Senin, 18 Oktober 2010

--Jadilah Bidadariku--

“Ibu sama Ayah apa tidak salah menjodohkan aku sama Fariz?? Aku sama dia hanya berteman saja tidak lebih!!”
“Bagus, donk??” Ibu memutuskan dengan cepat.
“Bagus bagaimana, Bu??”
“Sudahlah pokoknya kamu tinggal terima dan acara lamaran segera dilaksanakan” Ayah meninggalkan tempat duduknya dan memutuskan secara sepihak tanpa mendengar penjelasanku lebih dalam.
Aku tidak bisa terima, aku mau menikah dengan orang yang aku kenal dan aku cintai tapi bukan Fariz orangnya.
***
“Ca, aku terima kamu jadi istri aku” suara Fariz dari seberang telepon terdengar menggelegar, mengharu birukan perjuanganku.
“Apa!!?? Kamu mau buat aku pingsan?? Kita kan sudah sepakat kalau kita akan menolak perjodohan ini. Kita cuma teman mereka salah sangka terhadap kita”
“Masalahnya aku sudah mendengar semua hal kalau orangtuaku itu sudah banyak berkorban buat aku selama ini apa salahnya aku berbakti sedikit kepada mereka”
“Tapi Riz... aku tidak mau menikah sama kamu”
“Sudahlah... ini final hidup kita. Kamu tunggu lamaranku saja ke rumah”
“Apa?? Fariz, hallo-hallo!! Fariz??” teleponnya langsung diputus begitu saja. Aku merasa tidak ada keadilan.
***
“Pilih yang mana undangannya, Ca??”
“Terserah ini juga bagus” aku asal ambil saja tanpa melihat undangannya.
“Ca... ini untuk sunatan!! Kita mau nikah bukan sunatan”
“Aahh terserah kamu!!”
Akhirnya undangan selesai dicetak dan siap disebar. Sering sekali kita bolak-balik Yogya-Semarang untuk persiapan nikah ini. Semua sudah siap...
***
“Suf... ini ada undangan buat kamu dan anak-anak yang lain”
“Wah... Ca, siapa yang mau nikah??”
“Baca saja, nanti kamu pasti tahu. Aku pulang dulu” aku enggan pergi dari rumah Yusuf, takut akan kehilangan dia selamanya.
“Ca... kamu yang nikah?? Ca... kamu...”
“Hheehhheee aku permisi. Assalamualaikum...” aku langsung ngacir. Aku tidak sanggup menatap matanya. Terlalu sakit.
“Kenapa??” aku sewot menatap Fariz di mobil.
“Pacar kamu?? Atau mantan?? Atau gebetan??” Fariz menggodaku.
“Apa hubungannya sama kamu?!!!” aku agak sewot “Harusnya ini tidak pernah terjadi!!” aku marah pada diriku sendiri.
“Kamu kenapa??”
“Nanti di kosku kamu yang kasih undangannya dan juga ke teman-temanku yang lain, pokoknya kamu yang kasih!!!” aku menangis saja, tidak tahan.
Masih kuingat semua tadi. Pandangan Yusuf masih sangat menyakitkan menusuk hati. Aku tidak sanggup kehilangan sosoknya yang selama ini sudah jadi sahabat berbagi cerita dan semua hal. Dia yang aku fikir akan menemani langkahku hingga senja nanti.
***
“Ra, aku sangat tidak rela menikah sama Fariz. Dia teman aku bukan satu dari pangeran impianku”
“Ca, ini toh sudah pilihan tidak bisa diganggu gugat mungkin Tuhan merencanakan hal terindah buat kamu”
“Iya tapi tidak sama Fariz”
“Sudahlah...”
“Aku masih sayang dengan dia, aku takut kehilangan tatapan mata itu dan aku takut kehilangan rasa hangat dan senyum manisnya yang memberi kehangatan seperti mentari pagi”
“Maksud kamu??” Rara menatapku tajam.
“Yusuf?!? Yusuf Novianto... kamu tahu dia mimpi aku”
“Tapi belum tentu Yusuf merasakan hal yang sama seperti apa yang kamu rasa”
“Kamu tidak yakin??”
“Ca... di depan kamu ada Fariz dia siap memberikan apa saja buat kamu!!?”
“Aku tidak yakin...”
“Ca!! Apa kamu sudah tidak waras??”
“Apa dia rela beri aku cinta?? Cinta dari Yusuf dan kita tidak usah menikah?? Tidak, kan??”
“Cinta kamu buta, Ca”
***
Saya terima nikahnya Syafitri Iffatal Millah binti Hakim Rahman dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar Rp. 8.500.000,- dibayar tunai. Itu yang dilafazkan Fariz. Akad sah, kini statusku tidak bisa diganggu gugat. Padahal aku berharap kalau Yusuf datang dan meraih tanganku kami lari dan tidak ada pernikahan ini. Tapi tidak, justru akad ini adem ayem, sakral semuanya.
Setelah menikah aku di rumah Fariz, rencananya akan kembali ke Semarang dalam waktu dekat karena harus bekerja.
“Mbak Caca...” adik Fariz mencium tanganku dan aku mencium pipinya. Masih sangat lembut karena usianya baru 5 tahun.
“Musa sehat??”
“Sehat, mbak” adik iparku ini langsung mengajak aku ke dalam kamar.
“Ini kamar siapa??”
“Kamar Mas Fariz, sekarang jadi kamar Mbak Caca juga. Kata Mama begitu...” masih polos ucapannya padaku, ucapan khas anak-anak “Daaaggg nanti turun, ya?? Makan kue buatan Mama”
“Iya... makasih”
“Untuk sementara ini kamar kita” Fariz mengganti bajunya di depanku tanpa sungkan.
“Tempat tidurnya kecil sekali??”
“Tapi cukup untuk berdua!!” kutangkap dia agak ketus sepertinya cemburu pada adiknya yang memperhatikanku.
***
“Jangan belakangi aku!!”
“Kenapa?? Suka-suka, donk”
“Aku takut, ini sempit sekali”
“Sini gulingnya ditaruh bawah saja!!” aku menatapnya dan dia sadar “Aku juga manusia tapi tidak akan macam-macam sama kamu”
“Siapa yang bisa jamin??”
“Hhhiiiiihhhh... jilbab kamu kenapa tidak dicopot?? Kita kan sudah menikah?? Jadi bisa donk aku lihat rambut kamu?? Atau kamu tidak punya rambut??”
“Hhhiiihhh... aku sebel sama kamu” aku tarik rambutnya.
“Hhaahh akhirnya, kemarin rasanya kita masih jadi teman. Kita kenal waktu kuliah dari teman-teman. Aneh, ya?? Sekarang tiba-tiba harus satu tempat tidur”
“Iya... jangan tidur dulu!!”
***
“Kenapa harus tinggal di rumah Budhe kamu??”
“Siapa juga yang mau??!! Ini untuk sementara, nanti kita fikirkan lagi. Lagipula aku lebih baik di kos”
“Aku juga! Enak di kos”
“Ayo masuk...”
“Eehh pengantin baru sudah sampai... tadi Mama kamu telfon tanya apa kamu sudah sampai atau belum??”
Malam pertama di Yogya setelah menikah serasa mimpi buruk.
“Kamu kerja??” Budhenya bertanya akrab saat kami ngobrol berdua.
“Iya... di bank swasta”
“Apa sebaiknya kamu keluar kan perempuan lebih baik di rumah mengurus suami terus nanti mengurus anak”
“Tapi aku sudah biasa kerja”
“Lho sekarang beda kamu punya tanggungjawab sebagai istri. Coba lihat kamu tidak pernah menyiapkan sarapan buat suamimu atau kopi di pagi hari untuk dia. Itu kenapa?? Karena kamu sama-sama harus bersiap ke kantor juga. Yang wajib cari uang kan suami sedangkan istri di rumah”
“Mas Fariz tidak melarang aku buat kerja” aku membela diri.
“Kok bisa orangtuanya Fariz menikahkan anaknya sama perempuan seperti kamu. katanya tahu agama tapi kok??” iihh aku fikir siapa yang mau nikah, ini perjodohan. Aku jadi ingin menangis.
Ini baru kisah awal tinggal di rumah Budhe. Tiap hari dapat omelan terus dan Fariz tidak tahu dan aku juga tidak mau memberitahukannya.
***
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam, sudah pulang??”
“Kita pindah dalam dua hari ini... kamu siap-siap”
“Kok buru-buru mau tinggal dimana??” aku kaget dan memandangnya sambil melipat mukena jangan-jangan dia dengar semua doaku tadi. Aduh...
“Kamu tidak pernah bilang?? Aku tidak enak kamu disini tersiksa lahir dan batin. Kalau ditanya Budhe alasannya sudah dapat kontrakan”
“Hhaahh dimana??”
“Cari saja dulu sementara kita di kos” aku khawatir “Sudah jangan sedih lagi!! Maafin Budhe, ya??” Fariz menatapku hangat.
“Iya... tidak apa-apa” aku senyum menenangkannya.
***
“Aduh... kenapa harus di depan kosku??”
“Enak, kan??? Kamu tidak kehilangan teman??”
“Sudah... ayo cepat keburu ada yang lihat!!” aku cepat-cepat menarik Fariz masuk rumah.
“Lho... Mbak Caca, jadi tetangga baru kita Mbak Caca??”
“Eeeehhh iya??” aduh Ana tahu deh. Hiks-hiks...
“Kok tidak kasih tahu???”
“Ini kejutan dari Fariz jadi aku juga tidak tahu” aku mencoba berdalih.
“Kami masuk dulu, Na” Fariz balik menarik aku masuk rumah.
“Eehhh iya motor kamu mana?? Kok pakai motor Tria??”
“Ini buat bayar kontrak rumah dan beli perabot. Tapi tempat tidur hanya satu. Rumah ini cukup luas dengan dua kamar”
“Wah kita sama-sama naik angkot ke kantor”
Akhirnya normal lagi walaupun aku harus terus lihat muka Fariz tiap hari karena kita satu rumah.
***
“Mobil siapa??” aku heran saat dia pulang kerja dan bawa mobil Kijang keluaran terbaru.
“Mobil kantor”
“Kok tidak bilang??”
“Buat apa??” dia ngeloyor mengambil minum “Ca... ini darimana??” Fariz menunjuk alat-alat dapur.
“Hhhmmm beli” aku ragu mengatakannya “Pakai uang aku sendiri”
“Aduh... masalahnya uang saat ini penting buat kita”
“Memangnya kamu mau tidak makan tiap hari??” aku agak nyolot.
“Ya sudah kita sama-sama tidak ngomong... impas. Lain kali harus ada pembicaraan mengenai hal-hal yang menyangkut rumah dan kita berdua”
***
Rumah kami cukup sederhana isinya tidak banyak. Bahkan saat orangtua kami main kami harus rela tidur di depan tv. Yang pasti harus tahu tugas masing-masing dan saling menghargai.
“Aku akan ke luar kota ada kerjaan”
“Kapan??”
“Tiga hari lagi ke Surabaya”
“Hhahh mendadak??”
“Tidak juga”
“Yach tidur sendiri??”
“Takut??”
“Banget” polos aku jawab.
“Suruh Rara menginap disini atau anak-anak kos”
“Tidak yakin??”
“Kita beli tempat tidur lagi buat kamar satunya, bagaimana??”
“Katanya harus hemat uang??”
“Ini kan beda kondisinya”
***
“Dua hari lagi aku pergi”
“Terus??”
“Boleh ikut belanja, kan??”
“Aneh-aneh saja”
“Tidak apa-apa, kan??”
“Terserah...”
“Kok tidak nawar??”
“Ya tidak bisa ini harganya sudah cukup murah. Sudah ayo pulang!!”
“Ooohhh... pagi begini enak juga jalan-jalan apalagi sama istri”
“Ngrayu, ya??? Dalam rangka apa??”
“Tidak...” Fariz menatapku dan aku memandangnya penuh curiga.
Semakin aneh kelakuannya, pagi ini dia melarang untuk belanja dan pulang kerja dia mengajak membeli tempat tidur. Cari perhatiannya tambah sering.
“Bagaimana?? Kenyang??”
“Iya... enak” aku acungkan jempol pada Fariz “Kita kemana sekarang??”
“Jalan-jalan...”
“Kemana?? Namanya jalan-jalan kan ada tujuannya??”
“Tenang saja tidak akan ada penculikan. Apa ada suami culik istri??” dia bercanda dan tetap konsen menyetir mobil “Nah disini??!!”
“Banyak orang?? Banyak yang pacaran juga” aku heran dengan tempat ini.
“Ini tempat bagus buat lihat bintang... jelas banget dan suasananya romantis”
“Tidak mengajak pacaran, kan??”
Aku dan Fariz ngobrol lama dan aku ketiduran di bahunya.
“Ca... bangun diajak ngobrol malah tidur”
“Maaf”
“Ayo pulang...”
***
“Hati-hati, Ca”
“Iya... kan ada Rara”
“Jaga rumah dan nanti aku telfon kamu. Eit kamu minta oleh-oleh apa??”
“Tidak usah... kamu selamat sampai tujuan dan pulang dalam keadaan utuh aku sudah senang” aku senyum saja saat dia aku antar ke bandara. Sambil menunggu rekannya kami berdua berbincang di mobil.
“Eh itu Pak Agung dan Dwi” Fariz menunjuk ke arah rekan kerjanya “Aku gabung sama mereka dan kamu berangkat kerja saja”
“Benar??”
“Iya... Hati-hati!!”
“Tumben...”
“Bawa mobilnya hati-hati ini kan mobil kantor”
“Iya... kamu juga hati-hati”
“Oke... tadi bercanda... jangan lupa jemput aku 3 hari lagi” aku menyalakan mesin mobil “Aku sayang sama kamu”
“Hhhaahh apa??” aku pura-pura tidak mendengar.
“Tidak... bukan apa-apa”
“Aku dengar, kok. Daaaggg Assalamualaikum...” aku langsung tancap gas dan kulihat dari spion dia hanya melotot menahan malu.
***
“Ooohhh ini istri kamu??” Dwi salah satu rekan Fariz menanyakannya ketika aku menjemput mereka dari Surabaya.
“Iya...” Fariz tersipu malu.
“Sepertinya tidak asing??” Pak Agung memandangku yang ada di balik kemudi.
“Kita ke kantor dulu, Ca” Fariz memerintahku dan aku mengiyakan.
“Ooohhh saya ingat kamu penulis novel dan cerita-cerita di salah satu majalah dan salah satu koran harian, kan??” aku kaget ternyata rekan kerja Fariz ada yang tahu. Pak Agung memandangku takjub.
“Haahh jadi kamu sembunyikan penulis hebat??” Dwi bercanda dan aku tersenyum getir tidak enak dengan Fariz.
“Saya tahu karena istri saya rajin baca novel dan cerita di majalah juga koran itu. Katanya tulisan kamu kadang tidak terduga. Bisa senang dan bisa sedih sewaktu-waktu. Wah istri saya senang pasti kalau saya ajak ke rumah kamu, Riz” Pak Agung menjelaskan.
“Hhhuuhhh hebat kamu, Riz. Kalah aku...”
“Katanya mau keluarin novel baru??” Pak Agung tanya.
“Hhhmmm belum, Pak. Mungkin 6 bulan lagi” aku menjelaskan dan Fariz terlihat agak marah.
“Sudah sampai...” Dwi mengatakan dengan semangat.
“Tidak usah ditunggu, nanti kalian pulang saja dulu” Pak Agung mengatakan dengan lembut dan ramah. Usianya kira-kira seperti Ayahku.
“Tunggu sebentar, Ca. Aku laporan dulu...” Fariz masuk kantornya.
“Lagi nunggu siapa, Mbak??” seorang Satpam menghampiriku.
“Oohh suami saya”
“Apa ini Mbak Syafitri?? Yang penulis novel itu??”
“Oohhh iya ada apa??”
“Wah istri saya suka sekali sama Mbak Syafitri” aku jadi tidak enak dilihat orang-orang “Boleh minta tandatangan??”
“Boleh...” Satpam itu menyiapkan kertas dan bolpen.
“Kalau boleh tahu siapa suaminya?? Saya lumayan kenal orang-orang di kantor ini”
“Ca... ada apa??”
“Oohh istrinya Mas Fariz. Wah Mas, tidak saya sangka istri Mas orang hebat” wah tambah runyam masalah ini.
“Iya... permisi ya... saya mau pulang” Fariz agak sewot.
“Oo iya makasih, Mbak??” Satpam itu menyilahkan kami meninggalkannya. Di mobil kami hanya berdiam diri.
“Selamat datang...” aku mulai mencairkan suasana.
“Ini baru semua??”
“Iya... cuma sarung bantalnya dan bantal kursinya dan juga tirai. Kemarin baru jalan-jalan sama Rara”
“Kamu tuh buang-buang uang mentang-mentang bisa cari uang sendiri”
“Tidak suka, ya??”
“Aku merasa dibohongi... semua orang kenal kamu sedangkan aku tidak tahu kalau kamu ternyata penulis”
“Kamu tidak tanya...”
***
Aku buka-buka file-ku dan sepertinya baru ada orang yang mengacak-ngacak file-ku.
“Fariz... kamu acak-acak file-ku??”
“Tidak!! Cuma lihat-lihat”
“Sama saja”
“Aku berhak, donk??”
“Tidak!!!”
“Mau kamu apa??” nadaku meninggi.
“Aku cuma ingin tahu tentang kamu”
“Apa sekarang sudah tahu??” nadaku agak tinggi lagi.
“Aku hanya ingin sedikit tahu apa yang kamu kerjakan di luar kantor dan aku ingin lebih tahu dari orang-orang di luar yang membicarakan kamu”
“Aku memang penulis... sudah dua novel terbit dan tulisan-tulisanku juga sering muncul di majalah dan koran harian seperti kata Pak Agung. Kamu mau tahu apa lagi??” aku agak sewot menjelaskan.
“Maaf, ya??”
Akhirnya semua reda setelah kita berdiam diri dan saling maaf-memaafkan.
“Eehh aku dapat bonus tapi tidak tahu apa??”
“Rumah atau mobil, biasanya perusahaan kan gitu”
“Aku tebak uang”
“Kalau benar uang aku rela melakukan apa saja buat kamu soalnya tidak mungkin. Kemungkinan rumah atau mobil”
“Benar, ya?? Apa saja??”
“Ini bukan taruhan, kan??”
“Dosa tahu??!!! Hanya tebak-tebakan. Aku juga akan melakukan apa saja kalau kamu benar”
***
“Ca...”
“Hhhmmm sampai malam??” aku mengambilkan Fariz minum.
“Kan aku sudah bilang ada lembur”
“Iya...”
“Tahu tidak aku menang jadi deh kamu rela melakukan apa saja??”
“Hhaahh dapat uang??”
“Yups...”
Aduh kenapa perusahaan tidak kasih uang saja. Jadinya begini minta apa dia...
“Sudah siap...” aku berdiri dekat tempat tidur tegang dan banyak fikiran dan aku tidak mau dia tahu jadi aku belakangi dia.
“Siap??? Yang bener??” aku dengar derap langkahnya.
“Ehhh anu... tidak jadi” aku gugup di depannya.
“Aku hanya ingin peluk kamu...” aku kaget saat dia peluk aku dari belakang “Kamu deg-degan??”
“Hhaahh!!! Siapa??”
“Aku hanya ingin peluk kamu, hanya ingin kamu menatapku dengan tatapan yang sama seperti saat kamu menatap Yusuf dan aku hanya ingin bisa gandeng kamu saat kita jalan bareng. Hanya itu saja...”
“Sudah?? Apa kita bisa tidur??” kita berdua tidur setelah Fariz melepas pelukannya.
“Yang benar cuma minta hal tadi??”
“Kamu fikir aku minta itu?? Otak kamu ngeres!!”
“Tidak percaya??” aku penasaran.
“Memangnya kamu ikhlas kasih kalau aku minta itu???”
“Hhhuuuhhh” Fariz senyum nakal.
“Kayaknya baru kemarin kita kenalan dan jadi teman” Fariz menatapku sejenak lalu dia tidur.
Dalam hati aku masih penasaran kenapa hanya itu, kenapa dengan tatapanku pada Yusuf sepertinya biasa saja. Aku menatapnya saat dia tidur... iya kemarin kita masih teman sekarang bisa tidur satu ranjang.
***
“Wah masak enak, nih??” Fariz membawa belanjaan dan pagi ini dia minta ikut belanja lagi.
“Iya...” aku gandeng tangan Fariz dan dia kaget menatapku lalu tersenyum manis. Kurasakan genggamannya semakin erat di tanganku. Kami tersenyum berdua.
“Aku tidak akan sia-siakan kamu karena kamu bidadari pemberian Allah buat aku”
“Yang benar??? Boleh tanya kenapa kamu ingin aku menatap kamu seperti aku menatap Yusuf??”
“Karena aku tahu kalian dulu dekat dan kamu suka dia, kan?? Kalau tidak ada aku, sekarang yang gandeng kamu pasti dia”
“Sejak kapan cemburu??”
“Sejak dulu... hanya saja aku tidak sadar” kita tertawa bareng.

22 January 2007

3 comments:

Dek nda mengatakan...

i love it so much

Unknown mengatakan...

so sweet mbak...like this pkokna...menyentuh bgt...karena Tuhan ngasih yg kita butuhkan bukan yg kita ingin kan...heheheh

Dek nda mengatakan...

hihi bener bener Allah Maha tahu...

Posting Komentar