Senin, 27 Oktober 2014

>> Omnibus

 The Phothographer

“Kamu suka sama dia?”
“Siapa?”
“Model kamu itu?”
“Nggaklah,”
“Sejak kapan?”
“Apanya?”
“Kamu suka dia?”
“Nggak,”
“Nggak usah bohong sama aku,”
“Sok tahu,”
“Mata kamu kelihatan, buta tuh cowok kalau nggak lihat kamu naksir  dia,”
“Dia sudah punya pacar bahkan mau menikah dan ini proyek foto prewedd mereka,”
“Nah itu tahu, kenapa masih pelihara rasa ke dia?”
Kelana diam, dia seakan telah ditelanjangi isi hatinya oleh sahabatnya.
“Kerja itu pakai hati, bukan main hati, Lana kamu denger aku, nggak?”
“Iya, masalahnya nggak pernah ada namanya cinta itu salah,”
“Iya, siapa juga yang nyalahin cinta, disini tempat cinta bersemi yang salah, bersemi di tempat tetangga, kamu jangan gila,”
“Aku hanya suka, dan itu nggak pernah salah,”
“Rasanya sakit, kamu akan ngerasain,”
“Memangnya kamu pernah ngerasa?”
Damar diam melanjutkan merapikan kamera-kamera.
“Lana, kalau di outdoor gitu yang berkonsep bisa donk?”
“Bisa, kalian bisa lihat hasilnya ini, murni, kalau kurang puas masih bisa ganti lagi,”
“Ihh kamu mah keren, kita sudah ganggu jadwal kamu terus foto ini itu tapi nggak pernah jadi niat nikahnya,”
“Sampai nggak ada waktu buat pacaran itu Lana, karena kalian suka banget di foto dia,”
“Sama tuh Andini juga, nggak pernah ada waktu buat aku,”
“Curhat broooo,”
Andini nampak mencubit lengan Seto.
“Aku pulang dulu, kamu bener nggak mau bareng aku?”
“Ennggak Damar, Lana bisa pulang sendiri,” Lana senyum garing.
“Hati-hati diculik vampir,”
“Aku mau bareng kamu,” Andini berlari mengambil jaketnya.
“Lhooohh, aku?” Seto kaget melihat pacarnya lari ke arah Damar.
“Kamu sendiri saja, biasanya kamu mampir-mampir, besok aku harus kerja pagi, aku pulang dengan Damar saja,”
“Okey, hati-hati brooo, itu calon istri orang,”
“Siaaaappp,”
Damar dan Andini bergerak pergi, Lana membersihkan studionya sendiri.
“Aku bantu,”
“Nggak perlu,”
“Nggak apa-apa, daripada kerja sendiri,”
“Denger apa?”
Lana memasang headset di telinganya.
“Bukan apa-apa, music biasa,”
“Kamu sama Damar kenapa nggak pacaran?”
“Nggak, selera Damar bukan kayak aku,”
“Tahu darimana?”
Lana berhenti sejenak, berfikir, benar saja sudah 2 tahun kerja bersama tapi Lana tidak tahu bagaimana selera Damar. Lana hanya sering mendengar Dania, Lisa, Sarah itu cantik di mata Damar, mungkin Sarah selera Damar karena Lana sering mendengar nama itu disebut. Model Damar yang paling alim.
Lana mengambil kain background foto dan Seto membantunya, tangan mereka bertemu.
“Pulang saja, katanya mau mampir-mampir,”
“Nanti saja, nunggu kamu sekalian,”
“Aku udah biasa sendiri, pulang nanti jam 11 an,”
“Eh gimana kalau kita dansa?”
“Kamu ngarang, aku nggak bias dansa, nggak ada music,”
“Ini dunia luas, jangan denger music sendiri saja,” Seto melepas headset Lana dan membuat load speaker.
Seto menarik tubuh Lana, Lana seperti ingin mengelak tapi tidak bisa, mata mereka bertemu. Jantung Lana naik turun, dia merasakan hal berbeda dalam setengah pelukan Seto.
“Kamu salah,”
Lana mendorong Seto ketika bibirnya hampir bertemu dengan bibir Seto.
“Kamu ini mau menikah, jangan gila,”
“Tapi aku justru punya rasa suka sama kamu,”
“Itu pelarian gila, pulanglah,”
Hei, kamu juga suka kan?”
“Suka apa?”
“Me, ada yang beda dari sikap kamu, kamu suka sama aku? Sejak kapan?”
“God, kamu ada-ada saja,”
Seto menarik tangan Lana.
“Bilang kalau kamu sekarang nggak suka, bilang kalau jantung kamu nggak naik turun sekarang, bilang kalau keringat dingin di tangan kamu ini bukan karena aku,”
“Seto, please, sekalipun aku suka hanya sebatas suka saja, kamu model aku,”
Bibir mereka bertemu ringan.
‘*******
“Aku suka sama Seto,”
“Apa? Maksud kamu?”
“Aku suka sama Seto, aku cinta sama dia, pacar kamu, calon suami kamu,”
“Apa? Kamu gila? Kamu sadar dengan ucapan kamu?”
“Iyah, kesadaran tingkat sempurna,”
“Lana, kamu? Kalian sudah bersama? Seto tahu?”
Lana diam.
“Jadi Seto tahu? Kalian bersama? Kalian main belakang? Lana! Aku ini teman kamu, kalian tega ngelakui itu?”
“Din, aku sama Seto nggak bersama, demi apapun aku nggak sama dia, aku Cuma ngomong ini  biar aku bisa jujur sama diri aku sendiri,”
“Bohong,”
“Din, aku serius, Seto memang tahu kalau aku suka dia tapi kita nggak ngapa-ngapain. Kamu nggak percaya?”
“Nggak, aku nggak sangka kamu begitu,”
“Aku Cuma mau jujur sama diri aku, aku nggak bermaksud buat nyakitin siapapun, aku juga tersiksa dengan perasaan aku ini,”
“Dia sering nggak ada kabar pasti kalian sedang bersama,”
“Din, aku bilang kita nggak bersama,”
Andini dan Lana diam.
“Ada apa?”
Seto masuk studio Lana.
“Ayo fotonya di mulai,”
“Nggak usah, nggak jadi, buat apa ada foto ini,”
“Kenapa ini?” Seto menarik tangan Andini.
“Aku tahu apa yang kalian lakukan,”
“Lakuin apa?”
“Kalian selingkuh,”
“Hei, kata siapa?”
“Jujur, kamu!”
Nggak ada! Aku tahu kalau Lana suka aku tapi khilafnya kami hanya sebatas karena merasa kesepian,”
Andini berlari keluar diikuti Seto, Lana mengikuti namun seketika tangan Damar menariknya.
“Itu urusan mereka, kalau kamu ikut semakin rumit nanti, disini saja,”
“Tapi,”
“Andini butuh penjelasan tapi bukan dari kamu,”
“Aku nggak pernah ngapa-ngapain sama Seto, kami ngobrol dan nggak ada yang lain,”
“Lana, kamu tahu nggak selama ini kamu ngelihat ke arah yang jauh tapi kamu nggak pernah ngelihat ke arah sisi dekat kamu, ada orang yang jauh peduli sama kamu dibanding yang lain,”
“Maksud kamu?”
“Rasanya sakit kalau orang yang kamu suka malah suka sama orang lain, kamu tahu? Aku ngerasain itu, pernah, sekarang, saat ini, karena orang yang aku suka itu kamu,”
“Damar, kamu,”
“Disini saja,” Damar tidak melepas genggaman tangan di pergelangan Lana.
Lana melihat Damar dan Damar melepaskan tangannya.
“Pergi saja, jika kamu rasa baik,”
Lana pergi. Damar membereskan semua alat foto.
“Rasanya aku lebih membutuhkanmu entah sebagai apapun, aku mau tetap ada kamu disini,” Damar terkejut ada yang memeluknya dari belakang dan dia hafal suara yang  memeluknya itu.

Kantor Bjn, 4 Okt 2014 s/d 27 Okt 2014




Sepotong Cinta dalam Diam

Suatu siang di sebuah acara GR resepsi.
                “Nin, kenalin ini Wahyu,”
                Si calon mempelai wanita semangat mengenalkan temannya. Yang dikenalkan terdiam seperti menyimpan sesuatu.
                “Eh kalian apa nggak saling kenal? Kalian satu sekolah,”
“Owh, beda angkatan mungkin,”
“Ihh Nina, kita satu angkatan, Wahyu ini teman main aku sejak lama, Mas Bimo juga kenal lama, teman main futsal,”
“Owh, aku nggak terkenal dan nggak gaul, jadi maaf kalau nggak tahu,”
“Eh ya sudahlah, kalian pasangan yak, pendamping pengantin,”
“Lhohhhh, nggak ada yang lain?”
“Nggak ada, kalian sudah pas, memang ini yang aku mau, kedua temanku saling kenal,” nyengir kuda si calon pengantin wanita ini.
Kedua teman ini berdiri kaku dan keduanya diam.
“Kenapa mengaku tidak kenal?”
“Daripada dicampakkan lebih dulu dibilang nggak kenal, aku yang bilang dulu saja, sudah biasa sakit hati soalnya,” melihat sesaat ke arah Wahyu.
“Kalau begitu maaf, Nin.”
“Maaf? Buat apa? Nggak perlu minta maaf ribuan kali, nggak ada yang perlu dimaafkan,”
^------^
“Aku mau buat sesuatu yang istimewa buat acara resepsiku, Mas Bimo sudah buat semacam puisi, aku juga mau buat puisi balasan, aku bacakan ketika di resepsi dan Mas Bimo baca ketika acara akad. Tapiiiiii aku mau kamu yang buat, kamu kan paling pinter tuh dengan kalimat-kalimat romantis, nanti aku cerita dari awal sama Mas Bimo awal ketemu sampai memutuskan nikah,”
“Aku kan belum pernah nikah kog kamu suruh buat puisi-puisi nikah?”
“Pokoknya dari hati, haruuuusssss.”
“Iihh teman macam apa, memaksa,”
“Kamu dan Wahyu kenapa tidak saling kenal?”
“Memangnya satu sekolah muridnya 5? Muridnya ratusan, ada anak IPS ada anak IPA ada anak Bahasa, kamu ini, terus aku apa disuruh absen satu-satu,”
“Hihi, aku mau nge-jodohin kalian, aku fikir kalian sudah saling kenal, kalian itu mirip,”
“Mirip darimana?”
“Yang satu flat yang satu meletup-letup, yang satu nerimo* yang satu nggak nrimoan*, kalian adalah doaku yang masih menggantung di langit,”
Nina dan Salma saling berpandangan, Nina haru menatap sahabatnya itu. Dalam hati dia sangat meminta maaf karena dalam kenyataannya Nina mengenal Wahyu.
 ^------^
“Sa, beneran pakai kain ini? Bisa jalan apa aku ini?”
“Bisa, kan sudah sedikit feminin, ada Wahyu yang bakal nangkap kalau kamu jatuh,”
“Bangun sendiri juga bisa,”
Ketika sang calon mempelai pria berteriak melafalkan ijab, semua tertawa, hafal di depan teman-teman begitu depan penghulu selesai, hafalannya hilang.
“Mereka itu sahabat, tidak saling tahu ada cinta diantara mereka, mereka adalah pertemuan doa di langit yang akan menjelma ke bumi. Terkadang jodoh itu aneh, dicarinya jauh-jauh ternyata yang dekat begitu setia menanti,”
“Pacar kamu nggak ikut datang?”
“Masih di Langit,”
“Belum menjelma ke bumi?”
“Belum, cinta itu mengisi diantara jari-jari kita, kalau mau bersama pasti keduanya mampu melawan dunia,”
“Kalau kita? Cinta seperti apa yang kita punya dulu?”
Nina berdesir mendengar ucapan Wahyu.
“Masihkah? Cinta yang masih menggantung pada lafal doa di langit, jika tertulis di lauh mahfuz dengan ucapmu itu cinta yang menjelma ke bumi,”
“Lalu harus seperti apa kita?”
“Seperti ini saja, tapi biasakanlah saja, jangan membenciku karena sebenarnya aku tak mampu untuk kamu benci,”
Hening.
^------^
Kalian tahu? Banyak cara untuk bertemu
entah mata, entah kata, entah doa,
bersabarlah menunggu hingga ketiganya terwujud.
Aku menunggu karena percaya
Setiap kata tak akan kau ingkari
Kamu tahu?
Betapa aku sangat bersyukur
Lelakiku itu kamu,
Aku belajar dari tanah yang menyerap tiap titik hujan
Bahwa setiap yang jatuh butuh tangkapan,
Bukan dibiarkan berserakan
Dulu kita adalah manusia tanpa nyali
Ya tanpa nyali untuk saling berpelukan
Hanya diam-diam menginginkan dalam doa
Doa itu masih menggantung di langit, itu kemarin
Hari ini, aku sungguh ingin berucap ribuan kali
Hei kamu lelakiku, disini aku dan sajadahmu menunggu
Setiap hari akan begitu
Dengan keyakinan yang merayap khusyuk
Doa itu menjelma ke bumi
Berwujud kita dalam janji kalimat suci
Dengan saksi ribuan malaikat
Maka disini sajalah
Akan aku cintai kau dengan sederhana
Dan biar pula aku cintai kerumitanmu.**

Nina mengusap airmatanya yang menetes, sahabatnya itu paling bisa membaca puisi dengan melibatkan hati.
Wahyu hanya melirik memberinya selembar tissue.
Acara resepsi selesai dan acara foto gila-gilaan dengan pengantin selesai pula.
“Aku suka puisi itu, terimakasih istriku,”
“Heh, aku disini, jangan difikir dunia milik kalian,”
“Nina kan paling jago buat puisi cinta, kata-kata pujangga, nggak tahu itu anak lahirnya di negeri dongeng mungkin.” Salma menunggu Bimo membuka pintu kamar hotel.
“Nina?”
“Iyah, Nina,”
Wahyu terdiam dan berfikir sesuatu. Dia berjalan mundur dan seperti berfikir keras lalu dia lari menghamburkan seluruh kotak kado di tangannya.
“Mau kemana? Maka disini sajalah, akan kucintai kau dengan sederhana, dan biar pula aku cintai kerumitanmu, biar doa itu menjelma ke bumi,”
Wahyu mendekap Nina dari belakang, tangannya melingkar di leher Nina. Kalimat puisi yang masih diingat Wahyu menjadi bisikan yang mengejutkan di telinga Nina.
“Ciiieeeeehhhh, katanya nggak kenal??? Kog sudah berani main pelukan,”
Wahyu melepas pelukannya dan Nina menoleh ke belakang melihat Wahyu dan sahabatnya yang baru menikah.
“Bukankah kamu suka pelukan dari belakang, lebih drama katamu dulu,”
“Ini sih drama banget,”
“Mereka itu saling kenal, aku tahu, pura-pura saja tidak tahu, teman satu sekolah kog tidak kenal, Nina itu terkenal di sekolah, jadi mau bohong bagaimanapun gelagatnya bisa di baca,” Salma dan Bimo tertawa.

Catatan : *nerimo (Bahasa Jawa) = menerima
   **puisi yang dirangkai dari kalimat-kalimat Aqmarinna Q A plus aku tambah-tambahin.


Kantor Bjn, 19 Sept 2014

               


Sigaring Nyowo

                Ini kisah keluargaku, keluarga kecil yang sederhana dengan segala masalah yang berliku dan tawa yang  menggema.
    Pagi ini ku lihat dia, Ibuku, dia adalah sosok tangguh, lihat saja dia sudah membesarkanku hingga 25 tahun usiaku, apa yang mampu aku beri? Belum banyak, kuharap kelak aku memberi tiket ke tanah suci. Aahh itu mimpi orangtua dimanapun terhadap anaknya. Tapi Ibuku ini, apa yang harus aku katakan tentangnya, dia pejuang, dia pernah bilang tidak mau apapun dariku hanya mau aku bahagia dan punya keluarga kecil yang menentramkan jiwa.
Ini kisahnya, hampir tak pernah aku melihat ada airmata di wajahnya, itu yang membuatku juga bertahan. Ya berjuang bertahan untuk tidak meneteskan airmata, jika tidak karena beliau maka sudah tumpah ruah air mata ini membanjir.
“Bu, meriang ini,”
“Oalah sini Ibu kerokin ya, Ibu balur dengan minyak angin,”
Maka terjadilah adegan tidak enak dipandang  siapapun, edisi kerokan karena masuk angin. Sentuhan tangan beliau adalah obat. Obat yang tidak bisa ditemukan dimanapun, bahkan dokter tidak bisa menjelaskan tentang sentuhan itu.
“Makanya punya istri, Le. Kamu ini punya pacar tidak?”
“Ahh Ibu, nggak mau punya pacar, punya istri langsung, doanya saja,”
“Aamiin,”
Maka setelah lukisan tulang ikan jadi, itu adalah bentuk kehangatan tersendiri.
“Apa yang Ibu lihat dari seorang Bapak?” aku melirik Bapak yang sudah tidur pulas di ranjangnya.
Aku tidur di pangkuan Ibu.
“Le, lelaki itu dipegang dari bicaranya, pernah lihat kisah Habibie yang begitu  mencintai Ainun, dia bilang akan satu atap dengan Ainun. Maka Habibie tak pernah lepas jauh dari Ainun. Pernah lihat kisah Mahabharata, para Pandawa ingin membayar penghinaan atas Drupadi dan mereka melakukannya, Atau kisah Romeo dan Juliet,”
“Ibu memegang omongan Bapak?”
“Beliau melamar Ibu tanpa berjanji apapun, tapi beliau hanya janji tidak akan pernah membuat Ibu menangis, beliau tidak berjanji akan ada harta dan intan permata untuk Ibu, Ibu ada disini karena itu,”
“Sekalipun tidak ada airmata dari Ibu untuk Bapak?”
“Ibu menangis bukan karena Bapak, Ibu justru bangga kepada Bapak, ingat tidak ketika seorang suster bertanya 1 sampai 10 berapa tingkat level sakitnya, Bapak menjawab 9, Ibu tahu itu jawaban untuk angka 10, Bapak menjawab 9 karena pasti tahu akan ada rasa sakit setingkat 10. Jika Ibu mau maka Ibu akan menangis saat itu juga dan memeluk Bapak, Ibu tidak melakukannya karena ada kamu, Ibu mau kamu kuat karena Ibu juga kuat, Bapak sudah kuat bertahan untuk kita sejauh ini, Bapak yakin mampu maka dari itu kita juga harus yakin mampu,”
“Kalau Fahri punya istri mau yang seperti Ibu,”
“Jangan, Le. Garwo itu sigaring nyowo, bukan seperti ini dan itu, dia hadir melengkapi hati, jiwa, raga, yang mau nerimo kamu dan keluargamu, yang mampu jadi penyejukmu, pengingatmu di jalan Allah.”
“Mana ada orang seperti itu?”
“Cari pakai ini,” Ibu menunjuk ke dadaku “bukan pakai ini,” menunjuk lagi ke mataku.
“Susah,”
“Matanya di letakkan disini,” Ibu menunjuk dadaku lagi dan kali ini mengelusnya.
“Kalau ada tapi dia ternyata,”
“Apa?”
“Tidak, Bu. Tidak jadi, Ibu sare saja, gantian nanti, biar Fahri yang jaga,”
“Ya sudah,”
Ibu beranjak tidur.
Sudah tidak terhitung Bapak masuk ICU, sudah hampir 1,5 tahun Bapak menjadi pasien yang harus selalu menjalani hemodialisa. Dalam waktu tersebut tak sekalipun Ibu pernah terlihat mengeluh.
Aku suka berfikir cinta seperti apa yang orangtua kita punya. Bisa dilihat di layar tv setiap ada program infotainment selalu ada artis yang kawin cerai.
Aku anaknya saja melihat Bapak yang menahan sakit rasanya mau menangis dan ini Ibuku, istri yang menemani Bapak dari muda hingga kini, dari tak punya apapun hingga ada semua. Ibu macam apa itu, atau beliau adalah malaikat di rumah kami.
“Aku mau digendong Akung,”
“Eh Aish jangan nakal, Akung lagi sakit, sini digendong Om  saja,”
“Aish mau sama Akung,”
Rengekan bocah yang dekat dengan kakeknya itu terlihat miris. Bapak tidak lagi bisa menggendongnya, bermain saja harus dibatasi.
Aku begitu sentimen ketika sering kali Bapak merasa gatal dan Ibu mengelusnya, manjanya Bapak terlihat. Sabarnya Ibu ketika Bapak sering marah karena memang tekanan darah suka berubah-ubah.
Yang aku paling ngeri adalah ketika pemasangan selang di selangkangan paha, itu sudah pasti sangat sakit, aku tidak sanggup melihat Bapak ketika melakukan cuci darah. Aku lebih baik di luar mengobrol dengan beberapa keluarga pasien lainnya. Kini Bapak sudah di pasang cimino, itu lebih praktis, tapi bukan tanpa sakit. Cuci darah yang berlangsung kurang lebih 5 jam mampu membuat yang menunggu merasa bosan dan ngeri, tapi si pasien justru tersiksa dengan rasa mual, pusing dan keram.
“Bapak semakin kurus ya, Mas,”
“Doakan saja semakin sehat, kita mengusahakan yang terbaik buat Bapak,”
“Kasihan Ibu,”
“Dia srikandi, nggak mungkin kalah sama keadaan, kecuali kalau Ibu melihat kita menyerah,”
“Semoga tidak, Mas,”
“Maka kita bertahan semampu kita, jangan menangis,”
“Rasanya kadang tidak kuat menahan tangis,”
“Laki kok nangis,”
“Memangnya tidak boleh,”
“Punya sandaran hati baru boleh nangis,”
“Punya, Mas. Sandaran hati saya kuat karena DIA sang pemilik hati dan semua isi dunia ini,”
“Pacar? Mana pacar kamu si?”
“Di luar kota, bukan pacar, kawan,”
“Tahu tidak keadaan orangtua kamu?”
“Jangan, nanti kefikiran,”
“Memangnya tidak boleh ikut mikir?”
“Jangan bicara tentang dia dulu, Mas.”
“Kenapa? Kalian berantem?”
“Nggak,”
“Lalu?”
“Rumit, Mas.”
“Dia suka segala bentuk kerumitanmu, simak ini,”

Akan aku cintai kau dengan sederhana
Dan biar pula aku cintai kerumitanmu

Mas Teguh menyodorkan handphonenya, jejaring sosial berlambang burung biru itu menunjuk satu akun, nama itu tak asing buatku.
“Sejak kapan Mas berteman dengan dia?”
“Sejak mau tahu tentang dia,”
Aku terdiam. Melihat Bapak dan Ibu bersama puluhan tahun membuat aku berkiblat memiliki keluarga yang juga hingga akhir hayat. Ada satu tembang jawa asmaradana yang menurut saya indah, kira-kira seperti ini .

 “Gegaraning wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitané
Luput pisan kena pisan
Lamun gampang luwih gampang
Lamun angèl, angèl kalangkung
Tan kena tinumbas arta “

  Berikut ini jika liriknya diterjemahkan dalam bahasa indonesia.

"Landasan orang berumah tangga,
Bukan harta bukan rupa,
Hanya hati bekalnya,
Gagal sekali berhasil ya sekali,
Bila mau menghadapi dengan mudah akan menjadi lebih mudah
Bila dihadapi dengan berat akan menjadi berat,
Semua itu tidak bisa dibeli dengan uang "

“Katanya tidak suka hujan? Kenapa sekarang hujan-hujanan seperti anak kecil?” aku merasa ada yang memayungi.
Aku menengok dan dia ada disini.
“Kamu kapan pulang?”
“Langsung kesini dari stasiun,”
“Kucingnya kasihan, baru lahir,”
Akila manggut-manggut lalu “Apa kabar kawan?”
“Tak sebaik yang kamu lihat,”
“Baik-baiklah aku sudah disini,”
“Katanya suka hujan?” aku menarik payung yang tidak terlalu erat di tangan gadis yang kedatangannya baru saja membuat jantungku terkejut.
“Aaaaaa,” kawan lama itu bernama Akila. Hujan itu sedikit membasahi tubuhnya dia berlari ke koridor rumah sakit.
Aku berjalan ke ruang perawatan Bapak. Langkah Akila yang kecil berusaha mengimbangiku.
“Tidak kangen?”
“Tidak,”
“Yakin? Nanti aku langsung pulang dengan kereta malam,”
“Ihh nggak capek?”
“Nggak, kan udah lihat kamu, kenapa? Masih belum mau jujur kalau kangen,”
“Tahu darimana disini?”
“Dulu kamu sering cerita,”
“Sudah ketemu Ibu?”
“Sampun, tadi ke ruang perawatan dulu baru cari kamu, nggak tahunya lagi galau hujan-hujanan,”
“Nggak galau,”
“Nggak galau bukan berarti kuat,” Akila nyengir. “ada hujan dan ada matahari dan butuh keduanya untuk melihat pelangi warna-warni,”
Akila berjalan riang di depanku.
“Kapan kita menyeberang jalan berdua lagi? Kapan kita bisa keliling kota di jalan yang sama?”
“Hehe, sebenarnya modus saja, tidak bisa menyeberang jalan biar bisa gelayutan di bahu  kamu, tidak pernah ingat arah jalan karena aku punya peta hidup yaitu kamu,”
“Lalu kenapa tak kamu bawa aku pergi bersama kamu?”
“Aku bawa, disini,” menunjuk ke hatinya, “disini,” menunjuk ke kepalanya, “disini,” menunjuk ke matanya.
Akila itu seperti semangat buat orang di sampingnya.
“Bapak tiba-tiba kejang, sekarang di ICU,”
“Masya Allah,”
Akila memacu jalannya menuju ICU.
Terlihat Ibu duduk di depan ruang ICU dan aku menghampiri, sedikit basah aku bersandar di bahu Ibu. Akila memeluk Ibu dari samping, keduanya tampak akrab walau baru pertama bertemu, mungkin keduanya punya perasaan sama, perasaan seorang perempuan.
“Ibu masih ingat bagaimana Bapak meminta Ibu menjadi kekasihnya, Bapak menyanyikan lagu jam 3 pagi di depan rumah Ibu,”
“Bapak romantis ternyata,”
“Bapak menyanyikan lagu kekasih dari Rhoma Irama,”
Akila duduk menyimak cerita Ibu, tangannya menggenggam tangan kanan Ibu. Aku masih bergelayut di bahu Ibu.
“Bapak bukan hanya suami, teman hidup, Bapak adalah sigaring nyowo, lebih dari teman,” tangan kiri Ibu mengambil tanganku dan menggenggamnya. “teman itu bisa dicari, sigaring nyowo bisa dicari dengan hati, terkadang merasa jauh tetapi hati tidak bisa jauh, fikiran selalu dekat, garwo itu teman, bukan sekedar teman hidup, tapi teman segala hal, berbagi sedih, suka, kata, cipta, keluh, resah, berbagi fikir, kalau kalian nanti punya garwo, cintailah dengan hati, cobanya wanita ada ketika sang pasangan sedang sakit dan lupa akan jalan pulang, maka cintailah dan selalu ingatkan di jalan lurusnya,”
Dokter keluar dari ICU.
“Stabil, tidak apa-apa,”
“Terimakasih, Dok,” Ibu berusaha berbicara dengan dokter tentang kondisi Bapak.
Tanganku menggenggam jari jemari Akila tanpa sadar. Seakan aku meminta kekuatan dari dia.
“Semoga kelak kita menemukan sigaring nyowo itu,”
“Aaamiin,” Akila mengamini kalimatku.
                                                                                      Bjn-Pati, 19 Sept s/d 4 OKt 2014               



0 comments:

Posting Komentar