saja melihat Bapak yang menahan sakit rasanya mau menangis dan ini
Ibuku, istri yang menemani Bapak dari muda hingga kini, dari tak punya apapun
hingga ada semua. Ibu macam apa itu, atau beliau adalah malaikat di rumah kami.
“Aku
mau digendong Akung,”
“Eh
Aish jangan nakal, Akung lagi sakit, sini digendong Om saja,”
“Aish
mau sama Akung,”
Rengekan
bocah yang dekat dengan kakeknya itu terlihat miris. Bapak tidak lagi bisa
menggendongnya, bermain saja harus dibatasi.
Aku
begitu sentimen ketika sering kali Bapak merasa gatal dan Ibu mengelusnya,
manjanya Bapak terlihat. Sabarnya Ibu ketika Bapak sering marah karena memang
tekanan darah suka berubah-ubah.
Yang
aku paling ngeri adalah ketika pemasangan selang di selangkangan paha, itu
sudah pasti sangat sakit, aku tidak sanggup melihat Bapak ketika melakukan cuci
darah. Aku lebih baik di luar mengobrol dengan beberapa keluarga pasien
lainnya. Kini Bapak sudah di pasang cimino, itu lebih praktis, tapi bukan tanpa
sakit. Cuci darah yang berlangsung kurang lebih 5 jam mampu membuat yang
menunggu merasa bosan dan ngeri, tapi si pasien justru tersiksa dengan rasa
mual, pusing dan keram.
“Bapak
semakin kurus ya, Mas,”
“Doakan
saja semakin sehat, kita mengusahakan yang terbaik buat Bapak,”
“Kasihan
Ibu,”
“Dia
srikandi, nggak mungkin kalah sama keadaan, kecuali kalau Ibu melihat kita
menyerah,”
“Semoga
tidak, Mas,”
“Maka
kita bertahan semampu kita, jangan menangis,”
“Rasanya
kadang tidak kuat menahan tangis,”
“Laki
kok nangis,”
“Memangnya
tidak boleh,”
“Punya
sandaran hati baru boleh nangis,”
“Punya,
Mas. Sandaran hati saya kuat karena DIA sang pemilik hati dan semua isi dunia
ini,”
“Pacar?
Mana pacar kamu si?”
“Di
luar kota, bukan pacar, kawan,”
“Tahu
tidak keadaan orangtua kamu?”
“Jangan,
nanti kefikiran,”
“Memangnya
tidak boleh ikut mikir?”
“Jangan
bicara tentang dia dulu, Mas.”
“Kenapa?
Kalian berantem?”
“Nggak,”
“Lalu?”
“Rumit,
Mas.”
“Dia
suka segala bentuk kerumitanmu, simak ini,”
Akan aku cintai kau dengan sederhana
Dan biar pula aku cintai kerumitanmu
Mas
Teguh menyodorkan handphonenya, jejaring sosial berlambang burung biru itu
menunjuk satu akun, nama itu tak asing buatku.
“Sejak
kapan Mas berteman dengan dia?”
“Sejak
mau tahu tentang dia,”
Aku
terdiam. Melihat Bapak dan Ibu bersama puluhan tahun membuat aku berkiblat
memiliki keluarga yang juga hingga akhir hayat. Ada satu tembang jawa
asmaradana yang menurut saya indah, kira-kira seperti ini .
“Gegaraning wong akrami
Dudu bandha
dudu rupa
Amung ati
pawitané
Luput pisan
kena pisan
Lamun gampang
luwih gampang
Lamun angèl,
angèl kalangkung
Tan kena
tinumbas arta “
Berikut ini
jika liriknya diterjemahkan dalam bahasa indonesia.
"Landasan
orang berumah tangga,
Bukan harta
bukan rupa,
Hanya hati
bekalnya,
Gagal sekali
berhasil ya sekali,
Bila mau
menghadapi dengan mudah akan menjadi lebih mudah
Bila dihadapi
dengan berat akan menjadi berat,
Semua itu
tidak bisa dibeli dengan uang "
“Katanya
tidak suka hujan? Kenapa sekarang hujan-hujanan seperti anak kecil?” aku merasa
ada yang memayungi.
Aku
menengok dan dia ada disini.
“Kamu kapan pulang?”
“Langsung kesini dari stasiun,”
“Kucingnya kasihan, baru lahir,”
Akila manggut-manggut lalu “Apa kabar kawan?”
“Tak sebaik yang kamu lihat,”
“Baik-baiklah aku sudah disini,”
“Katanya
suka hujan?” aku menarik payung yang tidak terlalu erat di tangan gadis yang
kedatangannya baru saja membuat jantungku terkejut.
“Aaaaaa,”
kawan lama itu bernama Akila. Hujan itu sedikit membasahi tubuhnya dia berlari
ke koridor rumah sakit.
Aku
berjalan ke ruang perawatan Bapak. Langkah Akila yang kecil berusaha mengimbangiku.
“Tidak
kangen?”
“Tidak,”
“Yakin?
Nanti aku langsung pulang dengan kereta malam,”
“Ihh
nggak capek?”
“Nggak,
kan udah lihat kamu, kenapa? Masih belum mau jujur kalau kangen,”
“Tahu
darimana disini?”
“Dulu
kamu sering cerita,”
“Sudah
ketemu Ibu?”
“Sampun,
tadi ke ruang perawatan dulu baru cari kamu, nggak tahunya lagi galau
hujan-hujanan,”
“Nggak
galau,”
“Nggak
galau bukan berarti kuat,” Akila nyengir. “ada hujan dan ada matahari dan butuh
keduanya untuk melihat pelangi warna-warni,”
Akila
berjalan riang di depanku.
“Kapan
kita menyeberang jalan berdua lagi? Kapan kita bisa keliling kota di jalan yang
sama?”
“Hehe,
sebenarnya modus saja, tidak bisa menyeberang jalan biar bisa gelayutan di
bahu kamu, tidak pernah ingat arah jalan
karena aku punya peta hidup yaitu kamu,”
“Lalu
kenapa tak kamu bawa aku pergi bersama kamu?”
“Aku
bawa, disini,” menunjuk ke hatinya, “disini,” menunjuk ke kepalanya, “disini,”
menunjuk ke matanya.
Akila
itu seperti semangat buat orang di sampingnya.
“Bapak
tiba-tiba kejang, sekarang di ICU,”
“Masya
Allah,”
Akila
memacu jalannya menuju ICU.
Terlihat
Ibu duduk di depan ruang ICU dan aku menghampiri, sedikit basah aku bersandar
di bahu Ibu. Akila memeluk Ibu dari samping, keduanya tampak akrab walau baru
pertama bertemu, mungkin keduanya punya perasaan sama, perasaan seorang
perempuan.
“Ibu
masih ingat bagaimana Bapak meminta Ibu menjadi kekasihnya, Bapak menyanyikan
lagu jam 3 pagi di depan rumah Ibu,”
“Bapak
romantis ternyata,”
“Bapak
menyanyikan lagu kekasih dari Rhoma Irama,”
Akila duduk menyimak cerita
Ibu, tangannya menggenggam tangan kanan Ibu. Aku masih bergelayut di bahu Ibu.
“Bapak bukan hanya suami,
teman hidup, Bapak adalah sigaring nyowo, lebih dari teman,” tangan kiri Ibu
mengambil tanganku dan menggenggamnya. “teman itu bisa dicari, sigaring nyowo
bisa dicari dengan hati, terkadang merasa jauh tetapi hati tidak bisa jauh,
fikiran selalu dekat, garwo itu teman, bukan sekedar teman hidup, tapi teman
segala hal, berbagi sedih, suka, kata, cipta, keluh, resah, berbagi fikir,
kalau kalian nanti punya garwo, cintailah dengan hati, cobanya wanita ada
ketika sang pasangan sedang sakit dan lupa akan jalan pulang, maka cintailah
dan selalu ingatkan di jalan lurusnya,”
Dokter keluar dari ICU.
“Stabil, tidak apa-apa,”
“Terimakasih, Dok,” Ibu
berusaha berbicara dengan dokter tentang kondisi Bapak.
Tanganku menggenggam jari
jemari Akila tanpa sadar. Seakan aku meminta kekuatan dari dia.
“Semoga kelak kita menemukan
sigaring nyowo itu,”
“Aaamiin,” Akila mengamini
kalimatku.
Bjn-Pati, 19 Sept s/d 4 OKt 2014