Minggu, 17 Juli 2011

" Semesta Bersabda "


Semesta Bersabda
“Ai, Bang.”
“Kamu…, ada apa?”
“Arif mau nikah setelah Ramadhan ini, Bang.”
“Alhamdulillah… dengan siapa? Tanggal berapa, Rif?”
“Itu dia masalahnya, Bang!” Arif sedikit emosi mengungkap kegundahan hatinya. Fikri hanya diam memperhatikan tingkah Arif di kamar kosnya. “Arif belum ada calon untuk Arif nikahi, Bang,”
“Astaghfirullah… jadi kamu hanya,” kalimat Fikri tak dilanjutkan lagi karena mendapati teman satu kosnya itu memasang tampang melasnya. Fikri hanya bisa menggelengkan kepalanya saja.
Satu minggu dari peristiwa itu, Malam 1 Ramadhan. Fikri mencari Buku Zikirnya dan tak menemukannya, dia ingat yang terakhir meminjamnya adalah Arif.
Segeralah dia ke kamar Arif dan mengetuk pintu kamar berukuran 2,5 x 2,5 m itu.
“Rif, Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumsalam ya akhi, ada apa?”
“Aku mau ambil Buku Zikir, apa kamu yang bawa?”
“Astaghfirullah… afwan, aku lupa mengembalikannya, Bang.”
“Iyaaaa… tidak apa,”
“Masuk, Bang! Aku carikan dulu,”
Fikri duduk di ujung tempat tidur kecil, dia merasakan kenyamanan disana, rapi walaupun bukan pertama kalinya masuk ke kamar Arif tapi dia menemukan hal-hal yang berbeda. Ada foto keluarga kokoh di sebuah figura kayu yang tertata manis di atas lemari kecil.
“Itu orangtua aku, Bang.” ternyata Arif tahu kalau Fikri sedang memperhatikan foto di atas lemari.
“Adik kamu berapa?”
“Dua, Bang. Yang satu masih SMA dan yang satu lagi SMP kelas 2.”
“Semua laki-laki?”
“Iya…, padahal Ibu mau punya anak perempuan tapi ya Allah maunya semua anak Ibu dan Bapak laki-laki.”
Fikri memang tidak banyak tahu cerita keluarga dari teman-teman sekosnya. Walau satu angkatan tapi mereka berbeda jurusan dan daerah, jadilah mereka hanya sebagai teman kos.
“Ini apa buku Bang Fikri juga?”
“Iya,”
Fikri mengambil sesuatu yang jatuh dari meja, selembar foto berwarna, bukan adik Arif karena baru saja Arif bercerita kalau dia hanya punya saudara laki-laki saja. Foto itupun membuat Fikri memutar otaknya kembali ke masa beberapa tahun lalu.
“Itu… Insya Allah kalau Allah mau menjodohkan Arif sama dia ya dia yang akan jadi calon Arif, Bang.”
Fikri masih diam dan dia tersenyum sambil mengucap “Subhanallah…,” Fikri menyerahkan foto di tangannya kepada Arif.
“Ini, Bang.”
“Oh ya ini, syukron.”
“Iiihhhh… Abang ini, Arif yang harusnya berterima kasih. Arif dikenalkan dengan dia oleh Kyai Salam, Bang.”
“Subhanallah… kalau Kyai Salam saja sudah percaya kepadamu berarti kamu benar-benar yang terbaik menurut dia.”
“Tapi Arif belum tahu, dia mau tidak dengan Arif. Namanya Sarrah Suha.”
“Sarrah…,”
“Abang, kenal dengan Sarrah?”
“Tidak, Rif. Hanya ingat sesuatu saja,”
Arif tertunduk memandang foto di tangannya. Fikri lebih tertunduk beristighfar dalam hati atas kebohongannya.
“Sudahlah, kalau jodoh tidak akan kemana,”
“Amin.”
“Ayo ke masjid, Tarawih.”
“Ayo, Bang.”
Arif mengambil sajadah di atas kasurnya dan mengunci pintu kamarnya, pakaiannya sudah rapi sejak Sholat Maghrib.
***
“Bang, Bang…, Sarrah Suha memintaku untuk membalas email-nya, bagaimana ini, Bang?”
Di hari ke lima Ramadhan Arif memecah kesunyian rumah kos. Sisa lelah selepas kuliah tak membuatnya berhenti bersemangat membicarakan Sarrah Suha.
Arif kini berada pada puncak ketegangan, bukan karena menghadapi sidang skripsi atau melamar gadis tapi lebih pada ketegangan membaca email dari sang calon bidadarinya.
Dibukanya email dan dengan gemetar Arif mengarahkan mouse laptop-nya ke poin-poin yang akan dia buka.
“Bismillahirahmanirrahim,”
“Tenanglah, cinta adalah sebuah amalan hati yg akan terwujud dalam lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebalik jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Jadi jelaslah bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkan akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yg dimurkai Allah yaitu kesyirikan,”
“Insya Allah, Arif masih ada di jalan Allah,”
Tenang dan pelan email dari Sarrah Suha dia buka dan dia baca, Arif hampir menitikkan airmata ketika dia membaca kalimat pertama.
“Assalamu’alaikum. Semoga Allah merahmati Mas Arif Zaki Al Afif. Sarrah menyampaikan kepada Kyai Salam semua isi hati Sarrah dan Mas mungkin sudah mendengar langsung dari beliau. Sarrah mau tahu apa sebenarnya yang membuat Mas yakin kalau Sarrah adalah yang Mas Arif inginkan? Dan bolehkah kiranya Sarrah tahu latar belakang keluarga Mas Arif karena Kyai Salam belum menerangkan dengan rinci tentang Mas Arif. Insya Allah Sarrah akan menjaga amanah dari Kyai dan Mas Arif. Itu saja kiranya Mas Arif mau menjawab semua keingintahuan Sarrah. Syukron, afwan kalau setiap kata dari Sarrah ada yang menyinggung Mas Arif. Wassalamu’alaikum.”
Kalimat sederhana dari Sarrah tapi mampu menggoncang nurani Arif. Itulah bedanya orang yang jatuh cinta dan tidak. Setiap kata dari yang terkasih adalah magnit khusus untuk menariknya dalam lubang kegilaan tersendiri. Benar kiranya ada yang bilang jatuh cinta membuat orang sakit menjadi sehat, orang jahat menjadi baik, tapi sekian banyak justru cinta menjadikan orang berakal tak lagi merasakan akalnya di tempat.
“Bang, Arif harus balas apa?”
“Jawablah sesuai isi hatimu,”
“Tapi, Bang,”
“Katakan saja kamu mencintainya karena Allah, ceritakan pula episode cantik dalam sejarah seorang wanita yang rela menukar cinta dan hatinya dengan Islam sebagai maharnya. Ketika Rumaisha binti Milhan dengan suara lantang menjawab pinangan Abu Tholhah, seorang terpandang, kaya raya, dermawan dan ksatria “Kusaksikan kepada anda, hai Abu Tholhah, kusaksikan kepada Allah dan Rasul Nya, sesungguhnya jika engkau Islam, aku rela engkau menjadi suamiku tanpa emas dan perak. Cukuplah Islam itu menjadi mahar bagiku!” Akhirnya tinta emas sejarah mencatatnya sebagai seorang ummu Sulaim yang mendidik anaknya, Anas bin Malik dan dirinya sebagai perawi hadits Rasulullah sementara suaminya menjadi mujahid dalam sejarah Islam. Seperti itulah cinta yang kamu rasakan,”
“Syukron, Bang.”
“Sama-sama, aku tinggal dulu ke masjid, Ashar.”
“Iya, Bang.”
Maka bertuturlah Arif dengan kalimat cinta maha dahsyat dari Fikri. Tak sepatah kata terlewatkan, tuturnya sederhana mengambil kisah lama jaman Rasulullah. Lalu dia bercerita tentang dirinya sejak dia kecil hingga besar. Lima halaman dia habiskan bercerita tentang isi hati dan dirinya, tak dilebihkan pun kurangnya akan dia sampaikan jika Sarrah inginkan.
Tak lupa dia menengadahkan tangannya ke langit, tempat segala pinta berpulang. Di sebuah masjidpun tangan Fikri menengadah, “Ya Rabb kuatkan aku dan berikanlah yang terbaik, amin”. Tangannya menyapu mukanya yang bening.
Suasana ramai di masjid jelang buka puasa membuat Fikri menggerakkan tangannya membantu remaja masjid lainnya menyiapkan ta’jil.
 “Abang, Alhamdulillah, Insya Allah Syawal nanti Arif menikah,”
“Alhamdulillah…,” sahut seluruh penghuni kos kompak mendengar teriakan Arif.
“Biar Arif yang siapkan buka puasa hari ini,”
“Selamat, Bang.”
“Selamat, Rif. Akhirnya keinginan kamu tercapai, menikah.”
“alhamdulillah,”
“Perempuan mana yang mau tersiksa mendengar  gurauanmu?”
“Ahh… Abang ini bisa saja, dia justru beruntung karena bisa aku hibur setiap hari,”
“Amin,” kompak yang ada di ruang tamu mengamini ucapan Arif. Arif hanya tertawa menggaruk rambutnya yang mungkin tak dirasanya gatal.
Satu sore di hari ke 17 Ramadhan, Fikri memasuki perpustakaan, dia mencari data-data untuk tugas akhirnya. Tak disangka dia melihat seseorang menatapnya.
“Fikri?”
“Iya, apa kabar?”
“Alhamdulillah baik, kamu bagaimana?”
“Alhamdulillah baik juga,”
“Kuliah disini? Jurusan apa? Sarrah kok tidak pernah tahu,”
“Alhamdulillah, aku di Teknik Mesin,”
“Ohh, Sarrah di Kedokteran.”
Fikri hanya diam menunduk, Sarrah memperhatikan Fikri yang tampak berbeda kini.
“Aku permisi sekarang, ada buku yang harus aku cari,”
“Iya,” Sarrah memberi jalan kepada teman lamanya itu.
Tarikan nafas panjang Fikri memberikan ruang kosong untuk oksigen mengalir di otaknya kembali.
“Kamu sudah berubah, kenapa tidak dari dulu saja?”
“Astaghfirullah,”
“Maaf, mengagetkan.”
Sarrah berada di balik rak seberang tempat Fikri berdiri.
“Demi Allah, menatapmu kini adalah dosa, apalagi jika aku memberanikan diri mencarimu karena cinta,”
“Astaghfirullah, Sarrah hanya mau berteman, bukankah dulu kita berteman baik, sangat baik?”
“Maafkan aku, Sarrah.”
“Sarrah pun tidak mau tersakiti kedua kalinya atas ulah kamu,”
“Insya Allah saya ikhlas meminta maaf atas semua dosa dan kesalahan yang pernah aku buat ke kamu,”
“Sarrah sudah maafkan,”
“Syukron,”
Sarrah meninggalkan Fikri dalam barisan rak buku perpustakaan besar di tengah kampus mereka. Fikri masih diam menunduk, rasa takutnya memuncak.
Langkah kaki Fikri menuju masjid sangat kuat dilihatnya Kyai Salam mengajar anak-anak TPA. Sengaja dia tak membantu karena otaknya sedang tak cair, dia hanya duduk di pojok memperhatikan guru ngajinya dan guru spiritualnya.
“Dia adalah mantan kekasih saya, Kyai. Seseorang yang dulu pernah saya sakiti karena saya menduakan cintanya terlebih karena saya tidak sembayang dan bergaul dengan orang-orang yang tidak berada di jalan yang benar, saya juga pernah nyopet Pak Kyai. Ketika hari itu saya melihatnya kembali, ada pendar indah dari matanya yang bak kristal mewah. Menusuk hati saya dan mengisinya kembali dengan bunga-bunga warna-warni.”
“Istighfar-lah yang panjang. Apakah Arif tahu ini?”
“Tidak Pak Kyai,”
“Ya Allah, Allah Maha Besar memberi jalan para pecintaNya secara berliku, masih adakah cinta untuk perempuan itu?”
Fikri diam ditanya tentang isi hatinya, dia masih bimbang. Suara tartil Alquran seusai Shalat Tarawih menggema mengiringi percakapannya dengan Kyai Salam. Fikri tertunduk dalam.
“Maafkan saya, Pak Kyai.” Airmatanya deras mengalir membasahi jenggot tipisnya. Fikri masih tertunduk.
“Dengarlah, Nak. Wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia, mengalahkan tumpukan Emas, intan dan permata serta perhiasan dunia apapun. hanya wanita shalihlah yang mampu melahirkan generasi rabbani yang selalu siap memikul risalah Islamiyah menuju puncak kejayaan. Aku mengenalnya lebih dari yang kamu tahu karena dia adalah keponakan dari istriku. Jika dulu kamu pernah menyakitinya maka mulai detik ini jangan lagi kamu mengulanginya. Dia telah bersama seorang dari kawanmu, bukankah dosa jika kamu melamar seorang perempuan yang sudah dilamar oaring lain? Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Janganlah seseorang di antara kamu melamar seseorang yang sedang dilamar saudaranya, hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya. Maka berfikirlah ribuan kali karena jika kamu tak mampu menahan hati dan egomu tak lagi dirimu yang tersakiti tapi kawanmu dan kamu juga menyakiti gadis itu untuk kesekian kali.”
“Insya Allah saya tidak akan melakukannya, Pak Kyai.”
“Alhamdulillah, itu janji seorang lelaki muslim di hadapan Allah karena kamu ada di rumahNya.”
“Insya Allah saya akan jaga amanah Pak Kyai,”
Sungguh tak terbayangkan bagaimana indahnya hidup bersama istri shalihah. Istri yang sejuk dipandang mata, menentramkan hati dan jiwa. Istri yang pandai membahagiakan hati suaminya. Ia tahu apa yang harus ia lakukan sebagai seorang istri terhadap suaminya, sebagai seorang ibu terhadap anak-anaknya, sebagaimana ia dahulu menjadi anak yang berbakti kepada orang tuanya. Kata-katanya santun penuh hikmah. Jika ia senang, tampak dari raut wajahnya yang berseri-seri bak bidadari. Jika marah, ia berusaha menahannya agar tidak diketahui suaminya. Ia selalu meminta maaf meskipun bukan ia yang bersalah. Dan ia selalu memaafkan kesalahan orang lain sebelum mereka memintanya. Itulah ciri wanita shalihah...subhanallah, kelak kamu pun akan mendapatkannya bukan Sarrah mungkin tapi ada yang jauh lebih baik darinya,”
“Amiiiiiin.”
Airmata yang membasahi wajah bening Fikri hilang berubah menjadi pelangi warna warni yang menghias langit selepas hujan datang.
“Allah mendengar semua keinginanmu baik yang kamu ucap maupun yang ada di hatimu, jika belum datang juga maka bersabarlah,”
Fikri pun menundukkan kepalanya kuat-kuat dan berkata pada Allah “Ya Rabb, aku ingin dia, bidadari syurga, wanita shalihah yang pantas untukku,”
“Mereka berdua baik maka dari itu aku berani menjodohkan mereka, dan Allah sepertinya berkehendak begitu juga, kami hanya penyambung lidah saja,”
Fikri tersenyum pada Pak Kyai dan mengangguk lembut tanda mengerti.
“Darimana saja, Bang?”
“Dari Masjid berbincang dengan Kyai Salam,”
“Mau minta dicarikan jodoh juga, Fik?” teman samping kamar Fikri menepuk keras pundak Fikri, menegaskan kalimatnya candanya tak akan membuatnya tersinggung.
“Alamak… musim kawin bentar lagi!” seorang teman menanggapi dengan canda celoteh kawannya yang lain.
“Besok pagi kita bagi-bagi nasi kotak untuk sahur di jalan dan besok juga ada acara amal dan buka puasa bersama anak yatim, nasyid dan pengajiannya yang isi Bang Fikri, ya?”
“Tidak bisa, ilmu aku belum cukup. Bang Ridho saja yang sudah terbiasa,”
“Siapa tahu ada mahasiswi fakulatas lain yang tertarik setelah mendengar Bang Fikri bersenandung dan memberikan pengajian,”
“Huusshhh,” Fikri menutup canda temannya.
“Ya sudah, saya isi pengajian tapi kamu tetap isi nasyidnya,”
“Iya, Bang. Terimakasih.”
“Ayo tidur, besok kita bangun lebih awal.”
Jantungku berdebar lebih hebat, walau bukan yang pertama pentas tapi rasanya ribuan mata memandang ke arahku. Suasana berbeda, kelak aku ingin Ramadhan berikutnya ada bidadari cantik yang halal bagiku.
“Mas Fikri suaranya bagus juga, jadi penyanyi saja.” Mahasiswi jurusan Kimia teman si Alva menghampiri dan kebetulan Fikri mengenal di forum pengajian.
“Abangku ini memang luar biasa, pintar semua hal, tapi belum pintar cari istri,” Alva merangkul bahuku sekedar bercanda.
Aku tersenyum saja, kulihat Arif sudah bersama Sarrah dan keluarga Kyai Salam. Mereka tampak akrab, sudah benar-benar seperti keluarga. Beruntunglah Arif.
“Ayo… Makan, Bang.”
“Oh… ayo,” Fikri menyilahkan temannya di depan.
Pagi Ramadhan ke dua puluh. Sudah ada yang mudik dan kali ini kos Fikri dan Arif juga bersiap.
“Bang, aku harus ucap kata apa kepada Sarrah?”
“Apa saja,”
“Ayolah, Bang. Bantu aku,”
“Ini,” Fikri mengambil HP di saku kemeja Arif dan memberikan pada Arif. “Cari nama dan nomernya lalu tekan dan bicaralah!”
“Apa yang harus Arif katakan?”
“Bicaralah yang ingin kamu bicarakan,”
“Tapi…,”
“Cepatlah sebelum dhuhur berkumandang dan kita semua tidak jadi mudik gara-gara menunggumu berbicara dengan Sarrah,”
Arif mencari nama Sarrah di HP-nya dan menekan nomernya, dia mendengar suara tuuuttt yang berarti telfon sedang tersambung.
Fikri mencari kertas dan spidol, dia menulis kata-kata kepada Arif. Teman-teman satu kosnya duduk di samping Arif dan Fikri.
Alva menyenggol Mas Ridho seniornya, bingung dengan apa yang akan dilakuakn Fikri.
Fikri menulis kalimat panjang di sebuah kertas dan diberikannya kepada Arif.
“Dengarlah Ya Aisyahku, ini aku kutip dari seorang kawan. Sesungguhnya siapakah kita ini kekasihku? Hanya setitik debu melekat di bintang mati. Menggeliat sejenak karena embun dan matahari, hanya sedetik dalam hitungan tahun cahaya dan cintaku begitu sederhana untuk dikatakan seperti Sapardi mengungkapkan kekuatan keinginan cintanya dengan bait-baitnya ini: Aku ingin, Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada,”
Arif terdiam sejenak menunggu reaksi Sarrah.
Arif berbisik kepada kawan-kawannya kalau Sarrah diam saja, dia khawatir kalau Sarrah tidak suka dan marah. Arif menutup telfon dengan tangannya.
“Dia sedang tersenyum dan tunggulah dia akan berkata suka atas sajak yang kamu berikan,”
Teman satu kos Arif memandang heran atas ucapan Fikri.
“Sarrah suka kalimat itu, terimakasih Mas Arif. Selamat berlibur dan Insya Allah kita bertemu kembali di hari bahagia kita,”
“Amin,” Arif hampir saja jingkrak-jingkrak mendengar lembut ucapan Sarrah dari seberang.
“Kau pintar, Bang.” Puji Alva kepada Fikri.
“Sarrah tunggu sebentar,”
Seisi kos memandang Arif, tak ada lagi kertas bertulis dari Fikri, lalu apa yang akan dikatakannya sekarang?.
Beruntunglah aku menjadi lelaki yang memiliki istri shalehah, sebab ia bisa membantu memelihara akidah dan ibadah suaminya. Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa diberi istri yang shalehah, sesungguhnya ia telah diberi pertolongan untuk meraih separuh agamanya. Kemudian hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam memelihara separuh lainnya. Aku beruntung akan memilikimu…,”
“Amin. Insya Allah,” dari seberang terdengar suara Sarrah lembut.
“Assalamu’alaikum…,”
“Yeeeaaaaa,” satu kos merangkul bahu Arif dan mengucapkan selamat.
Fikri tersenyum saja melihat ulah teman-teman satu kosnya, kini dia tahu kenapa Kyai Salam lebih memilih Arif Zaky Al Afif menjadi pendamping hidup keponakannya. Arif yang biasa ngocol tapi dia punya hafalan Al-Quran luar biasa dan hadist melekat di kehidupan sehari-harinya. Arif yang biasa ngocol justru dia terlalu jujur jika bicara cinta.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.
“Kenapa Bang Arif tahu kalau Sarrah akan suka dengan sajak tadi?” Arif bertanya heran.
“Hanya menduga saja, semua perempuan sama ingin dirayu,”
“Sarrah tidak seperti itu,” Arif tidak terima kalau Sarrah disamakan dengan perempuan lainnya.
“Sudahlah, Sarrah tetap perempuan yang ingin di puji dan dimanjakan, kau harus belajar itu mulai dari sekarang.” Mas Ridho menengahinya.
“Ayo, salaman, selamat berpuasa dan pulang ke kampung halaman masing-masing dengan selamat. Selamat Lebaran dan Mohon Maaf atas tutur dan sikap yang kurang berkenan selama satu tahun ke belakang,” Fikri mengawali perpisahannya dengan teman-temannya. Semua saling berjabat tangan bergantian.
Tuban, 9 Juli 2011

0 comments:

Posting Komentar