Minggu, 03 Februari 2013

"Dengar Aku dengan Hatimu"




“Eh eh... siapa itu?”
“Bukan siapa, adik gue,” Sam melihat ke arah adiknya di dapur.
“Lo punya adik? Cakep bro,”
“Biasa aja kali, nggak usah dramatis badai gitu,” Sam menarik tangan sahabat kecilnya itu.
“Kok lo nggak pernah ngenalin ke kita?”
“Doi baru balik dari Jerman,”
“Ngapain? Sekolah atau kuliah?”
“Berobat,” Sam masih menata stick stick main game di ruang tengah, “Nggak akan gue biarin playboy kampus macam lo deketin dia,” Sam mengusap muka sahabatnya dan menyuruh segera main game.
Rumah besar Sam memang sering sepi, adiknya yang terakhir kuliah di Belanda dan adiknya yang satu ini selalu terbang kesana kemari untuk mencari dokter yang canggih.

“Bro, gue ambil minum lagi, ya,”
“Halah modus, lo.”
“Hehe, usaha dikit bolehlah,”
Di dapur sahabat Sam sejak masa SMP ini sudah clingukan, dia penasaran dengan sosok adik Sam. Selama jadi sahabat Sam tidak pernah menceritakan adik-adiknya, Cuma foto masa kecil mereka banyak sekali di rumahnya yang mirip istana.
“Eh, hai... aku ambil minum,”
“Maaf,” terbata cewek berambut hitam panjang itu bertutur, dia menunduk dan memegang gelas,”
“Eh, aku Zein, kamu?”
Gadis di depan Zein memutar beberapa gerakan namun Zein kurang mengerti. Gadis  itu sadar dan dia mengambil memo kecil yang selalu terselip di saku belakang celananya.
Tertulis Rinra artinya cahaya, nama kamu bagus. Lewat tulisan gadis itu memuji Zein.
Zein melipat kedua tangannya didada mengucap “terimakasih”.
Zein kembali ke depan setelah bertemu Rinra adik Sam.
“Lama amat Lo, ketemu siapa?”
“Namanya Rinra?”
“Lo apain adik gue,”
“Santai, Bro. Gue nggak ngapa-ngapain dia, seriuuusss,”
“Muka gila, lo. Adik temen sendiri lo embat juga,” tandas teman yang lain.
“Eit, Cuma kenalan doank, nggak lebih, ya saat ini, nggak tahu kalau ntar,”
Semua tertawa dengan candaan Zein, dia memang penakluk hati gadis manapun, cowok sederhana ini belum pernah kena batunya kalau main sama perempuan-perempuan kampus, bukan dia yang sakit hati justru banyak gadis takluk dan sakit hati kalau pacaran sama dia.
“Bro, dia mmm tunarungu atau gagap,”
“Sialan lo, nggak ada yang gagap di keluarga gue, dia kena kutukan, tunarungu, hanya 70% pendengaran kirinya berfungsi, yang kanan total,”
“Sakit atau kecelakaan atau sejak lahir,”
“Sejak lahir, Mama dulu sakit pas hamil dia nah kata dokter kemungkinan kena virus, sarafnya rusak tapi nggak tahu juga sih,”
“Owh,” Zein hanya mengangguk saja.
Sepulang dari rumah Sam, Zein membuka internet dan mencari tahu bahasa isyarat, dia mau suatu saat praktik di depan Rinra.
Pulang kuliah di suatu siang, Zein sengaja pulang duluan tanpa menunggu Sam yang masih ada kelas, Zein ke rumah Sam tanpa sepengetahuan sahabatnya itu.
“Siang tante, Sam ada?”
“Belum pulang, kamu nggak sama-sama dia?”
“Tadi saya balik duluan mau mampir-mampir, saya kira Sam sudah sampai rumah,”
“Ayo masuk, ayo ke dapur, tante lagi buat kue,”
“Iya tante, terimakasih,”
“Ayo duduk nggak perlu sungkan,”
“Eh ada Rinra,”
“Lhoo kalian sudah saling kenal?”
“Dia sahabat kakak kamu Sam,” Mamanya Rinra memakai bahasa isyarat menjelaskan pada Rinra yang sibuk mengaduk adonan, Rinra hanya mengangguk dan tersenyum.
“Rinra apa kabar,”
“Baik, Kak Zein apa kabar?” ucapannya masih terbata dan kali ini Zein menyelami setiap kata, dia mulai paham.
“Dia sejak lahir sudah begitu, ada saraf yang rusak tapi saraf itu dekat dengan otak, riskan kalau dioperasi besar, telinganya baik-baik saja tapi memang ada saraf yang rusak,”
“Owh, beruntung ya, Tante dan Om masih sayang dengan Rinra, banyak orangtua yang tahu anaknya cacat malah dibuang.”
“Apa kalau Zein punya mainan bagus lalu rusak sedikit dan mainan itu tidak ada lagi di dunia Zein akan membuangnya?”
“Hmm nggak, Te. Zein akan benerin, minta Ayah juga buat benerin mainan Zein,”
“Sama, Tante dan Om sudah kesana kemari untuk Ra, dia malaikat kecil yang harus kami jaga, dia titipan Allah yang sempurna,”
“Iyah dia sempurna, Te,”
“Ini minum dan cicipi kue buatan Tante dan Ra,”
“Ra, panggilannya Ra, namanya asing dari bahasa apa, Te?”
“Makasar, itu pemberian dokter di rumah sakit waktu Ra lahir, artinya cahaya,”
“Iya Ra pernah cerita arti namanya, kenapa Tante tidak melakukan pengobatan ke rumah sakit paling canggih?”
“Sudah, sudah keliling eropa, australi, Jepang, semua sudak kami lakukan, Zein jarang kan melihat Tante di rumah, apalagi Ra, Zein baru melihatnya beberapa waktu ini, ada perjalanan panjang, waktu, biaya, dan rasa sakit yang luar biasa saat observasi pada Ra,”
“Tidak bisa apa langsung operasi dan benerin sarafnya yang rusak,”
“Ini bukan mainan Zein yang rusak misal mobil-mobilan Zein lepas rodanya dan minta di pasang, ini saraf, salah sedikit saja, bisa membahayakan nyawa Ra.”
“Ya, Zein mengerti,”
Rinra mencuci tangannya dan mengambil segelas air lalu duduk di samping Zein.
“Kakak mau jadi apa kalau lulus kuliah?” Rinra berusaha keras mengucapkan kalimat yang membawa mereka pada percakapan.
“Jadi apa, ya? Tukang design rumah, nanti aku design rumah cantik buat Ra,” Zein tersenyum manis menatap Ra, “aku punya sesuatu, Zein menarik tas selempangnya dan mengambil agenda kecil, “aku menulis semua ini buat kamu, aku belajar juga,”
Rinra hanya senyum memandang Zein, matanya menatap kagum, “terimakasih,” Ra mengambil sebuah buku di atas meja di ruang tengah, dia lari-lari kecil manis.
“Jangan lari-lari begitu,”
Wajah Ra terlihat manyun ke arah Mamanya, lalu dia senyum kembali ke arah Zein. Dia membuka buku di halaman terakhir yang kosong, Ra mulai menggambar, wajah Zein dan segelas air lalu donat dan beberapa kue yang Zein tak mengerti namanya.
“Kamu pintar gambar?”
“Nanti kamu kuliah di design grafis saja,”
Rinra menatap ke arah Mamanya, dia diam dan menatap Zein kembali.
“Dia mau jadi fashion design,”
“Owh,” Zein mengangguk saja.
***
“Nggak boleh naik sepeda, nanti jantung aku berhenti,” ucap Ra menjelaskan.
“Kalau Cuma bonceng?”
“Boleh tapi pelan saja,”
“Jangan, kamu lihat saja,”
“Aku memang kutukan,”
“Kutukan apa? Kamu itu beda, kamu spesial kalau kata di film-film gitu,”
“Aku mau ya, boleh pakai sepeda,”
“Jangan, kamu bonceng saja,”
“Kak, aku mau nyoba,” Ra semakin terbata berharap bisa naik sepeda.
“Bonceng saja, tapi kita ngebut bagaimana? Biar cepat sampai rumah dan tepat waktu kamu minum obat,”
“Setuju,”
Ra erat memegang pinggang Zein yang mengayuh sepeda dengan cepat. Ra riang tertawa dan lebih erat memegang Zein.
Tangan Rinra melemah dari pegangan erat di pinggang Zein, Zein cemas dan memegang tangan itu sambil terus menyebut nama Rinra. Tak ada jawaban dan Zein berhenti, dia berlari ke arah rumah Ra lalu masuk mobil cemas, semua dengar teriakan Zein.
Rinra masuk ICU, dokter yang menanganinya berkumpul dan semua keluarga datang menunggui, Zein hanya terdiam duduk acak menyesali perbuatannya.
“Heh, anjing Lo, udah gue bilang jangan ajak Ra main yang nggak-nggak, kemana otak lo,” Sam menarik kerah baju Zein dan mengangkatnya hingga berdiri, dia menonjok keras sahabatnya itu.
Zein diam saja, Mama Sam melerai tapi Zein pasrah karena dia memang salah. Zein menangis dan duduk di sudut ruang memeluk lututnya.
Dokter rumah sakit membuka tirai jendela agar keluarga bisa melihat keadaan Rinra. Semua menangis melihat Ra yang sudah kepayahan.
“Kamu harus kuat,” Zein menggerakan tangannya memberi isyarat agar Ra mengerti apa yang dia ucapkan, Zein menangis dan Ra mengangguk mengerti. Zein terpaku di jendela sampai tirai ditutup kembali dan Ra menjalani operasi.
Ra, dengar deh dengan hati kamu, aku tulus suka sama kamu, bukan karena parasmu, bukan pula rasa kasihan atas nasibmu, kamu sempurna Ra, punya keluarga yang sayang kamu dan harta melimpah, kamu istimewa Ra karena kamu nggak perlu dengar kebohongan dunia, kadang untuk jadi malaikat kita nggak perlu bawa sayap, Ra.
Zein menghapus titik-titik air di wajahnya, dia akan tegar, setegar Ra di dalam sana.

0 comments:

Posting Komentar