Selasa, 18 September 2012

" HARMONI "


# Hehe kisah ini udah lama banget ada di otak, mengendap bersama lara dan rasa (halah oyiiii). Terinspirasi dari kisah kita anak Rumah Ijo di Bjn, yang lagi semangat cari pengalaman jadi pengusaha muda, jadi cewek tangguh tp tanggung hehe gak dink kita full smangat, smangat2!! Rajin2!!! Hehe. Kisah ini juga ada kata yang dipesan dari seorang teman yang baru kenal. Yang paling aku suka adalah kisah ini tentang muallaf, gak tau kenapa sukaaaaakkkk banget ma seorang muallaf hehe...



And the story begins...

“Heh, tidak pernah naik bus umum?” seorang perempuan manis dengan mata indahnya mendongakkan badannya ke arah seorang lelaki seusianya.
“Kenapa?” lelaki yang berdandan santai balas menantang gadis yang tingginya hanya sebahunya.
“Kasih kesempatan pada perempuan untuk duduk dulu, mas.” Tatap penumpang lain dalam bus kota.
Lelaki yang berharap bisa duduk manis di tengah keramaian bus itu kesal dan mencibir pelan.
Bus kota melaju perlahan keramaian kota yang sebagian besar penduduknya adalah pendatang yang hendak sekolah dan bekerja itu mulai padat dan merayap.
“Mas, Mbak, sudah sampai terminal terakhir, kalian mau kemana?”
“Mmm apa, mas?” perempuan manis itu mengucek matanya beberapa kali dan menata duduknya, dia seperti mengumpulkan nyawanya yang berserakkan di alam mimpi.
“Dimana ini, mas?” lelaki muda yang baru terbangun juga mulai sadar.
“Terminal terakhir.”
“Apa? Mas tempat aku sudah kelewatan, kok tidak bangunin aku?”
“Mbaknya bagaimana, dari tadi kondektur bus dan supir sudah teriak-teriak di setiap halte.”
“Ini semua gara-gara kamu!”
“Heh enak saja menyalahkan, salah sendiri tidur,”
Lelaki cuek itu santai dan turun dari bus, perempuan itu mengikuti langkahnya.
“Haaaaaaaaaaaaaaaahhh, jauuuuuuuuuuuh 10 Km, apa busnya tidak bisa kembali? Taxi mahal disini,”
“Kalau tidak ada uang tidak perlu pakai acara nyasar!” lelaki yang bersamanya terus memanasi otak gadis muda itu.
“Heh, hari ini aku ketemu orang yang salah seperti kamu, orang yang menyebalkan yang membuat hari ini menjadi mengesalkan!” si gadis sedikit berteriak.
“Ayoo mau ikut tidak? Nanti bisa ditembak teroris kalau kamu berdiri terus disini,”
Si gadis tengak tengok dan bergidik, mukanya memelas dan dia pasrah masuk sebuah taxi bersama lelaki yang bersamanya sejak di bus kota itu.
***
“Kamu?”
“Apa?” si lelaki jangkung itu tetap sombong.
“Kuliah disini juga? Yakin?”
“Heh, kamu yang sedang apa disini? Yakin bisa bayar kuliah disini?” lelaki yang misterius itu memandang dari atas hingga bawah si gadis.
“Hih, menyebalkan bertemu kamu lagi,”
“Ini mbak,” sang lelaki menyodorkan belanjaannya ke kasir sebuah mini market.
“Maaf mas ini ditolak,”
“Yakin mbak? Cek lagi,” si lelaki memasukkan pin dan sang kasir di depannya memprosesnya.
“Iya mas tidak bisa ada kartu lainnya?”
“Coba ini!”
“Ini juga tidak bisa,”
“Berapa semua? Saya bayar tunai,”
“Semua Rp.124.800.”
“Saya kurangi belanjaannya,”
“Biar saya yang bayar, mbak.”
“Tidak perlu,”
“Sekalian ini,” si gadis tetap lurus memandang mesin kasir dengan nominal yang terus berjalan.
“Ini mbak,” sang kasir memberikan sebuah tas plastik dan memberikan sejumlah kembalian uang receh.
“Heh, aku akan bayar nanti.”
“Iya bayar 5 kali lipat,”
“Heh mahal sekali, ini saja ambil,”
“Buat apa? Memangnya aku perlu cukuran jenggot?”
Sang gadis pergi meninggalkan si lelaki, dan si lelaki hanya kesal kepada dirinya sendiri.
“Heh, kamu tahu kos yang murah buat cowok?”
“Ada apa?”
“Aku butuh, tolonglah, baru kali ini aku minta tolong kepadamu,”
“Mencurigakan?”
“Aku Mocca,”
“Hemm?? Siapa?” memicingkan mata tak percaya dengan pendengarannya sendiri.
“Apa?”
“Nama kamu tadi? Mocca?”
“Tertawalah sepuasnya tapi beritahu tempat kos yang murah,”
“Ayo ikut,”
Lelaki yang diketahui bernama Mocca itu dengan santainya membonceng gadis yang punya mata coklat terang dan berjilbab santai.
“Nama kamu siapa?”
“Annisa,”
“Maaf bapak, ini ada teman kampus saya, dia butuh kamar kos apa masih ada yang kosong?”
“Nak Nissa, kemari masuklah dulu, ngadem di dalam,”
“Iya bapak,”
“Masih ada kamar kosong dua, tapi harus taat aturan yang bapak buat, sanggup?”
“Owh iya pak, aturannya pasti lebih ringan dibanding aturan di rumah saya,”
“Jangan salah, disini yang wajib adalah jamaah sholat Maghrib dan Subuh kalau ada halangan acara di luar tidak apa, oya panggil saya Pak Har nama saya Haryanto,”
“Kenapa? Tidak sanggup?” Annisa menantang.
“Sanggup, bayarnya berapa, Pak?” Mocca merasa tertantang.
“200.000 rupiah saja, ingat saya Ketua RT di wilayah ini dan saya begini-begini sudah haji jadi saya dituntut untuk menjaga ketertiban pergaulan. Dilarang bawa teman perempuan masuk kamar,”
“Annisa?”
“Dia sudah saya anggap anak, Kamu teman satu kelas atau?”
“Teman main saja,”
“Pacar?”
“Bukan, Pak. Nissa kalau boleh memilih ya tidak mau pacaran dengan dia,” Annisa dengan lantang memandang sinis Mocca.
“Ayo, mau lihat kamarnya tidak?”
“Iya, saya bayar hari ini dan masuk hari juga,” Mocca menyodorkan sejumlah uang.
“Nissa pulang saja, pak. Terima kasih sebelumnya,” Annisa berpamitan dan mencium tangan Pak Har yang sudah seperti ayah sendiri.
“Aku terimakasih, ya? Sudah mau bantu aku,”
“Sama-sama,” Nissa tersenyum manis kepada Mocca.
Mocca mengekor Pak Har menuju calon kamarnya, Annisa pulang kos yang tidak terlalu jauh dengan rumah Pak Har.
“Suka dengan Annisa? Dia baik, banyak yang suka, ceria anaknya, rugi kalau tidak bisa dapat dia, kalau kamu tidak bertindak, bapak akan jodohkan dia dengan anak bapak,”
“Saya baru kenal dia, tapi dia langsung baik ke saya,”
“Kosnya ada di seberang sana, dia jualan juga biasanya di alun-alun atau kalau ada bazar, anaknya tekun, hafalan Qur’an-nya Masya Allah, kamu akan bergetar dengar dia mengaji,”
“Sebenarnya saya,” Mocca ingin berucap sesuatu tapi rasanya berat.
“Ya sudahlah, kapan bawa barang-barang kesini?”
“Malam ini mungkin,”
“Ya sudah istirahatlah sebentar, nanti ikut sholat jamaah sama-sama,”
“Iya, Pak.”
***
“Kamu tidak lelah pulang kuliah lalu jualan seperti ini?”
“Kenapa? Demi S2 dan tidak mau merepotkan orangtua,”
“Aku baru bisa cari uang beberapa hari ini, banyak mengeluh pula,”
“Kamu pasti anak manja yang tinggal minta apapun kepada orangtua. Angkat ini,”
Mocca mengangkat keranjang barang jualan Annisa, semua jenis jilbab dan aksesoris buatan tangan Annisa lengkap, pangsa pasarnya anak muda usia sekolah dan pasti anak kuliahan, desain bajunya juga bagus.
“Ini?” Mocca mengangkat kardus dan ada kalung yang menyembul keluar dari sela bajunya. Mocca sadar dan langsung memasukkan kembali ke dalam bajunya tapi terlambat, Annisa tahu kalung itu, logo salib jelas menggantung di kalung itu.
Mocca berusaha tidak terjadi apa-apa, Annisa juga melakukan hal sama, dia diam dan melakukan pekerjaannya.
“Kenapa kita diam-diaman?”
“Eh iya kenapa, ya?”
“Kamu?”
“Kita makan siang saja, perutku sudah sangat lapar, mungkin banyak gelandangan yang aku pelihara di perut,” Annisa tersenyum garing, dia berusaha mencairkan suasana.
“Ini aku pilihkan menu makan siang istimewa,” mata mereka bertemu dan saling memberikan kode. “Dijamin halal,” Mocca mengangguk.
“Terimakasih,”
“Berdoa dulu, yuk. Berdoa menurut agama aku dimulai,”
Annisa manyun melihat Mocca dan Mocca tertawa kecil melihat Annisa duduk terbengong di depannya.
“Aku bercanda, berdoa mulai,”
“Amin,”
Annisa dan Mocca mulai mulai makan, Annisa mengambil beberapa makanan di piring Mocca. Dia lalu pura-pura tidak sadar.
“Kamu tidak takut itu daging anjing atau babi?”
“Aku percaya sama kamu, apa kamu tega?”
“Mmm,” Mocca menggeleng pelan dan tersenyum. “Apa kita masih bisa berteman?”
“Kita berteman, memangnya kenapa kalau kamu ke gereja dan aku ke masjid, Tuhan itu satu dan kita yang beda-bedain. Kalau kamu baik pasti kamu ketemu orang baik juga,”
“Kamu baik, berarti aku baik karena kita sudah bertemu dan berteman,”
“Yups,” Annisa nyengir. “Bukankah hari ini waktunya kamu ke gereja?”
“Iyah, kapan-kapan saja,”
“Selesai makan aku antar,”
“Apa?”
“Tidak boleh? Aku tahu batasan, aku tahu agamaku, bagimu agamamu dan bagiku agamaku,”
Mocca diam-diam mulai mengagumi Annisa, rasa tulusnya ingin berteman dengan Annisa yang membuat Mocca berusaha menyembunyikan keyakinannya yang berbeda.
“Aku tunggu disini saja,”
“Iyah, tunggu sebentar dan jangan pergi jauh-jauh,”
Mocca lari menuju pintu masuk sebuah gereja, pintunya sangat tinggi, dari luar bisa terlihat patung di tengah-tengah, ada altar juga.
Mocca melihat Annisa sebelum dia masuk dan dia memutuskan tidak masuk ke gereja, dia hanya berdiri dan berdoa di depan pintu.
“Tuhan, maafkan aku jika karena dia aku akan berpaling darimu tapi perlu Engkau tahu, dia adalah seluruh duniaku, dia yang menyelamatkan seluruh duniaku, aku minta jangan benci dia, karena dia terlalu baik untuk Kau benci, Aku minta dia Tuhan, hanya itu doa terakhirku,”
“Sudah?”
“Iyah,”
“Kenapa tidak masuk?”
“Tuhan ada dimanapun, dia yang mengawasi kita setiap saat, tidak perlu melihat Tuhan tahu isi hati kita,”
Annisa mengangguk, dia berjalan santai seolah tahu orang-orang sekitar gereja heran melihat dia ada disana dengan berpakaian sebagai muslim.
“Pak Har dan acara sholat jamaah?”
“Aku ikut, aku bilang Pak Har kalau aku orang sesat dan tidak pernah sholat,”
“Lalu Pak Har percaya?”
“Pak Har baik dia hanya bilang Allah selalu membuka pintu taubatnya,”
“Pak Har memang baik,” Annisa dan Mocca saling pandang dan tersenyum.
***
“Kamu kesini hanya mau bilang hal itu saja?”
“Iya, aku juga mau lihat Mama, apakah Mama baik-baik saja atau tidak,”
“Jangan harap Papa akan kasih kamu uang,”
“Mocca tidak perlu uang Papa, Mocca bisa cari uang halal sendiri dan tidak perlu bergantung pada Papa lagi,”
“Setan perempuan mana yang mempengaruhi kamu jadi seperti ini?” Nada bicara Papa Mocca semakin tinggi ketika Mocca memutuskan untuk pulang setelah kepergiannya tanpa kabar beberapa minggu lalu.
“Dia bidadari, bahkan ketika Papa melihatnya Papa akan menangis melihat mata yang yang bercahaya karena ketulusannya, Papa akan tahu bukan karena kecantikannya atau bukan karena dia siapa atau anak siapa, tapi karena dia mampu ceriakan dunia disekelilingnya tanpa dia sadar kalau dia sedang bersusah diri.”
“Kamu berani ceramah di depan Papa? Kamu ikut perkumpulan teroris?”
“Papa selalu memandang orang dari sisi negatifnya dulu, teroris itu lebih baik dibanding pejabat korup, Mocca kesini bukan meminta persetujuan Papa atau Mama ketika Mocca merubah arah jalan hidup Mocca,”
Terlihat Mama Mocca hanya menangis di kursi, dan Papa menahan emosi di dadanya. Mocca pamit dan mencium tangan Mamanya. Mamanya membalas mencium kepala Mocca dan mengusapnya serta membenamkan kepala Mocca di dadanya.
“Perlu bantuan jualan?”
“Masih nanti sore jam 4, ada kuliah sampai jam 3,”
“Ok, di tempat biasa kita ketemu, aku mau ke perpustakaan dulu,”
Sore itu Mocca menemui Annisa di tempat Annisa jualan seperti biasa. Dia melihat ada mobil yang tidak asing di tempat parkir dekat masjid.
“Ayo Om di beli, mau jilbab pashmina atau brosnya mungkin,”
“Mmm, masak saya disuruh pakai beginian?”
“Untuk putri Om atau istri Om, ini buatan sendiri Om, murah harga mahasiswa,” Annisa ramah melayani pembeli yang tak lain adalah Papanya Mocca. Annisa tidak mengenalnya karena memang belum pernah bertemu sebelumnya.
“Sudah lama?”
“Sudah dari tadi jam ½ 4, Om. Mmm maksudnya Om jualan disini atau saya mulai jualan? Kalau mulai jualan sudah agak lama, iseng belajar bisnis sambil iseng dapat uang,”
“Sudah menikah?”
“Belum, masih mahasiswa dan belum ada yang mau,”
“Tidak takut jualan sendirian? Nanti ada yang ganggu bagaimana?”
“Saya serahkan semua kepada Allah, sebaik-baik penjaga di muka bumi ini, Om.”
“Semoga laris hari ini dan sterusnya, Nak. Om ambil ini,” Sang lelaki paruh baya itu mengelus kepala Annisa dan Annisa kaget, dia jadi ingat dengan ayahnya.
Papanya Mocca mengeluarkan sejumlah uang dan mengambil bungkusan dari tangan Annisa. Dia sadar, yang dikatakan Mocca benar, Annisa gadis yang tulus, ceria, siapapun akan sangat senang kalau bersama Annisa.
Mocca berpapasan dengan Papanya, dia diam saja melihat Papanya menuju mobil. Mocca lari ke arah Annisa takut terjadi sesuatu.
“Annisa, kamu tidak apa-apa?”
“Tidak, ada apa memangnya?”
“Tidak apa-apa,” Mocca lega, sepertinya Papanya tidak melakukan hal yang aneh-aneh.
Mocca duduk sambil menunggu pembeli datang, dia melipat beberapa pashmina dan kerudung lainnya.
“Kenapa?”
“Mmm, tidak kenapa-kenapa, Dulu aku mau lari ke hutan aku fikir ada masa depan disana, dengan sepinya dengan hijaunya, akan menemukan cara untuk berlari terus tapi apa? Ketemu kamu adalah hal paling menyebalkan dalam pelarian itu dan akhirnya semakin terjun ke dalam lubang dan disana sama kamu,”
“Mmm, so aku peri, bidadari atau iblis buat kamu?”
“Hmm apa ya? Peri saja, yang punya bubuk ajaib dan bisa buat orang disekitarnya ceria, yang tidak perlu lihat bintang di langit karena ada bintang di mata kamu yang terang dan cahayanya tulus dari hati,”
“Terimakasih pujiannya, nanti aku traktir makan,”
“Wow laku banyak?”
“Iyaaaahhh, tapi nanti ke masjid dulu,”
“Sekarang saja, tutup jualannya kita ke masjid dan sholat dulu, maghrib lalu lanjut cari tempat makan,”
“Sholat?” Annisa bertanya heran.
“Iyah, aku kamu punya Tuhan yang sama, Alhamdulillah, Pak Har bantu semua dan aku jujur kepada beliau, beliau mau bantu hingga selesai,”
“Ya Rabb, yakin? Serius?”
“Iyaaahh,”
“Siapa Nabi akhir jaman?”
“Muhammad saw,”
“Siapa yang melahirkan Isa Al Masih?”
“Mariam,”
“Siapa istri paling dicintai Rasulullah?”
“Aisyah,”
“Wow, siapa yang ada di hati Mocca?”
“Annisa,”
Annisa menggoda Mocca dan berhasil, Mocca terjebak dengan perkataannya. Annisa hanya menahan ketawa seolah tidak terjadi apa-apa. Dia berjalan membawa barang dagangannya menuju motornya.
“Mmm tadi maksudnya anu, mmm,”
“Aku hanya bercanda,”
“Mmm?” Mocca melotot. “Tidak bisa begitu, itu bukan hanya bercanda,”
“Lalu?”
“Aku mau jadi seseorang yang ngingetin kamu semua nama teman kamu, aku mau jadi orang yang selalu dengar kamu ngaji,”
“Hey,”
“Pak Har yang bilang kamu ngajinya bagus, atau jangan-jangan kamu sudah terima perjodohan dengan anaknya Pak Har?”
“Hey, kamu tahu itu juga dari Pak Har?”
“Iyalah,”
“Apalagi?” Annisa penasaran sejauh mana Mocca tahu tentang dirinya.
“Aku tahu semua,”
“Apa?”
“Apa ya? Aku mau jadi seseorang yang berjalan dan menggandeng tangan kamu ketika kamu menyeberang,”
“Kamu,” Annisa merasa kesal.
Mereka lalu terdiam bersama, ada kejanggalan diantara mereka.
“Jadi apa jawaban kamu?”
“Mmmm,” Annisa berfikir sejenak dan menghentikan ucapannya di ujung bibirnya, ini membuat Mocca sangat penasaran dan harap-harap cemas. “Maunya aku jawab apa?”
“Terserah kamu, kalau tega ya bilang saja maaf tidak bisa kalau benar-benar baik ya jawab saja ya Mocca aku mau jadi pacar kamu,”
“Apa kamu serius?”
“Tidak perlu alasan kenapa selalu ada bintang di malam hari, tidak perlu alasan kenapa langit itu biru, tidak perlu ada alasan ketika hujan turun lalu muncul pelangi warna warni,”
“Mmm, kalau begitu aku mau ada bersama kamu saat hujan dan saat ada pelangi, saat kamu sendiri, aku mau kita bisa ke masjid bersama,”
“Jadi?” Mocca tidak percaya atas pendengarannya. “Jadi kita pacaran?”
“Iyah? Bukan pacaran yang aneh-aneh,”
“Iyah, jadi resmi kita pacaran,”
“Hihi, Mocca, sudah ayo pulang!”
Mereka bersama bukan karena cinta diatas cinta, cinta dalam perbedaan yang membuat mereka kokoh.

0 comments:

Posting Komentar