Jumat, 26 Oktober 2012

" 1000 Burung Kertas "

Romi, di satu pagi yang naas...
“Sekarang aku benar-benar kehilangan tulang rusukku,”
“Kamu ini, aku lebih suka melihat tulang rusukmu hilang asal kamu tidak kehilangan nyawamu,”
“Kamu, apa aku tega meninggalkanmu?”
“Siapa tahu,”
“Kamu nanti akan mencari cinta masa kecilmu itu,”
Aku masih meringis menahan sakit di atas tempat tidur di sebuah ruang putih di RS Umum Daerah. Aku kecelakaan, kata orang aku diserempet sebuah mobil bak terbuka di sebuah tikungan. Salah seorang saksi mata melihat aku tergeletak dan si penabrak lari entah kemana tak mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sarah, dia adalah seseorang yang spesial di mataku juga di hatiku. Entah sadar atau tidak dia mungkin sangat jatuh cinta kepada teman masa kecilnya. Sarah selalu bercerita bahwa dia dan teman masa kecilnya punya hobi membuat origami burung kertas. Dia menulis semua harapannya pada sayap burung origami itu. Kata Sarah ini hanya untuk lucu-lucuan saja, dia tetap percaya dengan kekuasaan Allah.
“Berarti aku harus mencari tulang rusukku yang hilang,”
“Kamu masih bercanda saja, sudah babak belur begitu,”
“Apa aku kurang sangat menderita dengan rasa sakit ini?”
“Iya, harusnya kamu fikirkan orangtua kamu sedihnya seperti apa?”
“Hei, aku tidak minta ini, ini tiba-tiba dan aku juga tidak sadar apa yang terjadi, kalau orangtuaku khawatir itu biasa, bagaimana dengan sahabatku ini? Apa dia juga merasakan hal yang sama?”
“Aku seperti, mmm tersengat belut listrik,” Sarah memanyunkan mulutnya.
“Kamu ini ada-ada saja,”
“Lah kamu sudah hampir mati masih bercanda tentang tulang rusuk,”

***
Romi, ini cinta dan dia menemukannya...
“Hei, kamu kenapa sudah masuk? Apa tidak sakit? Apa dokter sudah mengijinkan? Kamu naik apa? Motor? Atau diantar mamang?”
“Stop! Kamu bisa tidak kalau sedikit saja bicaranya? Berisik tahu.”
“Kamu kan masih sakit,” Sarah tetap menguntitku sambil sesekali membetulkan letak tas selempangnya yang menganggu kerapian kerudungnya.
“Kalau aku masuk berarti aku sudah baik-baik saja,”
“Aku tidak percaya,” Sarah menepuk bahuku sedikit keras.
“Oww,”
“Nah, itu masih sakit?”
“Sarah, ini karena kamu menepuknya terlalu keras,” aku melotot ke arahnya dan dia manyun lalu cengar cengir.
“Aku bantu bawa tas,”
“Ini bawa semua dan diam,” aku menyerahkan semua barang bawaanku ke tangan Sarah.
“Kamu yakin mau ikut kelas? Apa tidak sebaiknya tidur saja di rumah, nanti kenapa-kenapa,”
“Heh, rambut kamu itu kelihatan, pakai jilbab kok setengah-setengah,”
“Mana?” Sarah melepas semua barang yang aku titipkan padanya.
“Hei,”
“Maaf, aku ada kelas juga, daaaaagggg,” dia berhasil membalas perbuatanku untung saja sudah di depan kelasku.
Seusai kelas terakhirku Sarah sudah berdiri di pintu kelas, dia dengan tatap mata hangatnya dan binar yang berbeda menatapku.
“Dia di kota ini juga, dia kuliah di kota ini,”
“Siapa?”
“Ini,” Sarah menunjukkan burung kertas dan aku tahu siapa yang dia maksud.
“Lalu?”
“Antar aku mencarinya,”
“Heh, jangan gila,”
“Ayooo, kamu kan lelaki harus bantu teman perempuannya yang geulis ini,”
“Dokter gila,”
Hyuuhh, aku menarik nafas panjang ketika kakiku melangkah di sebuah universitas lain yang bukan tempat kami menuntut ilmu. Lutut dan kakiku gemetar, aku menyembunyikannya sebaik mungkin, kalau ketahuan bukan warga kampus ini, bisa bahaya, ini bisa memicu tawuran antar kampus. Lagi pula aku harus bersikap waras karena aku menjaga Sarah, sekalipun bisa berkelahi tapi ini menyalahi aturan, ini bukan lingkungan sendiri.
“Tenang saja, pura-pura dewasa saja,”
“Iyah,”
“Hai, Broo, kalau teknik arsitektur dimana, ya? Aku anak kedokteran jadi tidak paham lingkungan teknik ini,”
“Wah di gedung seberang, Broo, lewat lapangan itu saja lurus, atau kalau mau adem lewat lorong sebelah,”
“Thanks, Broo.”
Satu halangan terlewati. Aku lega dan menarik nafas panjang menggandeng Sarah di belakangku.
“Hehe, kamu takut?”
“Siapa? Kita cuma antisipasi mereka curiga kita bukan anak kampus ini,”
“Owh, aku fikir, eit aku bisa lebih baik, will see,”
“Teknik mesin dimana, ya?” Sarah bertanya pada segerombolan anak lelaki yang sedang ramai membahas sesuatu.
“Ini teknik mesin, nona manis dari jurusan mana? Cari siapa?”
“Owh, aku dari kedokteran, mau cari yang namanya Hanif, apa ada? Kalau tidak mesin ya arsitektur, hihi maklum teman SMA sudah jarang ketemu,”
“Di mesin tidak ada yang namanya Hanif, angkatan berapapun itu,”
“Owh, apa iya? Berarti dia anak arsitektur, ya?”
“Mungkin, gedung arsitektur di seberang lapangan,” warga mesin itu menunjuk ke arah seberang.
“Mau ada perlu apa,” salah satu mahasiswa yang paling rapi diantara semuanya menimpali.
“Tadinya kalau dia anak mesin aku mau pesan mesin buat cabut gigi, tapi kalau dia ternyata anak arsitektur aku mau pesan maket ruang praktik kerja aku sebagai dokter,”
“Hah,” semua anak teknik di depan kami bengong mendengar Sarah bicara, aku menahan tawa saja mendengar penjelasan Sarah yang pasang muka polos.
“Owh ok Mas Broo, berarti arsitektur di seberang, ya? Kita kesana dulu, keburu orang yang kita cari pulang, terimakasih semua,”
Aku menarik tangan Sarah dengan buru-buru, kami lari ke arah lapangan tanpa peduli bentuk kebingungan anak-anak mesin yang sedang kumpul-kumpul itu.
“Kenal Hanif? Angkatan 2010 semester 5,” Sarah langsung membuka tanya ketika tiba di gedung arsitektur.
“Owh Maskhul Rohis itu?”
“Hmm iya mungkin,” Sarah mengernyitkan dahinya.
“Memangnya ada berapa Hanif di arsitektur ini?” aku bertanya lebih dalam.
“Ada satu sih, Hanif Putra, bukan?”
“Iyah Hanif Putra Susatyo,” Sarah berbinar mendengar nama Hanif Putra.
“Wah kurang tahu nama lengkapnya, tapi kalau yang kalian maksud itu benar dia biasanya jam segini dia ada kelas bahasa inggris di pojok sana kelasnya atau kalau tidak dia ada di mushola sama anak-anak Rohis lainnya, ada kajian umum,” seorang mahasiswa yang berbaik hati menunjuk beberapa ruang tempat biasa Hanif mengadakan kegiatan.
“Terimakasih,” aku menjabat tangan seorang yang ramah itu dan Sarah sudah berlari menuju kelas yang dimaksud tadi.
“Tidak ada, mungkin di mushola,”
“Tenanglah, kalau sudah takdir dan jodoh pasti akan bertemu,” aku menenangkan Sarah dan diriku sendiri, aku tidak sanggup melihat Sarah bertatap mata dengan orang yang membuatnya selama 13 tahun melipat kertas dan menghimpun semua harapan.
“Kosong, dia tidak disini juga,” matanya berlari ke setiap sudut ruang, Sarah menunduk dan merasa gagal.
“Maaf, apa kenal dengan Hanif?” aku menyapa seorang lelaki yang masuk ke mushola kecil itu.
“Oh, Hanif Putra?”
“Iyah,” aku mengiyakan sambil memandang Sarah.
“Sudah pulang dari tadi, nanti malam ada acara juga di hall utama kampus, ada perlu?”
“Apa tidak ada nomer yang bisa di hubungi?” aku mencoba kembali bertanya.
“Aku punya kartu namanya, aku lihat dulu,”
“Iyah,” Sarah memperhatikan seorang lelaki dengan jenggot tipisnya mengaduk isi kantong tasnya, Sarah sangat berharap dia menemukan kartu nama itu, bibirnya seperti mengucap sesuatu entah sholawat doa atau jampi-jampi abrakadabra apa, aku tidak jelas.
“Ini,”
“Alhamdulillah,” Sarah berbinar dan langsung kartu nama itu berpindah ke tangannya. “Terimakasih, Jazakumullah,” Sarah tersenyum dan meninggalkan lelaki di depan mushola itu.
Aku menyalami dan berucap terimakasih kepada sang penolong tadi.
Sarah terus memandang kartu nama itu, ada nama Hanif Putra S tertera di kartu warna semu coklat muda, ada alamat dan nomor telfon. Mata Sarah seperti senang dan bingung, diantara rasa yang dia rasa, dia tak merasa kakinya menginjak bumi.
“Saraaaahh,” aku menopangnya, hampir dia terjatuh di tangga, dia tak melihat di depannya ada tangga turunan.
Mata Sarah berbinar tapi aku melihat binar aneh disana, dia menemukan semua harapannya lagi yang hilang belasan tahun lalu,
Aku masih disampingnya yang hilang entah ke dunia mana, dia berjalan lambat dan sesekali memandangi gedung arsitektur dan kartu nama di tangannya, aku sedikit melihat tangannya bergetar.

***
Sarah, moment ini tak lagi sama...
“Ingat tidak waktu kita kecil kita suka makan seperti ini hanya nasi putih, kecap dan kerupuk,”
“Seperti baru kemarin,” aku menyuapkan satu sendok ke mulutku.
“Iya, aku senang kita bisa bertemu, janji kita terpenuhi, kita akan mencari satu sama lain,”
Aku menangis di depan piringku dan di depan Hanif ketika mulutku terisi penuh nasi.
“Kenapa? Hei, jangan begitu, apa aku melukaimu?”
“Tidak, sungguh aku merasa senang dan sangat senang menemukanmu, tapi aku merasa rasa nasi dengan kecap dan kerupuk ini sudah berbeda, tak lagi sama seperti 13 tahun yang lalu, aku merasa aku sudah tidak menyukai ini,”
“Sarah,”
“Apa kamu tidak merasa ini berbeda? Atau ini hanya bentuk keegoisanku saja,”
“Kamu jatuh cinta dengan orang lain?” Hanif memandangku curiga tapi tetap dengan tenang dia menatapku yang berurai airmata.
“Aku,” aku meminum satu gelas air putih di depanku, “Aku tidak pernah merasa aku jatuh cinta dengannya, dia baik, dia ceria menyenangkan, dia selalu ada saat aku ingin menceritakan semua kisah yang aku alami satu hari itu, dia yang memberi punggungnya ketika aku tak kuasa melawan dunia, memberi pundaknya ketika aku tak lagi sanggup menahan beban kisah hidup, dia ada selama kamu tidak ada,”
“Dan dia mulai merasuk dan menjalar memenuhi ruang hatimu yang aku tinggalkan, mengisi tiap aliran darah bahkan setiap hela nafasmu ada bersamanya,”
Aku menarik nafas panjang, sesenggukan mendengar kalimat manis Hanif yang mengalir dengan tenang. Aku melihat ke arahnya lalu aku menunduk melihat isi piringku.
“Maafkan aku, harusnya Tuhan mengirimmu bukan dua minggu yang lalu tapi dua tahun lalu agar hatiku tak pernah berubah,”
“Tuhan punya cerita untuk setiap kisah makhluknya, ketika dua tahun lalu meskipun aku ada disini, dia tetap ada dan dia mungkin juga mengisi harimu lebih dari aku, karena Allah menginginkan,”
“Hanif, aku...,”
“Salahku hanya mengisi pesan pada ribuan burung kertas itu dengan namamu, hingga benar aku tak bisa berpaling darimu, dan kamu mengisi cerita lain di burung kertasmu, bukan salahmu inginkan dia, dia baik dan aku percaya bahkan dia juga rela melipat 1000 burung kertas untukmu,”
“Maaf,” aku sesenggukan menunduk di depan piring di ruang makan rumah mungilku.
“Hei, tidak perlu minta maaf, aku paham, hati itu kotak kita bisa tersudut dimanapun diantara 4 sudutnya,”
Hanif menepuk bahuku berusaha menguatkanku dan meyakinkanku tentang cinta yang aku miliki untuk Romi. Dia tak peduli kalau dia adalah maskhul Rohis, dia adalah Hanif yang hanya manusia biasa, dia kini bertindak sebagai sahabat.
“Maaf,” aku menatapnya dengan perasaan penuh dosa.
“Sudahlah, kamu benar nasi dan kecap serta kerupuk ini bukan makanan yang istimewa lagi seperti ketika kita masih kecil,”
Aku sedikit tersenyum ketika Hanif melontarkan canda tentang makanan kesukaan kami semasa kecil.
“Aku pulang, besok kita ketemu lagi, sudah jangan menangis, temui Romi dan katakan semua yang ingin kamu katakan padanya, jangan terlambat seperti aku ini,”
Aku tahu hatinya hancur mengucapkan itu, Hanif tetap tenang demi melihat sahabat masa kecilnya ini tak lagi berurai airmata. Cinta yang kami punya sekarang berubah, berbeda dari cinta masa kecil kami.
“Bunda,”
“Bunda mendengar semuanya, dia tetap Hanif yang sama, ya?”
“Hanif berubah, Bunda.”
“Dia masih sama selalu rela memberikan semua yang kamu ingin, selalu rela membela kamu dari apapun, selalu rela memberi langitnya yang biru demi melihat tawamu,” Bunda membenamkan kepalaku dalam pelukan dadanya.
“Hanif berubah, dia jauh lebih baik dari Hanif kecil, tidak hanya memberikan langit birunya tapi memberikan seluruh hati dan cintanya, dia terlalu baik buat Sarah, Bun.” Tangisku pecah di dada Bunda.

***
Romi, kisah hatiku terbaca olehnya...
“Apa ini? kamu tidak pernah bilang ke aku?”
“Kamu,” aku terkejut melihat Sarah ada di ruang atas rumahku.
“Apa ini sudah 1000?”
“Belum, aku hanya iseng, dulu kamu yang mengajari membuatnya, kalau aku ada waktu sela aku buat, lama-lama jadi banyak,”
“Apa ini hanya iseng? Semua tulisan di sayap burung ini ada nama Sarah, namaku,”
“Kan kamu bilang aku Romeo walau tidak setampan Romeo tapi kisah cintaku mungkin sama tragisnya dengan kisah Romeo,” dengan cuek aku memasukkan burung kertas ke toples semula.
“Saat seperti ini kamu masih saja bercanda?”
“Apa akan berubah jika aku bilang ke kamu kalau aku sayang oh maaf aku benar-benar sayang, dan lebih sayang ke kamu daripada teman masa kecilmu yang entah masih sama atau tidak perasaannya ketika kalian masih kecil dulu,” aku terpancing untuk membuka semua isi hatiku.
“Setidaknya kamu jujur,”
“Apa selama ini kamu tidak merasa?”
“Aku perempuan, apa aku harus mengatakan semua yang aku tahu tentangmu?”
Seperti hujan gerimis dan tiba-tiba deras, kata itu menyejukkan hatiku sekaligus sangat menusuk.
“Ini salah satu burung kertas milikku sekaligus yang ke 1000,”
Sarah membaca tulisan pesan di sayap burung itu, tangisnya kudengar semakin kencang, nafasnya naik turun sesenggukan.
Pada sayap burung ke 1000 aku menuliskan “Sarah menikahlah denganku dan kita buat 1000 burung kertas kebahagiaan”.
“Kamu tahu? Waktu 13 tahun menunggu adalah sangat membosankan untuk menemukan seseorang yang entah masih mengingat kita atau tidak. Aku berusaha menghibur diriku dengan selalu membuat burung kertas, aku sudah dapat lebih dari 1000 burung kertas sejak aku berpisah dengan Hanif. Tapi ketika aku bertemu denganmu, aku memulai harapan baru dan aku mengulang dari awal lagi,”
Aku terdiam mendengar Sarah mengungkapkan semua, Sarah masih mengungkapkan semua yang dia rasa.
“Jika aku memilih aku ingin memulai harapan baru tapi entahlah, ada bisikan lain yang ingin aku tetap pada pendirianku menunggu Hanif, Aku menunggu walaupun ternyata aku tidak suka,”
Sarah menghapus airmatanya, dia mulai menata tubuhnya yang duduk di karpet di ruang tv lantai 2 rumahku.
“Tak semua pesan di burung kertas yang ku tulis tentang Hanif, terkadang aku ingin menulis tentang sesuatu atau orang lain dan aku menuliskannya,”
“Pulanglah, fikiran kita sedang tidak waras hari ini,”
Sarah masih mengusap airmatanya, dia berdiri dan menuju ke arahku berdiri kaku.
“Apa setelah hari ini kita masih bisa bertemu lagi?”
“Itu terserah kamu,” badanku bergetar hebat, aku masih ingin bertemu dengan Sarah bagaimanapun keadaan hati kami berdua nanti.
“Assalamualaikum,”
“Wa’alaikumsalam,”
Aku melihat tubuhnya beranjak meninggalkanku menapaki anak-anak tangga lantai 2, ingin rasanya aku meraih tangannya lalu erat memeluknya, mengatakan “disini saja, jangan pernah kemana-mana lagi,”.

***
Sarah, cinta itu adalah persahabatan yang terpendam...
“Apa semua kisah pembuat burung kertas itu akhirnya tragis, ya?”
“Kamu, Allah lebih tahu apa yang terbaik buat umatnya,”
“Iyah, kamu sejak kapan pakai jilbab?”
“Hmm, sejak aku berfikir suatu hari nanti aku akan bertemu kamu dan menikah denganmu, uuppsss lalu sejak kapan kamu pelihara jenggot lucu dan bahkan jadi maskhul Rohis?”
“Sejak aku ingin ketemu kamu dan menikah denganmu,”
“Hehe, bintang bulan dan planet-planet masih pada orbitnya, kan?”
“Apa hubungannya?”
“Soalnya otak kita sudah tidak pada orbitnya,” aku menggoda Hanif.
Aku melihat sosoknya berbeda dengan Rohis lainnya, dia masih rasional, berbicara dengan lawan jenis tanpa melihat langit atau mencari cacing di tanah. Dia adalah Rohis yang modern dan masih menjunjung tinggi kata niat. Semua berawal dari niat orang bisa punya dan bahkan sudah melekat punya nafsu tapi kita sendiri yang bisa mengendalikannya.
“Kamu sudah menemui Romi?”
“Untuk apa?”
“Dengar, terkadang kita tidak sadar kalau kita menyukai seseorang lebih dari sekedar teman, cinta bisa tumbuh dari persahabatan,”
“Kita juga bersahabat,”
“Ya, benar, cinta masa kecil itu berbeda ketika kita bertemu setelah dewasa,”
“Lalu? Aku harus berbuat apa?”
“Pernah tau film India Rahul dan Anjli, Kuch Kuch Ho ta Hai, mereka bersahabat, mereka tidak sadar punya perasaan cinta, dan apa yang terjadi, penyesalan bukan ketika semua tidak pada tempatnya, walau akhirnya mereka bersatu. Mereka saling merasa kehilangan,”
“Wow, kamu pecinta film India?”
“Bukan begitu tapi film itu terkenal di masanya,”
“Kalau aku jatuh hati lagi padamu bagaimana?”
“Aku akan langsung menikahimu,”
“Waaaahh, apa tidak ada tindakan yang lebih cepat tanpa proses lama? Memeluk misalnya?”
“Belum muhrim, jadi nikah dulu baru bisa peluk kamu,”
“Hanif, aku suka sama kamu,”
“Seperti apa?”
“Seperti ini,”
“Aku juga,”
“Seperti apa?”
“Seperti ini,”
“Yach kamu balas ya?”
“Allah lebih tahu mana yang kamu butuhkan,”
“Iyah,” aku tersenyum hangat. “Aku sudah menemuinya dan aku tahu dia juga suka denganku.”
Hanif memandangku dan tersenyum, aku merasakan sesuatu terjadi di hatinya.

***
Romi, Jatuh hati denganmu membuatku utuh...
“Hai, kemana saja? Bunda kangen sama anak lelakinya,”
“Apa kabar Bunda?”
“Tanya sendiri saja ke rumah,”
“Masih boleh main kesana?”
“Bunda pasti senang, lama beliau tidak melihatmu, tiap malam tanya tapi tidak mau menelfon kamu sendiri,”
“Mama juga kangen sama calon mantunya,”
“Masih bisa apa jadi calon mantu Mama?”
“Masih available, masih segel resmi dan Mama sudah terlanjur suka,”
“Anaknya apa masih suka?”
“Mmm... bagaimana, ya?” aku memegang dagu dan mulai berfikir nakal menggoda sahabatku.
“Tanpa melihat seseorang bisa jatuh cinta,”
“Kamu benar-benar jatuh cinta dengan teman masa kecilmu itu?”
“Hanif, namanya Hanif, dia adalah dia di masa lalu, kami sekarang berdiri sebagai pribadi berbeda, ketika aku berusaha memilih hati, aku mulai menemukan kami berbeda, 1000 burung kertas itu tak lagi berguna,”
“Bagaimana bisa mencintai kalau kamu ternyata takut jatuh,”
Sarah tertegun sejenak memandangku, ruang perpustakaan itu jadi seperti kuburan yang sangat sepi dan hanya kami berdua yang entah akan membuat keramaian apa.
“Jika aku tak terjatuh hari ini, aku akan terjatuh suatu hari nanti, lalu lebih baik mana?”
“Mana tanganmu? Sini.”
Sarah hanya menyerahkan tangannya di atas meja tempat kami berbincang. Aku mengambil pulpen dan menggambar sebuah cincin.
“Aku mau beri kamu ini,”
“Hanya ini? Mana yang asli?”
“Tunggu saja,”
“Apa aku tulang rusukmu yang hilang itu?”
“Will see, aku harap begitu, semoga Allah juga menuliskannya begitu,”
“Amiiiin,” Sarah menunduk dan mengamini perkataanku. “Nanti kita buat 1000 burung kertas lagi sama-sama,”
Bjn, 13-10-2012

0 comments:

Posting Komentar