Sabtu, 02 Februari 2013

" LAMPU CINTA KOTA BUDAYA "

Kali ini cerpen pertama di bulan Februari, yups akan ada cerpen muncul tiap hari di bulan ini, hmm dalam rangka apa yak? Ada deh pokokna...haha sebenarnya gak ada dalam rangka apa sih, mau ajah, iseng ajah...
Bakal disempetin kog nulis satu judul cerita, oke yg pertama inspirasinya pas di rumah mudik dan nuntun channel tipi paling kereeen (menurut aku hehe) nah nuntunnya lagu Gryeson Chance-Sunshine City Lights...bagus beut lagu ini, ama VC-nya juga bagus...
Nah ini versi aku yak, oke cekidotttttt... (jd inget Raffi nih yg hobi ngomong gini,,hhiks)


“ LAMPU CINTA KOTA BUDAYA “
“Hei, kesasar nona?”
“Bukan urusan kamu,”
“Hmm, sini aku bantu, mau cari gambar bagus buat kameranya? Wartawan atau hanya hunter moment bagus? Aku bisa bantu, aku anak Solo asli, percaya deh, bukan orang jahat juga aku ini, lihat sendiri bawa sepeda begini masa jahat? Ganteng begini, kalau di kota besar seperti Jakarta pasti jadi artis, kog kamu diam saja dari tadi?”
“Kamu yang banyak ngomongnya dan nggak bisa berhenti lalu aku harus bicara apa?”
“Apa iya? Maaf kalau begitu, ups eh iya bisa Bahasa Jawa? Kamu mau cari hotel mahal atau penginapan murah?”
“Penginapan yang dekat dengan beberapa tempat di Solo, ada? Yang nyaman, yang lingkungannya nggak sibuk dan nggak ramai, bukan penginapan murahan yang biasa buat melakukan perbuatan esek-esek,”
“Hmm nginep di hati saya saja Mbak,”
“Apa?” aku tidak terlalu mendengar ucapan lelaki muda yang kece badai kalau kata artis ibukota.
Aku  masih tolah-toleh kanan kiri melihat apakah ada taxi kosong atau ojek atau orang baik yang mau bantu mencari penginapan, sudah pegal kaki ini berdiri beberapa saat di depan Stasiun Porwosari.
“Hei, mau apa kamu?” lelaki yang dari tadi bicara panjang lebar langsung menarik begitu saja tangan kiriku.
“Naik, ini perintah bukan penculikan, kamu kan sudah gedhe, jadi ini bukan penculikan, anggaplah sama-sama suka,”
Aku mengernyitkan dahi ke arah lelaki di depanku yang memaksaku untuk ikut dengan dia dan entah dibawa kemana.
“Aku Jati, dan jangan jawab kamu mawar atau melati, aku orang baik-baik, kasihan saja melihat kamu dari tadi berdiri, ini namanya Lolypo, sepeda lipat ini kuat, harganya juga lumayan, lumayan nguras kantong gitu, kalau masih nggak percaya ayo naik, dan kalau nggak percaya sama aku bisa bawa KTP aku sebagai jaminan dan harus balik,”
“Kita kemana?”
“Nah begitu, lebih kooperatif dan enak menentukan tujuan hidup,”
“Hah?”
“Bercanda, rambut kamu bagus juga,” aku hanya mengernyitkan dahi dan memandang dia seakan tidak percaya da orang seperti dia.
Sepeda lipat warna soft white dengan merk yang antah berantah karena tertutup banyak stiker dan lampu hias kecil mirip becak cinta melaju membawa kita menjauh dari Stasiun Purwosari.
“Rumah aku di belakang SMA Batik, dekat Solo Square, kamu asli mana?”
“Asli Jogja,”
“Owh, nama kamu? Dari tadi aku yang ngomong terus, kamu punya nama, nggak?”
“Punyalah, dan bukan Mawar atau Melati,”
“Bukan kaktus juga?”
“Shayra, kita kemana?”
“Nama yang bagus, kita ke venue pertama kamu pasti suka, pertama kesini atau sudah sering?”
“Sudah beberapa kali,”
“Kita ke Ngarsopuro, want to eat?”
“Aku beberapa kali kesana,”
“Nah, pas berarti udah tahu tapi pasti banyak yg belum tahunya,”
Tas ransel berisi peralatan kamera dan beberapa baju di dalamnya bertengger manis di punggung lelaki aneh yang kelewat baik mau susah-susah bantu cewek aneh yang malam-malam mencari penginapan enak.
“Makan nasi liwet saja, eh mau bakso bakar, nggak?”
“Boleh,”
“Pedas atau nggak?”
“Hmm cukupan deh,”
“Oke deh,” wajahnya bersinar di bawah lampu temaram di pelataran toko Pasar Triwindu yang sekarang berubah menjadi Pasar Windhujenar.
Beberapa menit lamanya, setelah sepiring nasi liwet datang Jati datang membawa seplastik bakso bakar.
“Ayo makan, kenapa didiamkan saja makanannya?”
“Iyah, tunggu kamu,”
“Deuuuhh, bukan suaminya kok ditunggu,”
“Kamu ini,”
Beberapa moment bagus terekam kameraku, memang ke Solo adalah sekedar iseng untuk hunting foto-foto, ada banyak tempat tapi dengan kota ini seperti ada feel yang berbeda, seperti ada magnet kuta menarikku kesini.
“Kayaknya kita jodoh, aku merasa harus menunggu kamu di depan stasiun dan ingin bawa kamu jalan-jalan ke kota ini dengan Lolypo,”
“Kita kemana setelah ini?”
“Galabo, Patung Slamet Riyadi, besok baru jauh-jauh,”
“Jauh-jauh?”
“Iyah, nggak mau apa ke Keraton ke Kebun Teh atau ke Tawangmangu?”
Aku menggeleng kuat, “sudah beberapa kali, aku belum pernah yang kota-kota ini saja, dan aku harus kembali besok sore maksimal, maka dari itu aku cari penginapan yang nyaman buat semalam ini saja,”
“Ayo ikut,”
Aku menurut saja, angin malam kota Solo lembut berhembus menerpa wajah-wajah malam kami berselimut waktu larut.
“Ini, ikon baru kota ini, Bank Indonesia yang keren,”
Kami berdua tiba di depan Bank Indonesia, ada anak-anak yang berkumpul dan berada di belakang sepeda ontel atau sepeda onta rapi dan beberapa sepeda fixy. Jati menyapa beberapa dan mengenalkan aku pada mereka, yups satu lagi objek terekam kamera D650 ini.
“Haus?” tangannya meraba beberapa rambut di dekat mataku yang berlarian karena angin dan ada sedikit keringat karena beberapa kali harus mengarahkan teman-teman Jati yang mendadak jadi model.
Satu tegukan air mineral mengalir di kerongkongan yang memang kering, menyeka keringat lalu mengambil gambar lagi.
“Besok sore butuh ambil gambar disini lagi,”
“Siaaaapp,”
Kaos belel dan kemeja warna soft blue tanpa dikaitkan kancingnya dan sepatu kets manis motif papan catur membuatku beberapa kali tertarik mengabadikan sosok Jati di kameraku.
“Hei, kamu mencuri mengambil gambarku?”
“Iseng, nggak bagus juga hasilnya,”
“Sini, lihat, gantian aku yang foto kamu,”
Jati merebut kameraku dan dia memaksa mengambil gambarku dengan beberapa kali mengarahkan aku bergaya.
“Kita belum punya yang berdua, hayookkk foto berdua!”
Kita duduk di depan pylon Bank Indonesia, kita senyum-senyum kaku, bingung mau bergaya seperti apa, aku senyum melirik ke arahnya dan dia menoleh ke arahku. Sesekali dia menggoda seperti gaya mau memeluk, mau mencium, mau mencekik, dan gaya gila lainnya.
“Eh mau aku ajak ke suatu tempat?”
“Kemana?”
“Hayook aja deh,”
Sepeda Jati memasuki kawasan Galabo di depan Pusat Grosir Solo (PGS) dan dia merantai seperti biasanya tadi, banyak rantai dan ada alarm terpasang, mobil keren saja kalah dengan tingkat pengamanan sepeda lipat Jati. Kami berjalan, Jati masih memegang tanganku erat menuntunku mengikuti langkah kakinya yang lebar.
Terlihat di Gapura Gladak di depan Patung Slamet Riyadi, ada spanduk besar terbentang Maleman Sekaten. Dia mau membawaku masuk ke area Sekaten, Pasar Malam menuju peringatan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW.
“Kita naik bianglala,”
“Hah? Gila kamu, aku nggak mau, itu tinggi,”
“Kalo di bawah mah lesehan atuh, Neng.”
Jati membeli tiket dua lembar dan naiklah kita, dan hatiku berdebar kencang, ini lebih menakutkan dari naik pohon mangga di depan rumah.
“Depan rumahmu ada pohon mangga?”
“Iyah,”
“Jangan tegang, santai saja, kalau ini macet kamu bisa mati duduk diatas sini,”
“Hah?!” aku terkejut dengan perkataan Jati, jantungku mau loncat rasanya.
 “Haha, sudah pernah ciuman?” Jati bertanya dan aku menggeleng cepat, “Nikah?” aku menggeleng cepat lagi, “Iya kalau sudah nikah pasti sudah ciuman,”
“Ini kamu ngomongin apa? Jangan aneh-aneh bicaranya,”
“Naik bianglala itu kamu bisa merasakan angin berhembus kencang sekali di kedua sisi tubuh kamu dan jantung kamu seperti ini,” Jati tiba-tiba mencium pipi kananku.
Aku terdiam dan menampar pelan pipi kirinya, dia diam menatap ringan saja.
“Jantung kita berhenti sesaatkah? Dan kini berdebar lebih keras,”
“Apa alasan kamu?”
“Supaya ada moment yang spesial, biar kamu nggak tegang dengan ketinggian,”
“Jati, aku tidak suka ini,”
“Kamu akan lari dari awal jika tidak suka ini,” rambut cepaknya berantakkan tertiup angin di atas Bianglala.
Suasana berubah hangat, masih memendam rasa takut dan debaran karena ciuman tiba-tiba tadi masih membekas di dada pula.
Aku hanya memandang Jati dengan rasa ingin tahu, orang darimana dan macam apa yang sudah aku temukan di depan stasiun kereta beberapa jam lalu, dan kini dari orang asing ini aku mendapat ciuman.
“Aku minta maaf,”
“Dimaafkan asal tidak terulang,”
“Kalau yang dikasih nggak kapok, aku juga nggak kapok, uupppss...,” Jati menutup mulutnya.
“Kamu gila,”
“Kamu manis dan buat aku gila, semoga nggak ada cowok yang akan buat aku patah hati,”
“Yeaahh, great, kenapa tidak kamu tanyakan sebelum kamu cium aku tadi?”
“Will see, kamu baik-baik saja sepersekian detik tanpa mendorong tubuhku untuk menghindar, so...,”
“Jati!”
“Aku suka kamu dari awal tadi aku menatap matamu yang mencari cerita di depan stasiun kereta, aku suka kamu tulus, dan aku nggak akan menyakiti kamu dengan melakukan hal yang buruk padamu, tadi mungkin akal nakalku bekerja,” aku menunduk tak memperhatikan wajahnya, “Hei aku juga laki-laki normal,”
“Kita turun, antar aku ke penginapan,”
“Hei, waktu kamu singkat disini dan kenapa harus ke penginapan? Aku bilang menginap saja di hatiku, punggungku kuat untuk tempat bersandar gadis manis sepertimu,”
Jati mengajak keluar dari Pasar Malam Sekaten, sepedanya diambil dan kita keliling kota lalu turun di beberapa tempat, RS Moewardi, Rumah Duka TiongTIng, dan akhirnya kita makan Wedang Ronde di depan RS.Moewardi sampai pagi sambil bicara tentang kami masing-masing,  keluarga, karir, sekolah, dan cinta.
“Ayo ke BI lagi dan kita jalan-jalan ke Slamet Riyadi atau alun-alun timur Keraton,”
Aku masih bersemangat walaupun mata tak terpejam semalaman. Jati masih semangat mengayuh sepedanya.
Momen matahari pagi terekam di kamera, momen car free day di hari minggu juga berhasil terekam, lalu kita menuju alun-alun Kidul (selatan) tempat memelihara si kebo bule (kebo albino) yang terkenal dengan nama Kyai Slamet. Banyak orang lalu lalang lari pagi atau sekedar jajan pagi mencari sarapan pengisi perut.
“Hei,” Jati langsung mengambil gambar dengan kameraku, aku pasang tampang mata melotot karena semalaman belum tidur.
“Habis ini kita pulang,”
“Pulang?” aku heran bertanya ke arahnya.
“Pulang ke rumahku,”
“Bertemu Malaikat kamu? Ada candy-candy juga? Jin kura-kura?”
“Ada semua, kamu pasti ketemu,”
Karena masih car free day di hari minggu kami puas seenaknya melenggang di Jalan Slamet Riyadi. Menuju SMA Batik dan menuju gang persis sebelah Solo Square Mall.
“Assalamualaikum,”
“Wa’alaikumsalam, darimana saja kamu tidak pulang semalaman?” Lelaki besar berjenggot ini terlihat seperti Ayah Jati, mirip keduanya. Dia hampir saja marah kepada Jati lalu melihat ke arahku dan langsung menebar senyum paginya.
“Om, Shayra temannya Jati,”
“Tumben kamu bawa anak gadis orang pagi buta, kamu sudah apakan dia?”
“Ya Allah, Ayah,” geleng-geleng ke arah Ayahnya “hanya cium sedikit sih, Yah,”
“Masya Allah, Bu... ini anakmu yang ini buat perkara lagi, sebentar lagi Ayah Shayra pasti kesini minta tanggungjawab anak mbeling ini,”
“Ayo masuk, aku ambilkan handuk dan kamu bisa mandi,”
“Iyah,”
“Ini siapa, Nak? Ayu tenan,”
“Shayra namanya, anak Jogja, semalam ketemunya, dia lagi ada project Foto dan aku jadi pemandu wisatanya disini, Bu.”
“Kalian tidur dimana semalam?”
“Tidak tidur, Bu.”
“Masya Allah, Jati itu memang bandelnya, mirip Ayahnya waktu muda,”
“Eh, ini nih candy-candy,”
“Ahh abang ini, Septa...,”
“Shayra,” aku menjabat tangan adik Jati yang dalam cerita keluarganya Ibunya bak malaikat yang diutus Allah buat jaga dia selama dia di dunia, dan ada adiknya yang rambutnya keriting ikal mirip komik candy-candy katanya, Ayahnya yang berjanggut dan selalu mengajarkan anaknya tidak lupa agama.
“Cantik, Mbak Shayra apanya abang Jati? Pacar?”
“Hush, sudah jangan di dengar, kamu mandi saja, Ra.”
“Iya,”
“Kamar mandi ada di,”
“Ibu yang antar,” Jati garuk-garuk kepala pasrah melihat Shayra digandeng sang ibu.
“Dia calon istri Mas Jati, manis, nggak?”
“Iyah manis, baik sepertinya, dan nggak gila kayak Mas Jati,”
“Heh, begini juga abang kamu,”
“Abang gila, Mas Jati bandelnya bikin Ayah kefikiran semalam, jadi abang yang baik sedikit kenapa? Mas Jati nggak di Bandung lagi, Bang Jati jadi Mas Jati yang asli orang Jawa, orang Solo,”
“Bawel,”
Meminum teh di pagi hari buatan Ibu Jati dan mendengar setiap jengkal langkah Jati yang super duper nakal sejak mereka tinggal di Bandung dari Sang Ayah. Mendengar keluhan dan gurauan Septa tentang matematika dan fisika pelajaran favoritnya. Rumah Jati begitu hangat untuk orang asing sepertiku.
Kami melewati lorong-lorong gang, menuju perkampungan Laweyan, melihat proses membatik. Menuju Taman Balekambang yang mengantarkan hijau menuju mata dan hamparan biru langit siang Solo. Menuju Pasar Gede dan makan dawet khas yang terkenal di Pasar itu, lalu menuju kampung Cina yang memulai persiapan menuju imlek Februari nanti.
Solo ini seperti warisan dunia yang kecil dari puluhan kerajaan besar dunia. Budayanya  melekat, dan orangnya ramah-ramah, di cap penghasil teroris namun kota ini berkembang menuju kemajuan pasti.
“Taraaaaaaa, kita naik bus tingkat, Werkudara, aku belum pernah sih, ini yang pertama kali sama kamu,” Jati memamerkan tiket bus.
“Haha, oke ini moment kita pertama ya, serba pertama, nanti aku ambil gambar,”
“Kita foto dulu sebelum berangkat,”
Banyak kisah lucu di dalam bus, dia yang tidak bisa duduk di sampinga ku karena ada yang minta tukar kursi. Ketumpahan air minum dan bajunya sedikit basah.
Senja menjelang dan aku mengajak Jati pulang, sepanjang jalan dia hanya diam tak seperti biasanya, aku diam mengikutinya. Motor melaju pelan.
“Kalau ke Solo main-main lagi ke rumah ini, jangan kapok,”
“Iya, Bu.”
“Om nggak bisa kasih apa-apa, lho.”
“Saya yang merepotkan, Om.”
Mencium tangan Ayah dan Ibu Jati mengingatkanku pada Ayah dan Bunda di rumah. Sehari tidak bertemu mereka demi project kampus ini.
“Bagaimana Mas Jati mau lanjut nggak kuliahnya?” Ibu Jati menggoda anaknya dan aku tidak tahu maksudnya.
“Kuliah?” aku bertanya melihat ke arah Jati.
“Abang Mas ini kuliah di UGM, teh,”
Aku hanya menahan tawa saja menunggu lanjutan cerita tentang kuliah Jati.
“Kata Abang gila ini dia belum nemu Jantung Hati di kampusnya,”
“Heh, diam, sudah, ayoo nanti ketinggalan kereta,”
Salam berserakan diantara perpisahan kami, Jati mengantarku ke stasiun tempat kita pertama bertemu.
“Eh, naik Lolypo saja,”
“Siaaappp, bos,”
Aku duduk manis di boncengan belakang, tiba-tiba aku melingkarkan tangan di pinggang Jati. Dia diam, kami meresapi detik-detik pertemuan terakhir ini.
“Ini tiketnya, kamu baik-baik, ya,”
“Iyah, kamu kuliah dimana?”
“Kan candy-candy sudah bilang,”
“Iya Jurusan apa?”
“Coba tebak?”
“Jatiiii,”
“Kedokteran,”
“Hah?”
“Tuh pasti kamu nggak percaya, ini nih!”
Aku menahan tawa, senyum-senyum sambil melirik ke arahnya, “Hmm, kamu?”
“Iya, dokter, stress saja tiap hari praktik jadi cuti deh satu semester, dan sudah mulai co.as semester depan,”
“Owh, nggak ada niat ke Jogja lagi?”
“Iya, semester depan sudah masuk pastilah ke Jogja, eh kog aku nggak pernah lihat makhluk kayak kamu di kampus?”
“Hmm, kamu mainnya sama katak di belah, tikus di suntik,”
“Yeee, ini nomor telphone aku, kalau ada apa-apa, kalau fot-foto hasil hunting kita selesai, ya siapa tahu kamu mau kasih lihat ke aku,”
“Iya, pasti.” Aku mengangguk dan tersenyum padanya.
“Yakin nggak mau lihat senja Solo?”
“Sudah, nanti aku kemalaman,”
“Yups,” Jati mengangguk, sikapnya kaku dan bingung, aku hanya senyum melihatnya, “masuklah, keretanya sudah mau datang,”
“Iyah, daaaggg, sampai bertemu di kampus semester depan, semoga kamu nggak lupa Shayra,”
“Iyah,” Jati mengangguk lagi lemah.
Aku masuk ke jalur 2 kereta menuju Jogja, kali ini bukan naik Pramex, kebetulan dapat tiket Sriwedari. Beberapa saat kereta datang, melihat sisi naik turun penumpang, aku menghela nafas dalam dan panjang, sudah selesai kisah di Solo, selesai kilatan blitz di bawah lampu-lampu Solo. Aku masuk kereta dan tiba-tiba ada yang lari mengikutiku. Aku menoleh dan dia Jati, aku tersenyum senang melihatnya ada di sampingku.
“Hai, aku antar kamu sampai Jogja, ayo cari tempat duduk,”
Aku menurut saja, “lolypo?”
“Biasa, sudah di rantai dan alarm semua,”
Kita duduk berdampingan, suara deru kereta dan ramai percakapan khas kereta di mulai.
“Kapan-kapan kita cari tempat dengan banyak lampu, di Jogja banyak seperti itu,”
“Iyah, aku akan menunggu kamu kesana,” tiba-tiba aku mulai bersandar di bahu kirinya, merasakan hangat aliran darahnya, detak jantungku tertata rapi, aku memejamkan mata menikmati sore indah di kereta dan walau senja tak pernah mempir menerpa wajah kami berdua, aku sudah puas dia ada di sampingku, maka kuharap dia hanya diam dan biar aku menghayati rasa yang muncul berderap dalam hati, dalam fikiranku, dalam ragaku. Jati menempelkan kepalanya di kepalaku, kami menikmati senja kami sendiri.
BJn - @orenroom’s, 2 Febr 2013

0 comments:

Posting Komentar