Selasa, 22 September 2015

>> Melody Cicak



MELODY CICAK
“Yeahhh..., asli gila, bisa mati berdiri Bapakku kalau sampai ketangkap polisi-polisi itu,” aku tertawa bersama teman-teman kembali mengatur nafas yang tersengal-sengal setelah berlari menghindari kejaran polisi.
“Tawuran yang dahsyat,”
“Iyo, Mas.” Aku memandang kawan sepermainanku sekaligus senior di sekolahku.
Ayo balik ora usah difikir,”1
Semua pulang, jantungku masih berdegub keras, aku berfikir bagaimana kalau benar-benar tertangkap polisi. Membayangkan wajah Bapak yang akan memaki aku dan pasti langsung menghapusku dari daftar keluarganya bahkan dari daftar warisannya. Deuhhh bisa apa aku tanpa warisan Bapak walaupun aku tahu Bapak tidak punya harta yang melimpah. Dan wajah Ibu, deuuhh perempuan paling lembut yang pernah berada di sisiku ya hanya Ibu. Walaupun ada Asti yang cantik, putih dan ramah. Ada Gusti yang punya mata indah karena dia dari Bali. Ada banyak perempuan yang mengisi hariku tapi Ibu adalah yang paling lembut dan memaklumi segala tingkah polahku.
“Assalamualaikum,”
“Wa’alaikumsalam,”
“Bu, kok sepi?”
Apa ndak kayak biasanya, Le?2
Iyo yo, Bu.” Aku nyengir kuda di depan wajah Ibu.
“Ganti baju sana! Bau, jangan lupa cuci kaki dan tangannya lalu makan, Ibu masak makanan kesukaanmu,”
“Iya, Bu? Wah semangat aku,”
Aku bersiul-siul di kamar mengganti seragam sekolahku dan berlari kecil ke kamar mandi yang letaknya cuma sejengkal dari kamarku.
Oalah wis joko kok kelakuane isih koyo cah cilik,3
“Deuh Ibu, aku Furqon bukan Joko.” Dengan cuek aku membalas kalimat Ibu.
“Ya wis cepet keburu dingin makananmu,”
Inggih Ibu,4
1 Ayo pulang tidak perlu difikir
2 Apa tidak seperti biasanya, Nak?
3 Oalah sudah perjaka kelakuannya masih seperti anak kecil
4 Iya, Bu
Aku melepas semua baju karena aku merasa gerah setelah proses lari-lari dan perang ala anak sekolah yang lebih dikenal dengan tawuran, kuputuskan mandi saja sebelum menyantap masakan Ibu.
“Furqon, ada yang cari,”
“Siapa, Bu?” aku asyik menata rambutku yang basah, ingin hati berniat mencukur rambutku tapi bingung memilih model rambut. Sebelum benar-benar kandas rambutku maka aku ingin mencari model terbaik. Di depan kaca kamar mandi aku menata gaya rambut dengan bermacam versi. Belum ada yang cocok atau mungkin karena wajahku terlalu manis sehingga terlalu susah mencari model rambut.
“Le, keburu pergi ini tamunya!”
“Iya, sabar, orang sabar disayang pacar,” aku menyahut nakal.
Aku langsung keluar dan memandang tamuku, siapa gerangan bertamu di siang hari nan menyengat.
“Astaghfirullah, Le!” Ibu langsung teriak begitu aku keluar dari kamar mandi. Bingung apa yang terjadi, aku hanya bertampang polos tidak tahu menahu tapi tamu perempuan di samping Ibu langsung menunduk tak menatapku.
“Hyaa...,” aku tercengang begitu memandang tubuhku dari dada ke bawah. “Maaf, tidak sengaja, ini di luar kekuasaan, ini pengaruh alam,”
“Maaf, Nak.” Ibu berusaha menenangkan tamu untukku.
“Tidak apa, Bu. Mungkin Mas Furqon tidak sadar,” kudengar kata-kata maklum dari tamuku yang tidak lain adalah Aisyah, anak Pak RT dan juga teman mengaji di Mushola. Tapi sungguh kata-kata tidak apanya itu tidak akan pernah menghapus rasa maluku seumur hidup. Berdiri dengan tampang polos tanpa memakai celana untung saja aku tidak lupa memakai celana dalam kalau tidak bisa dipaksa kawin dengan Aisyah. Tapi kalaupun dipaksa ya  mau saja, justru tidak terpaksa tapi dengan senang dan ikhlas hati. Siapa tidak kenal Aisyah, sudah cantik, pintar, qiro’ah, apalagi yang kurang untuk jadi mantu ideal Bapak dan Ibu.
Aku keluar dengan menahan rasa malu, “Ada apa kok siang-siang kesini?”
“Anu Mas, nanti sore di minta mengajar anak di Langgar Pak Haji Said,”
“Kok aku? Tidak ada pilihan yang lebih baik?”
“Sudah tidak ada personil lagi, Mas. Mas juga baik ngajinya, tajwid dan hafalannya baik jadi menurut Haji Said Mas Furqon cocok mengajar di tempatnya,”
“Wah, bagaimana, ya?”
“Terima saja, hari ini saja tapi kalau cocok bisa diteruskan,”
“Ya sudah nanti aku yang mengisi,”
“Terimakasih, Mas. Aisyah pulang dulu, maaf mengganggu,”
“Deuuhh aku yang minta maaf sudah kasih Dek Aisyah tontonan porno di siang hari,” aku menggaruk kepala sambil senyum menahan malu menunduk dalam.
Ya sejak itu, setiap bertemu dengan Aisyah aku merasa sangat malu. Dan hari itu pula aku ingat Bapak teriak-teriak karena tahu aku ikut tawuran sekolah.
Tapi Alhamdulillah rencana dan bayangan dihapus dari daftar keluarga dan warisan tidak terjadi. Aku masih bisa bermimpi mendapat sepeda kumbang dan motor BMW alias bebek merah warnanya tahun 70an milik Bapak.
Aku kini berdiri di depan ruang UGD sebuah rumah sakit di salah satu propinsi di Jawa Timur. Jantungku berdegub sama seperti hari itu, bedanya adalah penyebabnya.
Tidak ada suster atau dokter keluar dari ruang itu untuk memberikan kabar atau paling tidak bisa donk kirim pesan singkat, sesingkat-singkatnya agar sedikit berkurang rasa tak karuan di dada.
Aku duduk di kursi tunggu depan pintu besar dan lebar bertuliskan UGD 24 Jam. Lemas seluruh sendiku, mukaku pucat dan tubuh gemetar tapi ini mungkin juga agak berlebihan karena memang dari pagi belum terisi sebutir nasipun perut ini.
Sebelum sekarang berdiri disini, akhir kisahku adalah di pesantren, ketika bapak dan Ibu benar-benar mengirimku ke pesantren bukan ke SMA anak-anak normal. Cita-cita yang aku rajut tiap malam pupus sudah begitu jejak langkahku menapaki dunia pesantren.
Di kampung setiap kali libur, semua jadi sedikit hormat dan membanggakan aku yang anak pesantren.
“Deuh ini dia anak kebanggaan, calon ustadz masa depan,”
Aku hanya tersipu diam, tak tahu bagaimana menanggapi omongan para tetangga. Mereka tidak tahu betapa hidup di pesantren adalah lebih kejam dari di penjara bagi anak-anak yang suka dunia kebebasan.
Berhubung orangtua tidak terlalu kaya tapi miskin juga tidak jadi hanya mampu memasukkan aku ke pesantren yang biasa saja.
Hari pertama di pesantren, harus bangun jam 3 kurang, aduh padahal baru tidur jam 12 malam. Ini Pak Kyai memang agak ekstrim, tidak memahami anak yang baru bermetamorfosis dari kurang baik jadi ke arah sedikit baik. Akhirnya hari itu jadi korban penyiraman air satu ember akibat sehabis subuh tidur lagi. Terpaksa menjemur kasur dan merapikan kamar serta buku yang sebagian total basah.
Atau kisah lainku yang ikut-ikutan mengintip para santri perempuan yang sedang mengaji, alhasil tidak hanya disuruh upacara tiap pagi tapi membersihkan seluruh pesantren tiap hari selama sebulan.
Asli di pesantren tidak ada enaknya, apalagi makanan ala penjara cuma tempe goreng dan sayur ala kadarnya, tukang masak di pesantren suka asal kasih bumbu. Kadang tempe goreng manis, sayurnya kelewat pedas. Totalnya berapa kali pingsan karena menahan lapar, tidak sanggup makan dengan rasa yang beraneka ragam. Jadi ketika ada libur dan pulang menikmati masakan Ibu, betapa aku terharu di depan makanan yang dimasak Ibu. Ibu sendiri heran melihat tingkahku tapi kelamaan beliau paham. Ketika pulang dari masa liburan aku rela membawa berkarung-karung makanan yang bisa awet berapa lama daripada harus makan makanan tukang sayur.
Walaupun di pesantren aku tak kehilangan akal memakai jurus mautku merayu gadis-gadis apalagi di pesantren gadisnya cantik-cantik. Satu hal yang tidak membuatku menyesal masuk pesantren.
Neina adalah satu dari ribuan santriwati yang mampu membuatku luluh. Bibirnya tipis dan warnanya merah muda selaras dengan kulitnya yang putih bersih. Seni grafiti arabnya sangat luar biasa indah, maklum darah seniman didapat dari sang ayah yang pelukis di Bali.
Santri perempuan dan lelaki dipisah dan kami jarang berinteraksi, kalau ada acara besar kita baru bisa bertemu. Dan pertemuan pertama memang berkesan maka siang malam, pagi sore hanya bisa membayangkan wajahnya. Terkadang bisa senyum dan tertawa sendiri sampai semua teman-teman menertawakanku dan memanggilku si gila. Mereka tidak tahu apa yang aku rasakan, jantungku berdegup dan wajahku merah tomat kalau aku mengingatnya.
Akhirnya aku beranikan diri menulis surat kepadanya, surat cinta bahasa mudahnya.
Aku berusaha menulis seromantis mungkin agar dia terkesan. Aku tulis di sela-sela kegiatan pesantren. Aku tahu akan bertemu dia lagi dan tidak lama lagi dari waktu aku menulis surat. Akan ada kegiatan pengajian besar mengundang ustadz ternama, itu kesempatanku meyampaikan surat yang berisi semua hal di hatiku dan fikirku.
Akhirnya hari yang ditunggu tiba, aku rela tobat kalau dia jadi milikku. Surat cinta di tangan telah rapi dan aku menyimpannya di saku celana belakang bersama saputangan yang wangi, berharap surat itu wangi walaupun ada di saku pantat tapi kuharap tak mengurangi jampi-jampi dalam surat itu.
Begitu tegang aku ketika acara mau di mulai, aku mencari tempat duduk yang strategis dan aku mengucap bismillah ribuan kali demi melancarkan aksiku.
Kami para santri mendengar tausiah seorang ustadz, ada ribuan kalimat indah ditwarkan sang ustdaz. Tiba-tiba sang ustdz memanggil sebuah nama yang tak asing di telingaku.
Seorang gadis maju ke depan dan tertunduk, jilbab panjangnya dan roknya membuatnya lebih anggun. Neina Al Hakim. Jantungku serasa mau copot.
“Ini, sepertinya ada seseorang yang mau menyampaikan banyak hal kepada Nak Neina,” sang ustadz menapaki jalan mencari celah mengungkap suatu hal.
“Neina kurang paham maksud Pak Ustadz,”
“Lihatlah,”
“Surat itu…, Duh Gusti…, kenapa bisa sampai ke tangan ustadz itu,” dalam hati aku cemas.
Aku merogoh saku di pantat dan nihil, tak kutemukan surat cintaku, hanya ada saputangan saja. Aku memutar otak, jumpalitan, mencari alasan dan mencari cara lari dari tempat itu. Tapi tidak bisa begitu suara keras seperti suara malaikat yang hendak mencabut nyawa.
“Saudara Furqon silahkan ke depan,”
Tiba-tiba aku merasa semua mata tertuju padaku, seperti senjata revolver yang hendak membunuhku. Kenapa hanya satu Furqon di pesantren itu kenapa tidak 100 Furqon seperti 150 Agus yang terdaftar di pesantren itu. Aku menyesal mencantumkan nama di atas lembar surat itu.
Dengan lemas dan menahan malu aku maju, berlahan aku mengayunkan langkahku, panggung itu serasa jauh dan aku harus lebih lama menahan mataku untuk tetap tertunduk. Kali ini jagoan kalah di depan cinta.
Dan puncaknya ketika aku harus membacakan surat yang aku tulis langsung kepada sang gadis. Semua santri tertawa dan sang ustadz hanya geleng-geleng, guru-guru sudah geram menahan amarah sekaligus menertawakanku. Aku mengutuk diriku sendiri dalam hati.
 Gadis itu hanya diam menahan malu dan berhasil membuat kata penolakan yang tertancap jelas di jidatku. Ternyata seorang ustadz sudah lebih dulu melamarnya. Duh Gusti malang benar nasibku sudah malu ditolak pula, patah hati jadi remuk dan luluh lantak.
Akhirnya Si Gila dengan Surat Cinta melekat di panggilanku. Tapi bukan tidak ada prestasi, kisah robotik penari menjadi juara mewakili sekolahku di kancah nasional lomba robotik. Aku yang merangkainya dan kelak aku ingin jadi seperti Habibie yang bisa menerbangkan pesawat dengan ilmunya.
*          *          *
“Pak Furqon, silahkan masuk,”
“Saya boleh masuk?”
“Iya, silahkan sudah ditunggu istrinya di dalam,”
Aku menurut saja mengikuti seorang suster cantik dengan tahi lalat kecil di atas bibirnya.
“Hai, bagaimana?”
“Sakitnya bukan main,”
“Sabar, ya.”
Aku tak berhenti mencium punggung tangan istriku. Genggaman erat tangannya menjadikan aku tahu satu hal, sakit yang dia rasakan tak hanya sakit biasa tapi memang benar-benar sakit. Zikir dan doa dari mulutku tak pernah hentinya.
Aku memandang wajah bidadariku dan menatap matanya tajam, ribuan doa tercurah untuknya. Aku tak lagi sanggup berfikir bagaimana kalau aku tak memilikinya.
Aku ingat bagaimana aku menemukannya di saat aku memang menginginkannya.
“Ssttt ikut kuliah anak FISIP, yuk!”
Ajak seorang kawan kos yang dulu memang mengincar gadis jurusan FISIP. Aku tidak menolak dan tidak pula mengiyakan, justru karena itu akhirnya aku mengamininya.
Duduk di kelas anak HUMAS dengan mata kuliah yang sangat asing dan kawan kelas yang asing pula.
“Hei mana kawan kamu?”
“Belum datang, otw katanya,”
Aku mulai tidak tenang karena tidak ada seorangpun yang aku kenal, tapi mataku tertuju pada satu titik cahaya, mukanya paling bening dan sorot matanya mirip lampu mercusuar di lautan.
Aku pasang aksi dan cari perhatian, kursinya tak jauh dari tempat aku duduk. Rusli masih menuggu kawannya dan Adi sudah asyik ngobrol dengan seorang gadis.
Keluar kelas dan dengan aksi singkat ku dapat alamat rumah dan no telfon seorang gadis bening bernama Wita.
“Mbak Shopi,”
“Iya, ini buku kemarin, terimakasih,” Aqila menyodorkan buku tebal ke arah seorang gadis dengan selendang menutup kepala.
Aku memandang gadis itu lekat, jantungku berdegub hebat.
“Teman-teman ini Mbak Shopia, anak BEM dan seniorku,”
Tangan itu sampai juga di depanku dan ahh ada tato di punggung tangannya. Tato itu membuatku menekuk muka. Aku leleh lemes patah hati sebelum hati itu nyambung kenceng rapet. Yang membuat tambah lemes badan adalah tato salibnya bukan hanya tato biasa, jadi kerudung yang menghias cantik menutup rambut hampir setengahnya bukan menunjukkan dia adalah muslim. Kalau jantungnya bisa berhenti saat itu mungkin langsung berhenti. Tato salib itu menggantung di sebuah untaian manik-manik, mungkin Rosario kalau dalam agamanya.
Aku berusaha melupakannya sejak pertemuan pertama dengan gadis bertato itu. Tapi kenapa jadi lebih penasaran dengan gadis manis itu.
Aku tersenyum pada istriku yang mencoba mengejan atas instruksi dokter di depan kami. Tangannya kuat menggenggam tanganku.
*          *          *
Aku memberanikan diri untuk menemui gadis manis itu, gedung FISIP, kali ini aku datang sendiri tanpa kawan-kawanku. Entah kenapa aku jadi serius tidak menunjukkan penampilanku yang slengekan kata orang Jawa.
“Tidak merasa aneh jalan denganku?”
“Kenapa? Tidak ada yang aneh,”
“Agamaku, Tuhanmu dan Tuhanku berbeda,”
“Tuhan kita satu, kita yang beda,” aku mencoba bijak, lebih tepatnya sok bijak. Entah kenapa selalu ingin merasa jadi dewasa di depan dia.
“Isa dalam agamamu Nabi dan dalam agamaku…,”
“Itu persoalan lama, bukankah kita hidup di negeri yang membesarkan ajaran toleransi?”
“Muhammad Nabi akhir jaman, dia yang membawa kebaikan di muka bumi ini,” bijak kata keluar dari mulut tipis Shopia.
Hatiku semakin luluh, betapa dia gadis yang mampu benar-benar menggerakkan hatiku. Sayang agamanya tak sama denganku. Hatiku harus menjauh walaupun aku sadar aku sedang jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Tak enak makan dan tak enak tidur. Tiba-tiba ada cicak jatuh dari langit-langit kamar setelah cicak itu bergulat dengan rekannya sesama cicak. Aku kaget dan langsung teriak, satu kosnya langsung berduyun-duyun masuk kamar bergerombol di pintu sampai pintu penuh ingin tahu ada apa gerangan dan aku hanya senyum kecut sambil menunjuk cicak yang sudah lari dan hanya meninggalkan ekornya yang kecil.
*          *          *
“Aaaaaaahhhhhhhhhhhhh… huh huh huh…,
“Ayo terus,” aku mendadak sadar masih menunggui istriku melahirkan, istri yang paling kusayang sedang mengejan memberi ruang hidup untuk anak kami.
Airmataku berlinang melihat istriku, fikirku melayang ketika haru biru pinanganku diterima gadis yang kini menjadi istriku dan kami harus berjuang bersama ketika itu.
“Ayahku non muslim, Ibuku muslim, Ibu mengenal muslim dari sahabatnya. Akhirnya mereka berpisah dengan cara yang baik karena tidak sepaham, aku ikut keyakinan Ayahku walaupun dari kecil aku mengenal dua agama itu. bukankah dalam agamamu suami atau ayah adalah Imam? Maka Ayahkupun telah menjadi Imamku, sementara kerudungku adalah baktiku kepada Ibuku. Tato inipun bukan apa yang ada dalam fikirmu tapi ini adalah 33 buah tasbih, salib ini milik Ayahku. Namaku adalah Shopia Annisa, dari surat An-Nisa, Yaa Ayyuhannasuttaqurabbakummulladzi kholaqokumminnafsiwwakhidat….
“Subhanallah,” dalam hati Furqon berucap, di hatinya mungkin tidak ada Allah tapi dalam tuturnya dan sikapnya ada jiwa dan hati muslimah sejati. Hafalan dan tajwidnya cantik dan indah.
Airmataku mengalir double ingat masa lalunya yang nakal dan masa sulit menahan hatinya dan sekarang berdiri disamping istriku yang sedang dalam hidup dan mati. Masih indah terngiang suara merdu lantunan surat An-Nisa.
*          *          *
Aku mantap meminang gadis yang sudah 2 bulan membuat hatiku kusut dan rambutku kusut, dan saat menikah semua mantan aku undang dan mengenalkan pada istriku, aku ingin dia tahu kalau dia adalah yang terbaik.
Aku juga menyanyi satu lagu dan yang lebih haru biru dia membaca surat Al Anbiya 89, akhirnya aku menikah juga dengan dia kekasih belahan jiwa, yang rela menjadi satu dalam kisahku dan mewarnai setengah dienku.
“Oek oek…”
“Selamat anak anda laki-laki,”
“Alhamdulillah, saya yang akan adzan di telinganya, Dok.”
“Silahkan,”
Aku bergetar, kini aku menjadi sosok dewasa untuk anakku, tak lagi nakal. Dia gagah sekali dan kelak harus lebih baik dari aku. Amin.
Aku haru melihat bayi merah di tanganku, tangis membuncah dan aku mendengar suara cicak dari dinding di belakang dokter lalu cicak itu melotot kepadaku dan hilang semua, gelap jadinya.
Dirasa ringan tangannya tanpa kehadiran sang bayi. Dan lalu semua putih, ada seorang perempuan dua di depanku mereka tersenyum.
“Bapak tidak apa-apa?”
“Iya, dimana ini? Anak saya, Dok?”
“Di ruang perawatan dengan istri anda. Tadi anda pingsan saat mendengar suara cicak.”
“Deuuh saya phobia sama cicak, Dok.”
“Owh…disamping itu, anda juga kelelahan dan sepertinya belum makan.”
“Iya, Dok.” Aku nyengir dan garuk-garuk kepala.
Setelah beberapa saat aku dirawat, aku menemui istri dan anakku. Betapa bahagia aku menatap kedua anugerahku di bumi Allah ini. Kucium tangan perempuan yang lemah terbaring tepat di punggung tangannya dengan tato salib kecil menjuntai butir tasbih 33 buah.
Tak lagi sepi hidupku, tak lagi bernoda hidupku. Bahkan dia yang rela memberi mahar terindah dengan keIslamannya.
1-30 Okt 2011, Bojonegoro

>> Say Hello For Me



Say Hello For Me
“Ibuuuu, bangun, aku dan Ayah sangat rindu padamu.”
“Tenang anak manis, Ibu akan bangun, kamu jangan nakal dan tetap berdoa untuk Ibu.”
“Ayah, kenapa Ibu hanya tidur terus setiap hari? Apa dia akan mati?”
“Emma, kamu tidak boleh bicara seperti itu, ayo kita pulang, kamu harus mandi dan ganti baju lalu buat PR di rumah.” Aku tidak tahu dia dapat darimana kata-kata itu.
“Apa Ibu akan ikut kita?”
“Tidak, Ibu akan tetap disini, kalau dia ikut kita nanti bisa terjadi sesuatu,”
“Iyaahh, aku tidak mau menangis karena Ibu mati, aku tidak mau itu terjadi seperti di tv yang pernah aku lihat.” Sekarang aku tahu dia dapat kata-kata itu dari tayangan tv.
Aku lalu melihatnya, dia Arsya, perempuan yang beberapa hari lalu masih bersamaku dan tersenyum ceria. Kami duduk berdua di sebuah rumah makan kecil, kami membicarakan perkembangan anak kami. Dia adalah Caca, teman sekampusku dulu dan Ibu dari anakku Emma. Karena kesalahanku membuatnya berada di rumah sakit ini, dia hanya diam tak lagi ada makanan yang masuk ke mulutnya. Semua yang diperlukannya berasal dari selang-selang kecil yang menggantung di atas dekat tempat tidurnya.
Kecelakaan yang terjadi seusai kami makan siang di hari naas itu. Aku yang salah menyalip mobil depan tapi tiba-tiba mobil belakangku datang mencoba mendahului. Caca tidak memakai sabuk pengaman, aku melihatnya berlumuran darah ketika aku sadar. Rasa nyeri di tubuhku tak kuhiraukan, aku berteriak meminta pertolongan untuknya. Dia selamat tapi tak sadarkan diri hingga kini, hari ke 5. Dokter bilang dia koma, ada pendarahan kecil di otak depan, dokter sudah mencoba menolong. Ini kuasa Allah, tapi aku selalu disuruh berbicara apa saja dengannya, aku sering membacakan buku-buku kesukaannya dan mengaji untuknya. Ayah dan Mama selalu menangis melihat keadaan putri mereka, aku tak tega melihatnya.
“Mana sisir kamu?” aku mencoba memanjakan Emma seperti cara Ibunya memanjakannya.
“Di kamar Ibu,”
“Ayo kesana,”
“Ayah, nanti aku bacakan dongeng lagi, ya!”
“Iya, kamu kerjakan PR dulu, nanti Ayah temani tidur. Eyang Kung dan Eyang Uti biar istirahat, ya.”
“Kakek mau nunggu Ibu kamu di rumah sakit, biar Eyang Uti istirahat, besok bisa gantian lagi. Ayah bersiap ke rumah sakit, Mama membawakannya bekal makanan dan selimut tebal.
Aku memasuki kamar Caca, wangi yang sama tidak pernah berubah, aku mencari sisir di meja rias untuk putri kecilku.
“Nanti kita tidur disini saja, jangan di kamar Emma, Emma kangen Ibu.”
“Kalau begitu Ayah ganti seprei dulu,”
“Emma bantu?”
“Yups anak pintar,”
Aku menemukan buku agenda tebal, terjatuh ketika aku menarik seprei untuk menggantinya dengan yang baru.
Aku penasaran dengan isi buku itu, gambarnya sudah memudar tapi sangat begitu tebal. Aku buka halaman pertama, ada nama Caca di depan dan foto dia ketika masih berseragam putih abu-abu. Aku menutupnya dan meletakkannya di meja kerja dia. Aku mengganti seprei dan menemani Emma belajar. Masih sangat jelas bentuk buku itu, entah dorongan darimana yang pasti itu sangat kuat untuk membuka buku agenda itu.
Emma tertidur dan aku mulai menepi ke meja kerja Caca. Aku pandangi buku tebal itu dan aku buka tepat di halaman pertama sama ketika aku menemukannya pertama kali. Aku buka halaman berikutnya, dan aku sudah menduga kalau itu buku harian Caca.
Masa ketika di SMA, dia coretkan begitu lugas khas penulis cerita teenlit. Dia sangat ceria dan mampu berteman dengan siapa saja, tidak heran ketika dulu kuliah dia juga banyak teman dari semua jurusan ada, senior junior kenal dengan dirinya, dari beberapa kampus berbeda juga menjadi temannya.
Halaman lainnya, ada robekan kertas kusam tertulis ‘Kamu sudah pacaran berapa kali?’, Caca menempelkannya di satu halaman dan ada komentar dari dia, ‘Sekali dan itu indah, aku harap denganmu lebih indah lagi’. Aku tertawa kecil, kubuka halaman berikutnya, ada uang 1000 rupiah koin tertempel, di bawah koin itu ada tulisan ‘Ini dari kamu, siapa tahu bisa jadi mas kawin’. Aku juga tersenyum, entah sudah halaman ke berapa, aku tidak bosan membacanya. Hingga di satu halaman aku membaca ‘Aku jatuh cinta sejatuh-jatuhnya padamu pemilik hati malaikat. Sungguh aku meyukaimu karena Allah’. Dan di halaman-halaman berikutnya tertempel karikatur-karikatur dari sang lelaki itu dengan tersenyum, pusing berfikir rumus fisika, marah, lapar, menangis, Caca rapi menempelkannya. Aku fikir ini lelaki yang berbeda yang memberinya koin 1000 rupiah. Jam 1 malam, aku masih kehilangan rasa kantukku.
‘Mama aku jatuh cinta dengannya, teman satu kelasku. Dia pintar fisika, dia jago kimia, dia jago mengaji, dia suka menghafal Alquran di depanku, dia rajin ke mushola sekolah. Dia selalu mengajakku ke toko buku, dia juga pernah memberiku tumpangan ketika hujan deras ke sekolah. Dia yang berambut ikal ketika rambutnya agak gondrong.’
‘Mama dia yang suka mengajakku ke rental VCD dan kami nonton bersama, bioskop mini dekat alun-alun kota itu adalah tempat favorit kita. Kita punya film favorit, Waiting for Forever. Kita sudah menonton itu hampir 10 kali, dan akhirnya kita punya VCD itu dan ada lagu pengiringnya di handphone kita.’ Aku semakin teriris membaca kisah di bangku SMA Caca. Aku putuskan untuk tidur, jam dinding di kamar Caca sudah ada di angka 3.
Ketika melihat Emma sangat ceria pergi ke sekolah aku mengingat Caca yang sangat ceria, wajahnya sangat mirip dengan Caca.
Siang itu di kantor tidak banyak pekerjaan, aku membuka tas dan mengambil buku agenda Caca. Aku berharap ada namaku tertulis di lembar-lembar berikutnya.
‘Mama, aku kehilangan dia, dia kini ada di perguruan tinggi lain, tapi aku senang dia jadi anak teknik. Dia akan sangat gagah dengan titel sarjana tekniknya.’
Caca begitu detil menulis tiap hal yang terjadi di hatinya. Dan rasa penasaran siapa lelaki yang lama menghuni hati dan buku harian Caca terjawab ketika di satu halaman dia menulis, ‘Kamu, datang dengan dia yang kamu kenalkan sebagai sahabatmu, Faiz sahabat di bangku kuliahmu, kamu datang di kos dan dia membawa gadisnya. Kita pergi bersama ke pinggiran pantai di kota Semarang. Saat itu kamu teriakkan satu kalimat tapi Will aku tak mendengarnya, deru suara pesawat terbang tak membuat perkataanmu jelas’ airmataku menetes, Will, sahabatku, jadi dia adalah cinta terindahmu Ca, lirih aku berkata.
Pulang kerja aku mencari VCD Waiting For Forever, aku putar di kamar rumah sakit agar kamu sadar. Aku tak melihat ada tanda-tanda kamu akan bangun. Bahkan ribuan kali Emma memanggilmu kamu tak juga bangun.
“Ca, kamu tahu tidak? Will teriak apa ketika kita ada di pantai hari itu?” aku  menyeka airmata mencoba tegar, “Dia bilang, bagaimana kalau aku jadi pantaimu, tempatmu menepi setelah kamu lelah mengarungi laut biru.” Aku sesenggukan di tepi tempat tidurnya, monitor detak jantungnya meningkat, aku berteriak memanggil dokter jaga.
“Ca, kata dokter jantungmu normal dan otakmu mulai merespon di sekitarmu. Apa karena Will, apa karena aku bercerita tentang Will?” Aku duduk di depan tempat tidurmu, aku kembali membaca buku harianmu. Ayah dan Mama di rumah menjaga Emma.
Halaman berikutnya akan menyakitkan untukku, aku tahu tapi aku lebih ingin tahu yang terjadi denganmu.
‘Will aku sudah terima surat cinta itu dan aku sudah selesai menulis balasannya tapi aku ragu memberikannya untukmu, aku sulit berkata apa ketika memberikannya padamu.’ Ada surat terlipat manis dari Will, aku ragu membacanya dan di halaman berikutnya ada surat yang kamu tulis, Ca. Aku tak membaca kedua surat itu, aku takut aku akan mati berdiri membacanya.
‘Aku menangis lama ketika aku tahu kamu terbang ke Jepang, studi teknik mesin dan belajar kerja disana. Aku belum memberikan balasan suratmu.’
Aku tahu Will ke Jepang, tapi aku tak pernah tahu ada kisah cinta terindah yang kalian rangkai sebelum ini. Aku menemukan satu halaman yang dia tulis tentangku.
‘Aku menemukannya, dia lelaki yang baik, sungguh aku tak bisa mencintainya seperti caraku mencintaimu. Tapi kini dia adalah imamku dan kelak akan jadi Ayah anak-anakku. Kurelakan cinta pergi, dan kini aku rajut kembali cinta baru. Dia Faiz, yang datang dengan mimpi baru merajut kebahagiaan denganku. Dia lelaki dengan jenggot tipisnya dan  mampu membawa tawa di hari-hariku.’
Aku lega ada namaku juga di buku harianmu, ada cerita tentangku walau kini aku tahu cinta yang kamu beri sungguh berbeda. Ada halaman yang membuatku terkejut, ketika kamu melahirkan putri pertama kita, kita bertengkar karena nama, kamu nekat dan keukeuh memberinya nama Emma dan lewat buku harianmu ini aku tahu nama Emma adalah dari film favorit kamu dan Will. Kenapa dari dulu aku tidak sadar kalau ada cinta yang sangat kuat di hati kalian. Nama Eka yang kamu rubah dengan Will bukan karena Eka seorang pujangga layaknya William Shakespeare seperti sangkaan teman-teman kampus tapi dari kata Willy di film favorit kalian dan kamu mengartikannya ‘ingin’ dan harapan. Dan kami para sahabatnya jadi ikut memanggilnya Will. Nama anak kita itu juga nama kalian Emma Arsyaka, Arsya dan Eka.
Ya Rabb cinta macam apa ini, aku salah memilihnya untuk diriku dan aku lebih salah membuatnya tak berdaya diatas tempat tidur kehilangan kesadarannya. Bisikku lirih dalam hati.
Aku mencari semua informasi tentang Eka, aku kirim e-mail ke dia, aku berharap dia datang, dia masih di Jepang seperti foto yang tersimpan di buku harian Caca, ada sakura cantik menjadi latar belakang lelaki yang masih nampak muda.
“Hai Will, apa kabar kamu?” aku menjemput Eka di bandara, dia datang setelah aku jelaskan semua keadaan Caca.
“Baik Alhamdulillah, kamu? Apa kabar Caca?”
“Baik dari luar entah ada bara apa yang dia simpan hingga dia tak mau bangun, dia kangen denganmu mungkin, karenanya dia nunggu kamu datang.
“Kamu ada-ada saja,”
“Tengoklah dia kawan, mungkin berbeda keadaan jika kamu yang menungguinya di rumah sakit.”
Aku mempersilahkan Eka mendekati tempat Caca terbaring, Caca sudah bebas jadi aku tak bisa melarang Will ada di dekatnya.
“Ayah, siapa Om ganteng itu?”
“Dia dokter hebat buat Ibu, ayo kita keluar.”
Aku melihat Eka membacakan buku-buku humor dan dia juga membaca Alquran untukmu Ca. Ku dengar dia belum menikah, dia masih lajang atau mungkin dia menunggumu. Dia tahu benar apa kesukaanmu, dia bawa bunga lily putih dan cerita tentang hujan dan pelangi. Tiap pagi dia membisikkan sesuatu di telingamu, aku tak tahu apa itu. Tapi aku tahu itu pasti akan membuatmu sadar.
“Om  ganteng, kalau aku besar nanti maukah kau menikah denganku? Atau kau lebih suka Ibuku?”
“Yah aku lebih suka dengan Ibumu, kamu mau apa?”
“Apa aku tidak lebih lucu dari Ibuku?”
“Tidak, kamu lucu tapi Ibumu lebih lucu, dia suka makan kentang rebus dengan kecap, dia suka hujan-hujanan.”
“Kau tahu Ibuku? Apa kau malaikat yang akan menolong Ibuku?”
“Iya mungkin, sini...” Will kulihat memangku Emma “Nama kamu adalah nama favoritku dan Ibumu, lihatlah dia, sekalipun dia tidur seperti itu dia tetap cantik.”
“Ibuku memang cantik sama sepertiku,”
“Ahh yang benarrrrrr,” Will mulai akrab dengan Emma, mereka bercanda.
Hari-hari berlalu, sudah hampir 3 minggu Caca masih tidak sadarkan diri, apa aku yang terlalu egois memintanya untuk sadar dan menyelesaikan semua urusannya. Kembali aku berani membuka buku harian Caca, tepat di halaman terakhir, tertulis besar dan rapi ‘Say Hello For Me Mr.Will’. aku lalu kembali ke surat yang ditulis Eka untuk Caca. Aku menyiapkan hatiku untuk tahu kisah yang mereka pendam di hati.
Aku lunglai, Eka benar-benar inginkan Caca ketika itu dan aku hadir ketika cinta mereka harusnya bersemi.
“Kamu bodoh kawan, harusnya kamu katakan padaku hingga aku bisa menjaga cintamu itu,” aku melipat surat yang masih sangat rapi itu dan meletakkan ke tempat asalnya.
Aku bergetar mengambil surat balasan Caca, aku berfikir ada ribuan kata cinta yang akan dia baca dari Caca untuk Eka.
Surat Caca
Aku menangis membaca surat Caca, dia menulis dengan sepenuh hatinya, goresan dan kata-katanya sangat dalam.
Di rumah sakit melihat Eka begitu telaten menemani Caca, aku sangat ikhlas jika mereka bersama. Eka hanya mengajak bicara Caca dan sesekali dia mengontrol infus atau monitor-monitor di samping tempat tidur Caca.
“Apa ada perkembangan baik?” aku mendekat ke arah Eka, ke sisi lain tempat tidur Caca.
“Tadi waktu Tahajjud, jari Caca bergerak, setelah subuh dia seperti merintih,”
“Oya? Lalu?”
“Kata dokter itu baik untuk perkembangannya, asal dari diri dia ada semangat untuk hidup, hasil scan kepala menunjukkan pendarahannya berhenti dan gumpalan darahnya juga sedikit demi sedikit menghilang.”
“Benar yang aku bilang, dia itu menunggu kamu datang,”
“Kamu ini, dia berjuang demi anaknya juga,”
“Kamu bodoh Sob, dia itu benar-benar menunggu kamu, apa kamu mau kehilangan dia lagi?”
“Aku ikhlas apapun yang terjadi dengannya, aku tidak bisa memaksa dia untuk tetap di dunia ini dan menyelesaikan urusannya denganku, aku terlalu egois jika menginginkan itu. Jika dia harus pergi sekalipun aku merasa jadi seseorang yang beruntung ada di dekat dia,”
“Apa kamu tidak mau dia sembuh?”
“Apa aku bisa memaksa dia untuk sembuh?”
“Kamu bisa membuatnya berjuang untuk hidup,”
“Aku hanya seseorang yang pernah memilikinya,”
“Tiap pagi kata yang aku bisikkan pada Caca adalah Hello, aku disini menunggumu selamanya, kau tahu suamimu itu sangat baik tapi kenapa kamu masih saja cinta kepadaku? Aku butuh penjelasan so kamu harus bangun kasih penjelasan itu ke aku atau aku akan pergi lagi,”
“Ya, jika dia tidak bangun maka sebaiknya kamu pergi,”
Eka tercengang menoleh ke arahku. Aku harus mengatakan itu untuk membuat Caca berjuang.
“Di hari perceraian kita, dia menulis di sebuah buku kalau dia beruntung pernah memilikiku,”
“Dia seseorang yang hebat, dia beruntung memilikimu dulu dan kini,”
“Hanya dulu itupun dulu dia tidak benar-benar memilikiku,”
“Kamu tahu apa tentang hatinya?”
“Hanya dia yang tahu, dia kini juga membawa rahasianya itu,” aku mengambil secarik kertas terlipat rapi dari saku celana, surat dari Caca. “Ini, kamu bisa tahu isi hatinya dan seluruh dunianya ada padamu,”
“Apa ini?”
“Ingatkah dulu kamu kirim surat ke dia? Dia belum membalasnya, dia takut pada dirinya sendiri, pada hatinya,”
“Apa?” Eka mulai membuka kertas itu dan merangkai tiap huruf dan kalimat di dalamnya.
Aku melihat ada senyum kelegaan di wajahnya, seperti ada beban yang lepas dari kepalanya.
Aku melihat airmata jatuh di sisi mata Caca.
“Will, lihat!”
“Ca, Caca kamu disini?”
“Aku panggil dokter,”
“Dok, tolong Caca,”
“Ya, saya periksa dulu,”
“Ca,” aku lihat Eka membelai lembut kepala Caca dan membisikkan sesuatu, entah apa itu aku tidak tahu.
“Will,”
“Hello Ca, aku disini, tenanglah... semua akan baik-baik saja,”
Caca hanya mengangguk pelan, aku telfon Ayah dan Mama. Mereka seperti melepas rasa rindu yang teramat sangat membuncah di dada mereka. Aku biarkan saja, aku menepi dari mereka.

17-23 Juni 2012, D’Oren Room Bjn