Di pemakaman Ndaru aku masih melihat Aru terdiam, wajahnya pucat pasi, kali ini tak lagi ada airmata di wajahnya. Walau begitu aku tahu dia adalah orang yang paling sedih di bumi ini mungkin ketika dia menyadari harus kehilangan Ndaru.
Aku hanya berdiri di belakangnya dan percuma bicara banyak dengannya. Fikiranku melayang beberapa bulan lalu ketika pertama aku mengenal Aru dan Ndaru.
“Mmm… ini ternyata yang membuat hujan tak lagi turun akhir-akhir ini”
“Siapa kamu!” suara lantang
“Abi, pasti sering lihat, kita tetangga, kamar aku sebelahan tuh dengan kamar kamu,”
“Abi siapa? Aku tidak pernah tahu,”
“Owh aku juga tidak pernah lihat kamu,”
“Pergi! Mau apa disini?”
“Tidak lihat? Owh pantes mata kamu sipit begitu. Aku mau buang boneka aneh di jendela kamu itu,”
“Boneka? Jangan dibuang, kamu siapa? Berani membuang barang aku?”
Gadis berambut panjang meraba angin di depannya. Aku sebagai makhluk baru di depannya kaget melihat tingkah gadis canti itu.
Aku menggerakkan tangan kananku di depan mata si gadis dan aku melihat tidak ada respon.
“Hei, kamu?”
“Apa?” gadis dengan kulit putih dan bola mata indah merespon arah suara. “Buta? Ya aku memang buta,”
“Maaf,” aku berdiri perlahan di depan gadis bermata sipit itu. Wangi rambut si gadis tercium di hidungku. Aku terus memandang gadis ayu yang terus bergerak mencari suara.
“Pergi!” gadis di depanku mendorong tubuhnya hingga dia bergerak mundur.
“Aruuu.” Suara teriakan dari bawah mengagetkanku dan si pemilik kamar.
“Pergi, cepat, nanti ketahuan nenek!”
“Aruuu, buka pintu, ada siapa?”
“Sebentar, nek.” Aru mengusirku dengan gerakan tangannya, Aku segera turun dari balkon tetanggaku itu.
“Aru, ada apa tadi nenek dengar kamu teriak-teriak,”
“Tidak apa-apa, tadi Aru hanya latihan saja, siapa tahu ada yang mengganggu nanti di jalan.”
“Memangnya kamu mau kemana? Kamu ditemani Bi Is tiap hari, jadi Bi Is yang akan bantu kamu usir orang-orang jahat.”
“Aru mau jalan-jalan,”
Aku mendengar percakapan antara cucu dan nenek itu, beberapa saat kemudian terdengar suara pintu dan jendela ditutup oleh sang nenek.
Jantungku berdegup keras, jadi selama ini aku benar-benar punya tetangga orang Jepang dan itu benar-benar nyata. Lebih mengejutkan lagi tetangga kamarku itu tidak bisa melihat, itu yang baru aku ketahui.
***
“Hei,”
“Siapa?”
“Abi, tidak mengenali suaraku? Yang tempo hari kesini,”
“Mau apa lagi kamu?” Aru mendekati arah suara itu.
“Mau membalik boneka kamu, tidak kasihan apa dengan tanaman-tanaman di luar yang kurang air, sawahnya juga kekeringan, tidak ada hujan,”
“Hujan datangnya dari Allah, bukan dari boneka itu,”
“Iya, tapi lucu-lucuan saja boneka itu adalah penangkal hujan di Jepang,”
“Pernah ke Jepang?”
“Yeah Jepang?” Aku sedikit menyombong “tidak pernah,” Aku nyengir saat Aru mulai serius mendengar kalimatku.
“Jangan macam-macam dengan boneka itu,”
“Ihh tahu saja kamu kalau aku pegang boneka kamu,” Aru duduk di sisi tempat tidurnya dan mendengar tiap celoteh kata dari mulutku.
Ya Allah nama mereka memang hampir sama, dan kini mereka berpisah. Kulihat kesedihan Aru memuncak. Kali ini bukan hanya rasa sedihnya belum bertemu orangtuanya tapi juga sedih menerima kenyataan kekasih hatinya pergi selamanya.
Semenjak itu aku mengenal Aru dan aku juga mengenal Ndaru yang ternyata adalah penderita gagal ginjal akut. Masa mudanya habis untuk bersenang-senang bersama minuman keras, dan dia menyesal hingga detik terakhir hidupnya. Hmm manusia memang tak pernah dan jarang berfikir panjang.
Kini aku melangkah pergi setelah aku letakkan setangkai mawar merah di pusara Ndaru. Aku melihat Aru telah di gendong sang supir Pak Agus yang sudah puluhan tahun mengabdi di keluarganya. Aru tak lagi bernyawa rasanya, dia hanya mematung.
***
“Kamu kenapa memasang boneka teru-teru bozu di kamar?”
“Ndaru, setiap bertemu dia selalu hujan, padahal aku sudah buat janji untuk melihat bintang,”
Aku diam, aku tahu melihat bintang adalah hal yang tidak mungkin untuk Aru, tapi kata nenek dan kakeknya jika mereka bercerita tentang bintang Aru sangat menyukainya dan matanya berbinar.
“Kalau hujan ya hujan saja,”
“Ndaru, nenek dan kakek selalu bercerita tentang bintang, kata mereka bintang itu indah, bercahaya dan jumlahnya ribuan di atas langit sana. Kata nenek juga kalau ada bintang jatuh itu sebenarnya malaikat yang mengejar setan karena telah mencoba mencuri dengar rahasia langit, malaikat membawa panah.”
“Dan sebenarnya bintang jatuh itu adalah meteorid kecil yang jatuh ke bumi,”
“Ndaru juga pernah bilang begitu,”
“Bintang itu sebenarnya terbentuk dari awan berisi debu dan gas yang sangat besar dan bersinar karena ada proses pembakaran hidrogen menjadi helium. Dan sekarang ini bintang di langit semakin redup karena hidrogen habis, tekanan akan menurun, dan bintang pun lama-kelamaan mati.”
“Apa aku tidak akan bisa melihat bintang lagi?”
Pertanyaan Aru menyodok hatiku, beberapa waktu setelah kematian Ndaru, Aru melakukan cek kecocokan mata dan hasilnya mata Aru dan Ndaru tidak cocok. Daripada dipaksakan dan itu berbahaya maka Aru mengikhlaskan mata Ndaru buat orang lain.
“Masih bisa, nanti denganku saja melihatnya,”
“Darimana kamu tahu semua tentang bintang?”
“Baca buku,”
“Aku suka cowok pintar,” aku kaget mendengar kalimat Aru, kalau saja dia tahu, pipiku sudah bersemu merah saat dia bilang suka cowok pintar.
“Kita juga tinggal di City of Star, Milky Way, alias Galaksi Bimasakti ya tempat bumi kita berada ini karena terdiri dari jutaan bintang”
“Kalau aku dan Ndaru, nama kita disatukan artinya bintang pagi, Ndaru Aruna, Aruna Ndaru,”
“Iya?” aku tahu dalam ingatannya masih lekat nama Ndaru dan sampai kapanpun akan tetap ada Ndaru.
“Tahu tidak Bintang pagi itu adalah planet venus biasanya disebut bintang timur atau bintang kejora,”
“Kenapa planet venus?”
“Karena planet itu mengandung CO2 tinggi dan bila terkena sinar matahari maka cahayanya sangat terang, dan kita bisa melihatnya di pagi dan senja hari itulah kenapa disebut juga Bintang timur karena munculnya di timur,”
“Waahhh...,” Aru tepuk tangan dan tertawa mendengar penjelasanku, matanya yang sipit semakin hilang. “Kamu tahu banyak hal tentang bintang, Ndaru saja tidak banyak tahu,”
***
“Darimana saja kalian?”
“Mencari Mama dan Papa,”
“Aru jangan terlalu lelah nanti kamu bisa sakit,” nenek Aru menasehati ketika aku mengantarnya pulang.
“Aru tidak penyakitan, Aru hanya buta, Nek.”
“Aru jangan begitu, nenek hanya khawatir sama kamu,” aku meredam emosi Aru.
“Ya sudah naiklah ke kamar biar Bi Is buatkan makan malam dan susu hangat buat kamu,”
Aku mengantar Aru ke kamarnya atas isyarat kakek dan nenek Aru. Aku duduk di samping Aru ketika dia mulai pelan duduk di samping tempat tidurnya. Matanya bercahaya dan ada gurat harap yang sangat besar untuk menemukan Mama dan Papanya. Dari dulu Aru mencari Mama dan Papanya bersama Ndaru dia mendapat teman untuk membantunya berjuang.
“Kamu tahu kenapa aku memasang Teru-teru bozu itu?”
Kulihat mata Aru berkaca dan aku lebih memilih diam menantinya untuk meneruskan kalimat-kalimatnya.
“Mama dan Papa pergi ketika hujan turun dan mereka tidak pernah kembali atau mengirimiku kabar, kata nenek Mama dan Papa ke Jepang ada urusan bisnis dan telfon di Jepang mahal, apa mereka tidak bisa berkirim surat, tidak kangen kepada anaknya ini,”
Airmata Aru mulai menetes, dia mulai terisak di sampingku.
“Aku pasang boneka itu jauh sebelum bertemu Ndaru dan aku ingin tidak hujan karena aku ingin Mama dan Papa pulang, membawaku ikut bersama mereka,”
“Mereka pasti pulang, mungkin ada banyak alasan mereka tidak memberimu kabar,”
“Tapi aku mau mereka, aku kangen mereka.”
“Sabar, nanti kita cari tau tempat kerja Papa kamu dan teman-temannya lagi, masih semangat?”
“Terimakasih, Bi.”
“Aku pulang, makanlah dan minum susunya nanti, kita bertemu besok,”
“Tidak kuliah? Sepertinya akhir-akhir ini kamu jarang kuliah?”
“Iya... suka titip absen tapi besok ada kuliah pagi, aku kesini siang setelah kuliah selesai.”
“Iya, hati-hati.”
“Iya... selamat tidur,”
Aku memandangnya penuh haru, dia tegar dan sekilas kulihat kado kecil dari Aru dan Ndaru untuk Mama Aru tanggal 22 Desember nanti ketika Hari Ibu. Mereka pergi bersama dan memilih barang bersama, jauh sebelum Ndaru drop. Kado itu masih rapi di meja rias Aru.
Ketika aku menapaki tangga rumah Aru, tak sengaja aku mendengar nenek bicara tentang Mama dan Papa Aru. Ya Rabb aku tak percaya mendengar kalimat dari nenek.
“Aru tidak mungkin mencari Mama dan Papanya ke surga,”
Aku tercengang di depan nenek dan nenek kaget melihatku, kakek lebih bereaksi tenang menatapku dewasa. Nenek jadi berkaca dan bulir bening lepas dari matanya.
“Ayo kita bicara di luar, Nak.” ajak kakek padaku.
“Kek, yang aku dengar di dalam tadi tidak benar, kan?”
“Benar itu, Nak. Nenek tidak salah ucap atau mengigau atau bercanda,”
“Bagaimana bisa kalian membiarkan cucu kesayangan kalian mencari orangtuanya yang meninggal, mau dicari seumur hidup, Aru tidak akan pernah menemukan orangtuanya.”
“Nenek dan kakek akan bicara itu tapi tidak sekarang,”
“Kapan? Ketika kalian juga kehilangan Aru, karena kelelahan mencari Mama dan papanya?” aku sedikit emosi dan menahan seluruh amarah di dada, tidak terima perlakuan nenek dan kakek Aru.
“Kejadiannya ketika Aruna berusia 4 tahun, Mamanya asli orang Jepang dan Papanya anak Kakek, Siang itu mereka pamit mau ke Jepang, bersilaturahmi ke keluarga Mama Aru dan peristiwa pahit yang mengawali kejadian hari ini dimulai. Di ruas tol menuju bandara mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan, mereka sekarat. Papa Aru meninggal 3 jam setelah perawatan di rumah sakit. Dan mama Aru...,”
Kakek tertahan mengusap bulir bening di ujung matanya.
“Mama Aru?”
“Dia selamat tapi mengetahui kekasih hatinya pergi fikirannya tidak siap, dia hilang kesadaran hingga kini, dan detik itu ketika airmata Aru terus keluar dia juga kehilangan sedikit ingatannya tentang kematian orangtuanya,”
“Apa? Apa berarti Mama Aru gila?” aku tercengang tidak percaya dengan kata-kataku sendiri “maaf, Kek.”
“Iya, kamu benar, Nak.”
“Jadi Aru tidak sepenuhnya sia-sia mencari orangtuanya?”
“Jangan pernah bicarakan ini kepada Aru, tunggulah sampai dia benar-benar kuat karena kamu tahu dia ketika dia beberapa hari lalu kehilangan Ndaru.”
“Tapi, kek?”
“Kakek mohon, nak.”
Aku diam tidak bisa berbuat apa-apa.
“Terimakasih, Nak.”
“Lain waktu jika ada waktu, kakek ajak kamu jenguk Mamanya Aru.”
“Terimakasih, Kek mau berbagi cerita ini dengan saya orang asing di keluarga kalian.”
“Kamu bukan orang asing, kakek tahu setelah Ndaru kamu adalah orang yang dipercaya Aru dan disayang Aru.”
***
“Aku ajak kamu ke suatu tempat, tapi jangan takut, ada aku...,” ragu aku mengucap kalimat ajakan pada Aru.
“Mau kemana? Kenapa kamu khawatir kalau aku takut?”
“Tempat yang sangat asing,”
“Aku tidak akan takut, aku tahu Abi akan melindungiku dari apapun,” Aru tersenyum, dia tidak tahu wajahku sudah tegang karena aku akan mengajaknya ke suatu tempat dimana mamanya berada.
Jalanku goyah tapi aku tidak boleh mundur, semalam aku telah kompromi dengan kakek dan aku menang atas gugatanku jadi jika aku mundur sekarang percuma aku memenangkan perdebatan panjangku dengan kakek Aru.
“Rumah siapa?? Apa ini rumah sakit? Aku mengenal baunya,”
“Iya,”
“Mau jenguk siapa kita?”
“Temanku,”
“Sakit apa?”
“Aku juga kurang tahu, nanti kamu lihat saja,”
Aku dan Aru diantar seorang suster ke sebuah kamar, kamar itu begitu rapi dan wangi tidak ada bau obat khas rumah sakit.
Aku mendekat pada sosok wanita yang benar-benar mirip Aru, mata mereka sama. Aku mencium punggung tangannya dan Aru melakukan hal sama, aku menuntunnya.
Aru mendadak diam, dia sangat diam dan hanya merasakan hawa rumah sakit yang tak membuatnya nyaman. Aru mendadak duduk di depan Mamanya, dia diam dan Mamanya merasakan kehadiran Aru, dia memandang gadis di depannya dan meraba pipi Aru, aneh Aru diam saja, dia seperti menikmati belaian sang Mama.
Satu jam kami bertiga hanya berdiam diri di kamar itu, aku menangis melihat kedekatan batin keduanya. Aku mengajak Aru pulang dan kami hanya berdiam diri saja di sepanjang perjalanan pulang.
Aku hanya bisa bersyukur bahwa Aru tidak bertanya macam-macam. Aku mengajaknya makan dan aku mengajak dia ke salah satu atap gedung. Aku mau dia tahu bintang itu indah tanpa dia harus melihatnya, dari mataku saja dia bisa melihat bintang itu.
“Kemana?”
“Ke atap gedung,”
“Apa? Mau apa?”
“Lihat bintang senja,”
“Gila,”
“Tidak, hanya mau buat kamu tahu bintang senja,”
Dan Aru memegang pergelangan tanganku kuat-kuat lalu dia bersandar di lenganku, dia menangis sesenggukan, aku tak berani bertanya apapun. Tapi mungkin dia merasa kangennya kepada orangtuanya sudah sedikit terkurangi.
“Aku suka kamu ajak kesini, aku suka kamu bicara bintang dan aku suka kamu tidak pernah marah ketika aku menyebut nama Ndaru ribuan kali, aku suka kamu yang cerewet dan aku tidak suka ketika kamu tidak pernah bilang kalau kamu sayang ke aku,”
Aku terkejut mendengar ucapan terakhir gadis yang menangis di lenganku, aku hanya diam tak berkutik sedari tadi, bingung harus bagaimana.
“Terimakasih Abi,”
“Sama-sama,” aku tidak tahu untuk apa ucapan terimakasihnya itu dan aku tidak tahu mengapa aku menjawabnya juga.
Dan gadis tegar itu adalah Aruna Humaira, dia terlahir normal tanpa cacat tapi ketika usia 4 tahun dia mangalami trauma psikis hingga kornea matanya rusak. Aruna adalah pagi yang kemerah merahan dan dia adalah bintang pagiku. Dia gadis campuran Jepang Indonesia, dengan mata sipit dan rambut indah terurai khas Indonesia. Aku menyukainya entah sejak kapan, akupun tak menyadarinya ketika aku harus rela berjuang demi kebahagiaan gadis itu. Gadis tetangga yang suka memasang boneka teru-teru bozu khas Jepang.
Senin, 13 Februari 2012
" Teru-Teru Bozu "
"Kamu bodoh kalau mau meninggalkan dia,"
"Aku tidak mau meninggalkan dia, biar ragaku yang hilang tapi aku tahu, namaku dan cintaku akan tetap ada di hatinya,"
"Kamu tidak takut dia jatuh cinta denganku?"
"Bagus itu, jaga dia buatku...," kulihat nafasnya naik turun tak beraturan, aku menahan airmataku, baguslah Aru tak disini. Dan tiba-tiba dia diam ketika sosok perempuan yang dia kagumi datang. Wajahnya tersenyum manis, tenang.
"Tidaaaakkk, Ndaru kamu masih harus disini. Kamu harus lihat bintang," airmataku tak tertahan lagi, aku tahu tak lagi ada denyut jantung itu, nafasnya telah hilang. Selamat jalan kawan. Kan kujaga kekasih hatimu, janjiku dalam hati. Isak tangis Aru semakin dalam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 comments:
:) nice posting! blogwalking XD
terimakasih...
Posting Komentar