“Kamu,
kenapa nangis di depan sini? Tidak ada uang atau lapar?”
“Heeeeuuuu...”
“Kok tambah seru nangise mbak?1
Hadeeeeuuuhh,” lelaki kurus yang kegantengannya di tutupi dengan kupluk kucel
mulai garuk-garuk kepala.
“Nggak usah ngamen disini, nggak tahu
apa orang lagi sedih,”
“Naahh, saya juga lihat mbaknya lagi
sedih, nangis begitu makanya saya tanya,”
Mengusap airmata lalu si gadis pergi
dari depan sebuah rumah makan fast food.
“Lhooo, nggak sopan, main pergi saja,”
Lelaki itu memperkenalkan dirinya dengan
gagah.
“Bagus, nama kamu siapa? Bukan orang
sini, ya?”
“Bukan, kenapa? Mau macam-macam?”
“Halah mbak semacam saja saya repot kog
mau macam-macam, saya ngamen buat bantu adik-adik saya sekolah, bukan buat beli
rokok apalagi miras,” Bagus sedikit berbohong tentang jati dirinya yang
sebenarnya anak keluarga mampu.
“Eh mbak daripada galau nangis malah
saya yang dikira orang-orang sudah macam-macami mbak, bagaimana kalau kita
jalan-jalan? Malam minggu, lumayan,”
“Mau kemana?”
“Mbak kan bukan orang sini, saya ajak
ngamen ke Ngarsopuro,”
“Apa itu? Ngamen? Nggak aahhh,”
“Halah, ayoo ikut saja, tempatnya asyik
di Jogja nggak ada tempat kayak gitu, apalagi tempat asal mbak,”
Mereka jalan bersama, kadang Bagus di
depan dan kadang si gadis galak itu mengejar ke depan.
“Iihh... tunggu, kalau jalan jangan
cepat-cepat,”
“Kalau jalannya alus kayak mbak, kita
nggak bakal kebagian acara,”
“Semangat sekali, memangnya benar-benar
bagus apa?”
“Wiihh iya, sunmor UGM, sunmor mana-mana
kalah sama satnite Ngarsopuro, nggak ada tandingannya,”
“Iiiisshh, promo, nama kamu siapa?
Bagus?”
“Iya, kenapa Mbak? Cocok ya sama
mukanya?”
“Halah, muka ama hati kadang nggak
sepaham, nggak cocok,”
“Ehh, kamu ngapain nangis di depan Pizza
Hut tadi?”
“Cuma kelilipan,”
“Yakin? Kelilipannya sampai hati?”
Si gadis galak itu melirik, menatap
tajam sinis, lalu tersenyum.
“Kamuuuu, coba kamu stand up comedy gitu
pasti banyak yang lihat, ngakak, lucu,”
“Mbak aja kan lucu juga,”
“Lucu apa?”
“Sebentar-sebentar marah, galak,
sebentar lagi ketawa, sebentar lagi nangis, sebentarnya lagi mmm, romantis gitu
mbak, mumpung malam minggu sama cowok ganteng di Solo,”
“Halah, aku Kala,”
“Heiihh namanya aneh, Kala, Kala fajar
datang atau kala senja memeluk?”
“Kala tangis menjadi tawa,”
Mereka melanjutkan perjalanan mereka,
berjalan menyusuri trotoar jalan slamet riyadi.
“Tarrraaaaaa, ini dia, sampai juga,”
“Cuma sejalan ini?”
“Iya, kamu pasti puas menikmati
sepanjang jalan ini,”
“Let’s go to start our night,” Kala
berjalan dulu meninggalkan Bagus yang berdiri terpaku.
Di ujung permulaan Kala menikmati paduan
suara dari sebuah kampus di Solo.
“Ini paduan suara UNS, Sebelas Maret,”
“Yeaah, aku mendengar kesaktian mereka
di panggung paduan suara, Voca Erudita, pernah menang 3 medali emas di
Thailand, suara mereka menggema diantara paduan suara semua universitas di
Indonesia,” Kala memandang bangga dengan apa yang dilihatnya.
“Kamu lebih tahu banyak,”
“Iyalah,” Kala menyingkir dari paduan
suara itu, dia puas menikmati dan mendengar langsung suara-suara dari langit
paduan suara UNS.
“Kita dansa,” Bagus menarik tangan Kala
sebelum dia benar-benar menyingkir.
“What? I can’t,” Kala melotot menatap
mata Bagus.
“Kita harus berani melakukan hal baru, siapapun
yang bisa berjalan dia pasti bisa menari,”
Kala kikuk berdansa dengan Bagus apalagi
itu di hadapan banyak orang. Di akhir dansa mereka mendapat tepukan tangan dari
pengunjung.
“Waahh, ini lucu, itu juga,”
“Jangan bilang mau beli semua,”
“Iyaaahhh,” muka Kala memelas di depan
Bagus.
“Nanti saja, uang ngamen tidak cukup,
kita cari makan saja,”
Bagus berjalan ke arah Pasar Triwindu.
“Ini pasar barang antik, kalau siang
kamu bisa cari apa saja yang antik-antik disini,”
“Pasar Triwindu,”
“Iya, kamu tahu itu, sejarahnya dapat
nilai A?”
“B, cowok kayak kamu bisa di jual
disini? Soalnya kamu antik,”
Bagus melotot dan Kala merasa mau
diterkam lalu dia berjalan mencari lesehan.
“Saya pesan nasi liwet, teh panas 1, eh
kamu makan apa?”
“Sama,”
“2 Bu, maturnuwun”
“Iihh sok imut,”
“Memang masih imut, kamu itu sudah tua,”
“Tua begini yang naksir banyak, boleh
tahu nggak?”
“Nggak, nggak boleh minta nomor hape,
nggak boleh tanya alamat Jogja dan alamat asal, itu perjanjiannya.”
“Eh kapan buat perjanjian macam itu?”
“Baru saja,” Kala nyengir.
“Iiiissshh, kalau umur dan tempat
kuliah? Terus kenapa kamu nangis di depan PH tadi, boleh?”
“Umur 19, masih kuliah di kampus keren
di Jogja, beasiswa, putus sama pacar, mmm salah, ditinggal kawin tepatnya,”
“Dia lebih tua? Atau dia yang...,”
“Dia nggak oke, dia 27, iihhh, beraninya
pacarin anak kuliahan buat seneng-seneng doank, ternyata sudah punya calon
istri, aaiihhh, rasanya itu kayak ada pesawat meluncur tepat diatas kepala,
wwwuuussshhhh, disuruh ke Solo Cuma buat lihat dia duduk di pelaminan sama
putri Solo,”
“Owh, asal kamu mana?”
“Bandung,”
Nasi liwet dan teh panas datang di depan
mereka, mereka menikmati malam minggu mereka.
“Aku nanti mau foto donk di patung
gamelan-gamelan itu,”
“Boleh nanti aku fotoin, kamu nggak mau
beli apa gitu?”
“Kamu yang beliin? Aku mauuuu?” melirik
nakal sambil senyum simpul tertahan.
“Iiihh, dasar nakal, kalau begitu kita
ngamen dulu,”
Mereka berjalan santai hingga ujung
melihat-lihat apa saja yang dijajakan di night market Ngarsopuro Solo. Selama
punya pacar anak Solo, Kala tidak pernah punya cerita menarik tentang Solo.
“Anak sekolah begitu apa disuruh gurunya
atau bagaimana?”
“Biasanya mereka promo kesenian
sekolahnya untuk menjaring siswa baru tahun ajaran baru,”
“Katanya mau ngamen ayo mulai,”
Berdiri di trotoar yang meremang, di
depan patung loroblonyo, Kala mengambil nafas panjang untuk memulai
teriakannya.
“Pengunjung sekalian, ehem-ehem, mohon
perhatiannya sedikit saja, mmm sebentar saja, mau numpang ngamen sebenarnya
tapi kalau kalian suka boleh kasih apresiasi sedikit ke kita, kalau nggak enak
denger saja sampai selesai, jangan pergi juga, owh iya kita nggak minta banyak,
nggak minta aneh-aneh, kalau bagus ya silahkan isi apa saja di...,” Kala
mencari sesuatu, lalu dia menemukan topi kucel Bagus yang dipakai menutup
rambut ikalnya. “Ini, masukkan selembar dua lembar bolehlah,”
“Kala, kamu,”
“Will see, katanya kita harus berani
melakukan hal baru, ini belum pernah aku lakukan sebelumnya,”
“Nekat,”
Kala membisikkan sesuatu di telinga
Bagus, semacam lagu dan kunci gitar yang Kala mau.
Lagu pertama jazz Satu Jam Saja dari
Sazkia Gotik di medley dengan Cinta Satu Malam dari Melinda. Semua menikmati
penampilan Kala, gerakan yang ditampilkannya minimalis tapi menghibur.
“Terimakasih,” ucapan lirih Kala mampu
menyihir semua yang datang membenntuk lingkaran itu bertepuk tangan, kupluk
kucel itu sepertinya enggan beranjak karena penuh terisi.
“Okey, siapa yang nggak kenal acara
stand up comedy? Mmm banyak artis yang lahir dari acara itu, now, temen saya
mau coba buat ber-stand up comedy, dia lumayan lucu, kalau nggak lucu timpukin
aja pakai uang, hehe,”
Pengunjung tertawa sekilas, melihat
Bagus yang hanya terkaget-kaget dan bengong dengan gitarnya.
“Show it, beb, katanya kita harus
berani,”
Kala menyambar gitar, dia memainkannya
pelan mengiringi Bagus. Bagus yang masih merasa dibawa melayang Kala mencoba
berkompromi dengan dirinya. Kalau ngamen saja dia berani kenapa stand up comedy
dia kaku akut.
“Selamat malam, mmmm serak ini suara
saya, gemeter juga sih, bukan karena malam ini dingin tapi karena memang saya
tegang, uupppsss,”
Bagus menarik nafas panjang melihat ke
arah Kala. Dia heran dan kagum dengan Kala, dia bisa memainkan gitar. Bagus
bingung.
“Tema kita apa ya? Mantan, kayaknya
kalau semua yang disini ingat mantan, banjir mungkin ya Ngarsopuro ini,”
Bagus melihat ke arah Kala, Kala hanya
tersenyum.
“Apa sih... Ehem-ehem, selamat malam
penggemar,”
Kala mulai nyengir.
“Kita bicara mantan, siapa yang pernah
disakiti mantan sampai jleb-jleb, bahasa anak jaman sekarang kan gitu, hastag
jleeebb, hastag tragis, hastag kamu, iyaaa kamu,” Bagus menunjuk Kala,”
Kala nyengir lagi dilihat banyak orang.
“Oke, Mantan itu biasanya ngeri, coba
kita lihat mantan NAPI, wow, mantan pemakai, mantan boyband, mantan ustadz,
wow... tapi jarang yak yang mantan ustadz, naaahh kalau mantan-mantan tersebut
mengerikan berarti mantan kita mengerikan donk, terus ngapain inget orang yang
mengerikan, di ingat, di elus fotonya, di kenang, oii emang mantan kalian
pahlawan pakai acara dikenang?. Sekarang mantan yang ngeri aja udah punya lagu,
mantan terindah liriknya mau dikatakan apa lagi kita tak akan pernah satu,
engkau disana aku disini meski hatiku memilihmu,” Bagus sedikit menyanyi. “ Nah
udah tahu engkau disana aku disini, jauh ngapain juga pakai acara pacaran, LDR?
Wiihh lagi musim itu, long distance relatif selingkuh, iyalah nggak ada yang
tahu kan kerjaan pasangan masing-masing, yg tiba-tiba bilang ‘sayang kamu lagi
ngapain? Kok suaranya gitu?’ yang cowok nih ‘iya sayang eeehh anu eeehh, ini
bantu teman angkat buku dari perpus’ jiaahh nggak tahunya aaahh eeehh nya
gara-gara dorong mobil selingkuhannya” hampir semua tertawa melihat aksi gerak
tubuh Bagus.
“Lagu yang lain mantan terbaik, liriknya,
apa kabar kamu kekasih masa laluku, nggak ada sehebat kamu, teruuuss kalau hebat
ngapain jadi mantan? Pakai acara tanya kabar pasti nanti ditanya ‘Ihh kepo
banget seehh’. Kadang tuh cewek alay gitu aneh, nggak mau inget-nget tapi
buka-buka fb, twitter, path atau IG mantan abis itu nangis bombay ‘hwaaa dia
udah punya pacar baru’ yaelaahh kalau dia udah move on elo juga harus bisa move
on keleesss, okey saya Bagus, selamat malam semua.”
Semua yang ada bertepuk tangan, Bagus
membungkuk memberi salam hormat.
Kala menyudahi iringan musik slow
pengiring standup comedy Bagus. Lagu penutup dari Kala, i heart you dari Smash
versi akustik beat, dia yang bernyanyi.
“Hmm nyindir bicara mantan,”
“Iihh suara kamu keren, belajar dimana?
Apa orang Bandung memang dilahirkan dengan suara yang keren?”
“Biasa saja, suara kamu juga keren,”
“Pengamen jalanan kok keren, dilihat
darimana? Kalau muji itu dilihat, ditimbang, diraba juga boleh,” Bagus menengok
ke arah Kala tapi Kala tidak ada di belakangnya. Kala berdiri di depan tukang
bakso bakar.
“Perasaan habis makan,”
“Lapar, kan habis terkuras buat nyanyi,”
“Suara mbak bagus,”
“Terimakasih, matursuwun, mas,”
Kala lahap makan bakso bakar di
tangannya.
“Kamu mau belikan aku apa? Katanya kalau
dapat uang banyak mau dibelikan sesuatu?”
“Mau apa?”
“Mmm, topi itu,” Kala menuju ke stand
penjual topi.
“Yakin mau ini saja?”
“Kamu pakai ini,” Kala memilihkan Bagus
sebuah topi, “Ini fedora buat kamu biar mirip Justin Timberlake dan aku pakai
ini, bowler derbi,”
“Jangan ini,”
“Iiihhh, sekali-kali ngamennya kece
sedikit,”
“Ini nggak bisa dipakai hari-hari,”
“Newsboy cap?” Kala masih tetap suka
fedora kecil yang dia pilih pertama.
“Iyes ini saja boleh, coklat saja,
netral,” akhirnya Bagus mengiyakan fedora kecil ketika membayar.
Kala dan Bagus berfoto ria di patung
gamelan di sisi jalan Ngarsopuro.
“Ini bagus,”
“Rambut kamu asli begitu?”
“Asli, nggak mau kalau dibentuk-bentuk,
udah cakep begini rambutnya,” Kala tersenyum sambil menaikkan pundaknya,
topinya manis menutup rambutnya.
“Kamu ikal begitu asli atau?”
“Asli, Ibu aku lurus, bokap yang agak
ngombak begitu,”
“Hmm, perpaduan kalau begitu,”
“Kamu kuliah jurusan apa? Musik?”
“Mmm,” Kala menggeleng pelan.
“Hukum, maunya Ayah aku jadi notaris
atau pengacara gitu, tapi aku suka di HI, jadi aku ambil double degree, hehe,
ya konsekuensinya harus bayar sendiri karena orangtua nggak tahu, untung yang
satu beasiswa, jadi uang saku bisa full buat bayar kuliah di HI,”
“Hebat kamu,”
“Biasa saja, kamu hebat masih muda sudah
bantu orangtua cari uang,”
“Apa keinginan kamu sampai kamu ambil 2
jurusan?”
“Mmm apa, ya? Maunya keliling dunia, mmm
maunya sederhana sebenarnya jadi Ibu yang baik like my mom,”
“Mmm, kenapa tidak merebut pacar kamu
lagi?”
“Mmm, dia itu baik, kadang ada hal yang
di luar batas keinginan kita, kayak Ayahku yang mau aku kuliah di Hukum,
mungkin dia juga sedang memenuhi keinginan orangtuanya untuk menikah, mungkin
anak ingusan kayak aku nggak bisa diajak serius,”
“Setelah selesai kuliah langsung balik
Bandung?”
“Mungkin, kalau nemu cinta di Jogja
maunya nggak balik,”
“Kalau nemu cinta di Solo?”
“Haha..., siapa ya yang dari Solo, teman
kampus kebanyakan dari luar Jogja dan Solo,”
“Aku?”
Kala terdiam, melihat lalu lalang
orang-orang yang membungkus dagangan mereka karena Night market ini mulai
menepi dari hingar bingar dunia.
“Eh kita ini kayak di film-film gitu,
tahu film yang before sunrise, before sunset, before midnight, kita berdua
kayak di dalamnya,”
“Berarti kamu berharap masih ada kisah
lain diantara kita?”
“Mmm,” Kala sepertinya salah mengucapkan
kalimat, “Eh itu ada kaos bagus, sini,”
Kala berlari ke arah pedagang yang
sedang mengemas semua barangnya.
“Ini masih dijual?”
“Kaosnya? Iya, mau ambil berapa?”
“Ini sepasang? Saya beli,”
“Buat apa?”
“Lucuuuu, ini buat kamu satu dan buat
aku, yeaahh Mas Bro dan Mba Bro,” Kala nyengir membaca tulisan di kaosnya.
“Abegeh,”
Kala memanyunkan bibirnya.
“Kita jalan lagi cari yang
hangat-hangat, banyak angkringan disini,”
“Tiap malam ngamen sampai jam berapa?”
“Suka-suka, kalau suaranya enak ya
sampai dini hari kalau nggak mood sejam saja sudah kelar,”
“Owh, semangat!” Kala menunjukkan
kepalan tangannya ke atas sambil tersenyum ke arah Bagus.
“Kamu balik besok pagi, kan?”
“Iya, habis subuh, soalnya jam 8 ada
latihan,”
“Latihan apa?”
“Latihan musik,”
“Latihan musik? Kamu anak musik? Pegang
gitar? Anak band?”
“Iiihh, bawel, anak PSM,”
“Pantes, hafal khatam cerita PSM UNS,”
“Iyalah,” melirik ke arah Bagus. “kemana
kita?”
“Ke angkringan jalan-jalan lihat
komunitas sepeda atau vespa di Slamet Riyadi,”
Kala dan Bagus menikmati malam yang
tinggal menyisakan sedikit gelapnya, Bagus menjadi tour guide yang baik.
Adzan subuh menggema dan ayam jantan
mulai bernyali menyuarakan suara gagahnya.
“Ada car free day jadi nunggu taksinya
di dekat luwes sana, ya?”
“Iya,”
“Cari sarapan juga, kasihan kamu kalau
belum sarapan, masih jam segini juga,”
“Keretanya jam 5.30, sarapan di Jogja
juga nggak apa-apa,” Kala melihat ke arah jam tangannya.
“Pulsa aku habis aku pinjam HP kamu biar
aku telpon taxi,”
Aku
tidak mau begitu saja melewatkanmu, jika kamu masih menjadi takdirku ini adalah
bagian dari usaha takdir itu. Dalam hati Bagus bersemangat.
Bagus menelpon taxi, alasan yang jitu
untuk memanggil ke no HP-nya.
Keduanya terdiam di dalam taxi yang
membawa mereka ke Stasiun Balapan.
Mungkin
aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama, mungkin aku kena kutuk, ini
cinta pandangan pertamaku ke kamu, aku nggak bisa lagi melihat jari kamu
menarik rambut ke belakang telinga, suara merdu kamu, rambut ombak kamu yang
keemasan saat terkena lampu malam. Tuhan, rasa apa yang aku punya sekarang?
“Tenang, masih ada kereta selanjutnya
jika yang pertama terlewatkan,”
“Maaf merepotkan kamu,”
Suasana kaku namun perlahan mencair.
Bagus membayar taxi dan mereka berlari
masuk Stasiun Balapan, Kala menurut saja ketika tangannya ditarik Bagus.
“Kereta pertama ke Jogja, mas”
“Baru saja berangkat prameks, ada lagi
jam 7.05 Sriwedari, mau ambil itu atau bagaimana?”
“Maaf, sudah berangkat,” Bagus laporan
ke Kala.
“Ambil itu saja,”
“1 tiket Mas ke Jogja,”
Bagus membayar dan menerima 1 tiket di
tangannya.
“Kita sarapan dulu di depan,”
“Kalau aku sudah di Jogja kamu bakal
kangen aku?”
“Nggak tahu,”
“Ihh kok begitu jawabannya?”
“Ya bagaimana?”
“Ya kangen atau tidak?”
“Ihh kan belum terjadi, belum pernah
kejadian,”
“Kalau aku ke Solo lagi, kamu mau ajak
aku jalan-jalan lagi?”
“Iya, apa sih yang nggak buat kamu,”
“Iiihh, sadis,”
“Terus kalau kamu kesini bagaimana aku
tahu? No HP nggak punya,”
“Kalau kita punya takdir yang sama buat
berjodoh pasti kita ketemu,”
Mata Kala berbinar walau nampak murung
di raut wajahnya.
Bagus menunggu di bagian petugas cek
tiket masuk, dia tidak bisa masuk. Memandang Kala dari jauh, melihat
punggungnya menjauh. Dia kehilangan Kala detik itu.
***
1 tahun berlalu.
Kala berlari ke luar gedung latihan PSM,
dia baru saja menerima telpon dari seorang lelaki.
“Hai,” Bagus tersenyum di bawah gedung
yang beranak tangga tinggi, “aku bawa sebagian pengamen di Jogja,” Bagus
melirikan mata ke kanan sambil mengacungkan jempol ke belakang pasukannya.
“Baguuus,” Kala menyebut satu nama yang
masih melekat di ingatannya.
“Jadi dia Bagus? Pengamen yang nggak
bisa buat kamu move on sejak pulang dari Solo sejak tahun lalu? Yang bisa buat
kamu nunggu dan rela jomblo setahun ini?”
“Mmm,” Kala mengangguk pelan dan
terpesona.
Kala berjalan menuruni anak tangga
gedung tempat dia latihan PSM. Dia mendekati sosok Bagus. Rambutnya masih sama
ikalnya hanya saja sedikit cepak dari yang dulu. Bajunya lebih rapi.
“Aku nggak tahu warna kesukaan kamu, apa
bunga kesukaan kamu, lagu kesukaan kamu aku tidak tahu, yang aku tahu aku
berdiri disini di hari ulang tahunmu untuk bilang cinta ke kamu, aku nggak mau
jadi orang bodoh yang melewatkan kamu di hidupku,”
Bagus memberikan buket bunga mawar
putih.
Kala tersenyum menerima buket cantik
itu, tubuhnya yang basah oleh keringat tak lagi nampak “Kenapa harus nunggu
satu tahun untuk melakukan ini?”
“Aku terikat janji untuk tidak mencarimu
atau menghubungimu, aku juga memantaskan umurku biar dewasa sedikit, biar umur
kamu juga bertambah,”
Kala tertawa dan Bagus sedikit malu.
“Tahu darimana no HP ku?”
“Taxi, ketika telpon taxi dulu aku save
no kamu di HP ku,”
“Hanya di save saja?”
Bagus mengangguk.
“Terimakasih,” Kala berbinar.
“Kenapa cuma terimakasih?”
Kala berfikir sejenak.
Bagus dengan cekatan langsung mencium
pipi Kala. Semua yang melihat bersorak.
Setahun lalu dia bertemu Bagus dan dia
menunggu walau dia tidak pernah tahu apa yang dia tunggu akan datang. Lagu All
of me John Legend gubahan Bagus mengalun ramai di mainkan oleh
pengamen-pengamen Jogja yang dibawanya.
Bjn, 13 Juni 2014
1 Kok tambah
kencang nangisnya, mba?