Rabu, 18 Juni 2014

SEBELUM PAGI YANG SAMA DATANG KEMBALI



           

           “Kamu, kenapa nangis di depan sini? Tidak ada uang atau lapar?”
“Heeeeuuuu...”
“Kok tambah seru nangise mbak?1 Hadeeeeuuuhh,” lelaki kurus yang kegantengannya di tutupi dengan kupluk kucel mulai garuk-garuk kepala.
“Nggak usah ngamen disini, nggak tahu apa orang lagi sedih,”
“Naahh, saya juga lihat mbaknya lagi sedih, nangis begitu makanya saya tanya,”
Mengusap airmata lalu si gadis pergi dari depan sebuah rumah makan fast food.
“Lhooo, nggak sopan, main pergi saja,”
Lelaki itu memperkenalkan dirinya dengan gagah.
“Bagus, nama kamu siapa? Bukan orang sini, ya?”
“Bukan, kenapa? Mau macam-macam?”
“Halah mbak semacam saja saya repot kog mau macam-macam, saya ngamen buat bantu adik-adik saya sekolah, bukan buat beli rokok apalagi miras,” Bagus sedikit berbohong tentang jati dirinya yang sebenarnya anak keluarga mampu.
“Eh mbak daripada galau nangis malah saya yang dikira orang-orang sudah macam-macami mbak, bagaimana kalau kita jalan-jalan? Malam minggu, lumayan,”
“Mau kemana?”
“Mbak kan bukan orang sini, saya ajak ngamen ke Ngarsopuro,”
“Apa itu? Ngamen? Nggak aahhh,”
“Halah, ayoo ikut saja, tempatnya asyik di Jogja nggak ada tempat kayak gitu, apalagi tempat asal mbak,”
Mereka jalan bersama, kadang Bagus di depan dan kadang si gadis galak itu mengejar ke depan.
“Iihh... tunggu, kalau jalan jangan cepat-cepat,”
“Kalau jalannya alus kayak mbak, kita nggak bakal kebagian acara,”
“Semangat sekali, memangnya benar-benar bagus apa?”
“Wiihh iya, sunmor UGM, sunmor mana-mana kalah sama satnite Ngarsopuro, nggak ada tandingannya,”
“Iiiisshh, promo, nama kamu siapa? Bagus?”
“Iya, kenapa Mbak? Cocok ya sama mukanya?”
“Halah, muka ama hati kadang nggak sepaham, nggak cocok,”
“Ehh, kamu ngapain nangis di depan Pizza Hut tadi?”
“Cuma kelilipan,”
“Yakin? Kelilipannya sampai hati?”
Si gadis galak itu melirik, menatap tajam sinis, lalu tersenyum.
“Kamuuuu, coba kamu stand up comedy gitu pasti banyak yang lihat, ngakak, lucu,”
“Mbak aja kan lucu juga,”
“Lucu apa?”
“Sebentar-sebentar marah, galak, sebentar lagi ketawa, sebentar lagi nangis, sebentarnya lagi mmm, romantis gitu mbak, mumpung malam minggu sama cowok ganteng di Solo,”
“Halah, aku Kala,”
“Heiihh namanya aneh, Kala, Kala fajar datang atau kala senja memeluk?”
“Kala tangis menjadi tawa,”
Mereka melanjutkan perjalanan mereka, berjalan menyusuri trotoar jalan slamet riyadi.
“Tarrraaaaaa, ini dia, sampai juga,”
“Cuma sejalan ini?”
“Iya, kamu pasti puas menikmati sepanjang jalan ini,”
“Let’s go to start our night,” Kala berjalan dulu meninggalkan Bagus yang berdiri terpaku.
Di ujung permulaan Kala menikmati paduan suara dari sebuah kampus di Solo.
“Ini paduan suara UNS, Sebelas Maret,”
“Yeaah, aku mendengar kesaktian mereka di panggung paduan suara, Voca Erudita, pernah menang 3 medali emas di Thailand, suara mereka menggema diantara paduan suara semua universitas di Indonesia,” Kala memandang bangga dengan apa yang dilihatnya.
“Kamu lebih tahu banyak,”
“Iyalah,” Kala menyingkir dari paduan suara itu, dia puas menikmati dan mendengar langsung suara-suara dari langit paduan suara UNS.
“Kita dansa,” Bagus menarik tangan Kala sebelum dia benar-benar menyingkir.
“What? I can’t,” Kala melotot menatap mata Bagus.
“Kita harus berani melakukan hal baru, siapapun yang bisa berjalan dia pasti bisa menari,”
Kala kikuk berdansa dengan Bagus apalagi itu di hadapan banyak orang. Di akhir dansa mereka mendapat tepukan tangan dari pengunjung.
“Waahh, ini lucu, itu juga,”
“Jangan bilang mau beli semua,”
“Iyaaahhh,” muka Kala memelas di depan Bagus.
“Nanti saja, uang ngamen tidak cukup, kita cari makan saja,”
Bagus berjalan ke arah Pasar Triwindu.
“Ini pasar barang antik, kalau siang kamu bisa cari apa saja yang antik-antik disini,”
“Pasar Triwindu,”
“Iya, kamu tahu itu, sejarahnya dapat nilai A?”
“B, cowok kayak kamu bisa di jual disini? Soalnya kamu antik,”
Bagus melotot dan Kala merasa mau diterkam lalu dia berjalan mencari lesehan.
“Saya pesan nasi liwet, teh panas 1, eh kamu makan apa?”
“Sama,”
“2 Bu, maturnuwun”
“Iihh sok imut,”
“Memang masih imut, kamu itu sudah tua,”
“Tua begini yang naksir banyak, boleh tahu nggak?”
“Nggak, nggak boleh minta nomor hape, nggak boleh tanya alamat Jogja dan alamat asal, itu perjanjiannya.”
“Eh kapan buat perjanjian macam itu?”
“Baru saja,” Kala nyengir.
“Iiiissshh, kalau umur dan tempat kuliah? Terus kenapa kamu nangis di depan PH tadi, boleh?”
“Umur 19, masih kuliah di kampus keren di Jogja, beasiswa, putus sama pacar, mmm salah, ditinggal kawin tepatnya,”
“Dia lebih tua? Atau dia yang...,”
“Dia nggak oke, dia 27, iihhh, beraninya pacarin anak kuliahan buat seneng-seneng doank, ternyata sudah punya calon istri, aaiihhh, rasanya itu kayak ada pesawat meluncur tepat diatas kepala, wwwuuussshhhh, disuruh ke Solo Cuma buat lihat dia duduk di pelaminan sama putri Solo,”
“Owh, asal kamu mana?”
“Bandung,”
Nasi liwet dan teh panas datang di depan mereka, mereka menikmati malam minggu mereka.
“Aku nanti mau foto donk di patung gamelan-gamelan itu,”
“Boleh nanti aku fotoin, kamu nggak mau beli apa gitu?”
“Kamu yang beliin? Aku mauuuu?” melirik nakal sambil senyum simpul tertahan.
“Iiihh, dasar nakal, kalau begitu kita ngamen dulu,”
Mereka berjalan santai hingga ujung melihat-lihat apa saja yang dijajakan di night market Ngarsopuro Solo. Selama punya pacar anak Solo, Kala tidak pernah punya cerita menarik tentang Solo.
“Anak sekolah begitu apa disuruh gurunya atau bagaimana?”
“Biasanya mereka promo kesenian sekolahnya untuk menjaring siswa baru tahun ajaran baru,”
“Katanya mau ngamen ayo mulai,”
Berdiri di trotoar yang meremang, di depan patung loroblonyo, Kala mengambil nafas panjang untuk memulai teriakannya.
“Pengunjung sekalian, ehem-ehem, mohon perhatiannya sedikit saja, mmm sebentar saja, mau numpang ngamen sebenarnya tapi kalau kalian suka boleh kasih apresiasi sedikit ke kita, kalau nggak enak denger saja sampai selesai, jangan pergi juga, owh iya kita nggak minta banyak, nggak minta aneh-aneh, kalau bagus ya silahkan isi apa saja di...,” Kala mencari sesuatu, lalu dia menemukan topi kucel Bagus yang dipakai menutup rambut ikalnya. “Ini, masukkan selembar dua lembar bolehlah,”
“Kala, kamu,”
“Will see, katanya kita harus berani melakukan hal baru, ini belum pernah aku lakukan sebelumnya,”
“Nekat,”
Kala membisikkan sesuatu di telinga Bagus, semacam lagu dan kunci gitar yang Kala mau.
Lagu pertama jazz Satu Jam Saja dari Sazkia Gotik di medley dengan Cinta Satu Malam dari Melinda. Semua menikmati penampilan Kala, gerakan yang ditampilkannya minimalis tapi menghibur.
“Terimakasih,” ucapan lirih Kala mampu menyihir semua yang datang membenntuk lingkaran itu bertepuk tangan, kupluk kucel itu sepertinya enggan beranjak karena penuh terisi.
“Okey, siapa yang nggak kenal acara stand up comedy? Mmm banyak artis yang lahir dari acara itu, now, temen saya mau coba buat ber-stand up comedy, dia lumayan lucu, kalau nggak lucu timpukin aja pakai uang, hehe,”
Pengunjung tertawa sekilas, melihat Bagus yang hanya terkaget-kaget dan bengong dengan gitarnya.
“Show it, beb, katanya kita harus berani,”
Kala menyambar gitar, dia memainkannya pelan mengiringi Bagus. Bagus yang masih merasa dibawa melayang Kala mencoba berkompromi dengan dirinya. Kalau ngamen saja dia berani kenapa stand up comedy dia kaku akut.
“Selamat malam, mmmm serak ini suara saya, gemeter juga sih, bukan karena malam ini dingin tapi karena memang saya tegang, uupppsss,”
Bagus menarik nafas panjang melihat ke arah Kala. Dia heran dan kagum dengan Kala, dia bisa memainkan gitar. Bagus bingung.
“Tema kita apa ya? Mantan, kayaknya kalau semua yang disini ingat mantan, banjir mungkin ya Ngarsopuro ini,”
Bagus melihat ke arah Kala, Kala hanya tersenyum.
“Apa sih... Ehem-ehem, selamat malam penggemar,”
Kala mulai nyengir.
“Kita bicara mantan, siapa yang pernah disakiti mantan sampai jleb-jleb, bahasa anak jaman sekarang kan gitu, hastag jleeebb, hastag tragis, hastag kamu, iyaaa kamu,” Bagus menunjuk Kala,”
Kala nyengir lagi dilihat banyak orang.
“Oke, Mantan itu biasanya ngeri, coba kita lihat mantan NAPI, wow, mantan pemakai, mantan boyband, mantan ustadz, wow... tapi jarang yak yang mantan ustadz, naaahh kalau mantan-mantan tersebut mengerikan berarti mantan kita mengerikan donk, terus ngapain inget orang yang mengerikan, di ingat, di elus fotonya, di kenang, oii emang mantan kalian pahlawan pakai acara dikenang?. Sekarang mantan yang ngeri aja udah punya lagu, mantan terindah liriknya mau dikatakan apa lagi kita tak akan pernah satu, engkau disana aku disini meski hatiku memilihmu,” Bagus sedikit menyanyi. “ Nah udah tahu engkau disana aku disini, jauh ngapain juga pakai acara pacaran, LDR? Wiihh lagi musim itu, long distance relatif selingkuh, iyalah nggak ada yang tahu kan kerjaan pasangan masing-masing, yg tiba-tiba bilang ‘sayang kamu lagi ngapain? Kok suaranya gitu?’ yang cowok nih ‘iya sayang eeehh anu eeehh, ini bantu teman angkat buku dari perpus’ jiaahh nggak tahunya aaahh eeehh nya gara-gara dorong mobil selingkuhannya” hampir semua tertawa melihat aksi gerak tubuh Bagus.
“Lagu yang lain mantan terbaik, liriknya, apa kabar kamu kekasih masa laluku, nggak ada sehebat kamu, teruuuss kalau hebat ngapain jadi mantan? Pakai acara tanya kabar pasti nanti ditanya ‘Ihh kepo banget seehh’. Kadang tuh cewek alay gitu aneh, nggak mau inget-nget tapi buka-buka fb, twitter, path atau IG mantan abis itu nangis bombay ‘hwaaa dia udah punya pacar baru’ yaelaahh kalau dia udah move on elo juga harus bisa move on keleesss, okey saya Bagus, selamat malam semua.”
Semua yang ada bertepuk tangan, Bagus membungkuk memberi salam hormat.
Kala menyudahi iringan musik slow pengiring standup comedy Bagus. Lagu penutup dari Kala, i heart you dari Smash versi akustik beat, dia yang bernyanyi.
“Hmm nyindir bicara mantan,”
“Iihh suara kamu keren, belajar dimana? Apa orang Bandung memang dilahirkan dengan suara yang keren?”
“Biasa saja, suara kamu juga keren,”
“Pengamen jalanan kok keren, dilihat darimana? Kalau muji itu dilihat, ditimbang, diraba juga boleh,” Bagus menengok ke arah Kala tapi Kala tidak ada di belakangnya. Kala berdiri di depan tukang bakso bakar.
“Perasaan habis makan,”
“Lapar, kan habis terkuras buat nyanyi,”
“Suara mbak bagus,”
“Terimakasih, matursuwun, mas,”
Kala lahap makan bakso bakar di tangannya.
“Kamu mau belikan aku apa? Katanya kalau dapat uang banyak mau dibelikan sesuatu?”
“Mau apa?”
“Mmm, topi itu,” Kala menuju ke stand penjual topi.
“Yakin mau ini saja?”
“Kamu pakai ini,” Kala memilihkan Bagus sebuah topi, “Ini fedora buat kamu biar mirip Justin Timberlake dan aku pakai ini, bowler derbi,”
“Jangan ini,”
“Iiihhh, sekali-kali ngamennya kece sedikit,”
“Ini nggak bisa dipakai hari-hari,”
“Newsboy cap?” Kala masih tetap suka fedora kecil yang dia pilih pertama.
“Iyes ini saja boleh, coklat saja, netral,” akhirnya Bagus mengiyakan fedora kecil ketika membayar.
Kala dan Bagus berfoto ria di patung gamelan di sisi jalan Ngarsopuro.
“Ini bagus,”
“Rambut kamu asli begitu?”
“Asli, nggak mau kalau dibentuk-bentuk, udah cakep begini rambutnya,” Kala tersenyum sambil menaikkan pundaknya, topinya manis menutup rambutnya.
“Kamu ikal begitu asli atau?”
“Asli, Ibu aku lurus, bokap yang agak ngombak begitu,”
“Hmm, perpaduan kalau begitu,”
“Kamu kuliah jurusan apa? Musik?”
“Mmm,” Kala menggeleng pelan.
“Hukum, maunya Ayah aku jadi notaris atau pengacara gitu, tapi aku suka di HI, jadi aku ambil double degree, hehe, ya konsekuensinya harus bayar sendiri karena orangtua nggak tahu, untung yang satu beasiswa, jadi uang saku bisa full buat bayar kuliah di HI,”
“Hebat kamu,”
“Biasa saja, kamu hebat masih muda sudah bantu orangtua cari uang,”
“Apa keinginan kamu sampai kamu ambil 2 jurusan?”
“Mmm apa, ya? Maunya keliling dunia, mmm maunya sederhana sebenarnya jadi Ibu yang baik like my mom,”
“Mmm, kenapa tidak merebut pacar kamu lagi?”
“Mmm, dia itu baik, kadang ada hal yang di luar batas keinginan kita, kayak Ayahku yang mau aku kuliah di Hukum, mungkin dia juga sedang memenuhi keinginan orangtuanya untuk menikah, mungkin anak ingusan kayak aku nggak bisa diajak serius,”
“Setelah selesai kuliah langsung balik Bandung?”
“Mungkin, kalau nemu cinta di Jogja maunya nggak balik,”
“Kalau nemu cinta di Solo?”
“Haha..., siapa ya yang dari Solo, teman kampus kebanyakan dari luar Jogja dan Solo,”
“Aku?”
Kala terdiam, melihat lalu lalang orang-orang yang membungkus dagangan mereka karena Night market ini mulai menepi dari hingar bingar dunia.
“Eh kita ini kayak di film-film gitu, tahu film yang before sunrise, before sunset, before midnight, kita berdua kayak di dalamnya,”
“Berarti kamu berharap masih ada kisah lain diantara kita?”
“Mmm,” Kala sepertinya salah mengucapkan kalimat, “Eh itu ada kaos bagus, sini,”
Kala berlari ke arah pedagang yang sedang mengemas semua barangnya.
“Ini masih dijual?”
“Kaosnya? Iya, mau ambil berapa?”
“Ini sepasang? Saya beli,”
“Buat apa?”
“Lucuuuu, ini buat kamu satu dan buat aku, yeaahh Mas Bro dan Mba Bro,” Kala nyengir membaca tulisan di kaosnya.
“Abegeh,”
Kala memanyunkan bibirnya.
“Kita jalan lagi cari yang hangat-hangat, banyak angkringan disini,”
“Tiap malam ngamen sampai jam berapa?”
“Suka-suka, kalau suaranya enak ya sampai dini hari kalau nggak mood sejam saja sudah kelar,”
“Owh, semangat!” Kala menunjukkan kepalan tangannya ke atas sambil tersenyum ke arah Bagus.
“Kamu balik besok pagi, kan?”
“Iya, habis subuh, soalnya jam 8 ada latihan,”
“Latihan apa?”
“Latihan musik,”
“Latihan musik? Kamu anak musik? Pegang gitar? Anak band?”
“Iiihh, bawel, anak PSM,”
“Pantes, hafal khatam cerita PSM UNS,”
“Iyalah,” melirik ke arah Bagus. “kemana kita?”
“Ke angkringan jalan-jalan lihat komunitas sepeda atau vespa di Slamet Riyadi,”
Kala dan Bagus menikmati malam yang tinggal menyisakan sedikit gelapnya, Bagus menjadi tour guide yang baik.
Adzan subuh menggema dan ayam jantan mulai bernyali menyuarakan suara gagahnya.
“Ada car free day jadi nunggu taksinya di dekat luwes sana, ya?”
“Iya,”
“Cari sarapan juga, kasihan kamu kalau belum sarapan, masih jam segini juga,”
“Keretanya jam 5.30, sarapan di Jogja juga nggak apa-apa,” Kala melihat ke arah jam tangannya.
“Pulsa aku habis aku pinjam HP kamu biar aku telpon taxi,”
Aku tidak mau begitu saja melewatkanmu, jika kamu masih menjadi takdirku ini adalah bagian dari usaha takdir itu. Dalam hati Bagus bersemangat.
Bagus menelpon taxi, alasan yang jitu untuk memanggil ke no HP-nya.
Keduanya terdiam di dalam taxi yang membawa mereka ke Stasiun Balapan.
Mungkin aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama, mungkin aku kena kutuk, ini cinta pandangan pertamaku ke kamu, aku nggak bisa lagi melihat jari kamu menarik rambut ke belakang telinga, suara merdu kamu, rambut ombak kamu yang keemasan saat terkena lampu malam. Tuhan, rasa apa yang aku punya sekarang?
“Tenang, masih ada kereta selanjutnya jika yang pertama terlewatkan,”
“Maaf merepotkan kamu,”
Suasana kaku namun perlahan mencair.
Bagus membayar taxi dan mereka berlari masuk Stasiun Balapan, Kala menurut saja ketika tangannya ditarik Bagus.
“Kereta pertama ke Jogja, mas”
“Baru saja berangkat prameks, ada lagi jam 7.05 Sriwedari, mau ambil itu atau bagaimana?”
“Maaf, sudah berangkat,” Bagus laporan ke Kala.
“Ambil itu saja,”
“1 tiket Mas ke Jogja,”
Bagus membayar dan menerima 1 tiket di tangannya.
“Kita sarapan dulu di depan,”
“Kalau aku sudah di Jogja kamu bakal kangen aku?”
“Nggak tahu,”
“Ihh kok begitu jawabannya?”
“Ya bagaimana?”
“Ya kangen atau tidak?”
“Ihh kan belum terjadi, belum pernah kejadian,”
“Kalau aku ke Solo lagi, kamu mau ajak aku jalan-jalan lagi?”
“Iya, apa sih yang nggak buat kamu,”
“Iiihh, sadis,”
“Terus kalau kamu kesini bagaimana aku tahu? No HP nggak punya,”
“Kalau kita punya takdir yang sama buat berjodoh pasti kita ketemu,”
Mata Kala berbinar walau nampak murung di raut wajahnya.
Bagus menunggu di bagian petugas cek tiket masuk, dia tidak bisa masuk. Memandang Kala dari jauh, melihat punggungnya menjauh. Dia kehilangan Kala detik itu.
***
1 tahun berlalu.
Kala berlari ke luar gedung latihan PSM, dia baru saja menerima telpon dari seorang lelaki.
“Hai,” Bagus tersenyum di bawah gedung yang beranak tangga tinggi, “aku bawa sebagian pengamen di Jogja,” Bagus melirikan mata ke kanan sambil mengacungkan jempol ke belakang pasukannya.
“Baguuus,” Kala menyebut satu nama yang masih melekat di ingatannya.
“Jadi dia Bagus? Pengamen yang nggak bisa buat kamu move on sejak pulang dari Solo sejak tahun lalu? Yang bisa buat kamu nunggu dan rela jomblo setahun ini?”
“Mmm,” Kala mengangguk pelan dan terpesona.
Kala berjalan menuruni anak tangga gedung tempat dia latihan PSM. Dia mendekati sosok Bagus. Rambutnya masih sama ikalnya hanya saja sedikit cepak dari yang dulu. Bajunya lebih rapi.
“Aku nggak tahu warna kesukaan kamu, apa bunga kesukaan kamu, lagu kesukaan kamu aku tidak tahu, yang aku tahu aku berdiri disini di hari ulang tahunmu untuk bilang cinta ke kamu, aku nggak mau jadi orang bodoh yang melewatkan kamu di hidupku,”
Bagus memberikan buket bunga mawar putih.
Kala tersenyum menerima buket cantik itu, tubuhnya yang basah oleh keringat tak lagi nampak “Kenapa harus nunggu satu tahun untuk melakukan ini?”
“Aku terikat janji untuk tidak mencarimu atau menghubungimu, aku juga memantaskan umurku biar dewasa sedikit, biar umur kamu juga bertambah,”
Kala tertawa dan Bagus sedikit malu.
“Tahu darimana no HP ku?”
“Taxi, ketika telpon taxi dulu aku save no kamu di HP ku,”
“Hanya di save saja?”
Bagus mengangguk.
“Terimakasih,” Kala berbinar.
“Kenapa cuma terimakasih?”
Kala berfikir sejenak.
Bagus dengan cekatan langsung mencium pipi Kala. Semua yang melihat bersorak.
Setahun lalu dia bertemu Bagus dan dia menunggu walau dia tidak pernah tahu apa yang dia tunggu akan datang. Lagu All of me John Legend gubahan Bagus mengalun ramai di mainkan oleh pengamen-pengamen Jogja yang dibawanya.

           
Bjn, 13 Juni 2014


1 Kok tambah kencang nangisnya, mba?

0 comments:

Posting Komentar