Aku berdiri di simpang tiga, tak seorang pun kulihat lalu lalang. Iya, jam sudah menunjuk di angka satu. Aku terbangun, kudapati selembar kertas dengan tulisan Ayahku. Entah mengapa air mataku berlinang, membacanya serasa seperti mengucapkan perpisahan.
"Ayaaaah," Aku berlari keluar kamar, mematung di pintu depan.
"Le, mau kemana?" Nenekku berteriak memanggil.*
"Sudah biarkan saja," Kudengar Kakek lembut berucap namun aku tetap lari ke persimpangan jalan.
Aku menangis. Tak kudapati sosok Ayahku. Masa depanku seolah suram, mendadak aku yatim piatu.
"Ayahmu akan pulang, tunggu saja!" Kakek mengelus punggungku.
"Tidurlah lagi, besok kita jualan pagi-pagi." Nenek memberi perintah sambil terus menyiapkan isian nasi bakar dan arem-arem.
Kakek mengangguk, mereka tidak membiarkan aku menangis terlalu lama. Namun sejak malam di mana Ayah pergi, aku tidak lagi tidur nyenyak.
Pagi pertama sejak Ayah pergi, aku melihat wajah mulus adikku, usianya tiga tahun, terpaut empat tahun. Ibuku pergi, setelah melahirkan adik lelakiku--pergi ke surga. Saat itu masih kuingat, ada genangan darah di lantai kamar. Aku belum paham yang terjadi tetapi ramai isak tangis membuatku menangis pula. Maka dengan raungan tangis orang-orang, aku tak melihat lagi sosok Ibu. Kata semua orang, dia sudah di langit, pergi ke surga, bertemu Pencipta. Setelah kulihat genangan darah dan isak tangis yang mencekam itu aku mulai merasa takut dengan darah. Pernah aku jatuh, rasanya jantungku berdetak hebat, tubuhku menggigil. Trauma. Itu kata dokter puskesmas yang memeriksaku.
Hari-hariku membantu Kakek dan Nenek, berjualan keliling perumahan dan di perkampungan. Aku menjaga adikku juga. Hidup kami berat, Kakek menggarap sawah orang. Upahnya tak pernah sama, tak tentu pula kapan masuk kantong. Tapi aku salut dengan mereka, bekerja keras demi aku memakai seragam dan menjinjing buku ke sekolah.
…
Tepat sepuluh tahun, aku membaca lagi surat dari ayah "Besok Ayah akan pulang". Aku berdiri di persimpangan jalan yang sama, tidak pernah kudapati beliau kembali ke rumah kami. Kusimpan selalu lembar kertas itu. Kini aku yang akan pergi meraih cita, beasiswa perguruan tinggi sudah di tangan. Namun mimpiku melihat Ayah pulang belum berakhir.
*Le; panggilan anak lelaki dalam Bahasa Jawa
9 Januari 2020